Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sang Pencetus "Revolusi Islam"

Ketua gerakan pemuda islam, aq djaelani, 40, mulai di adili. tuduhan yang dikenakan mencetuskan pola revolusi islam, mengobarkan aksi gerakan 20 maret '79 untuk menggagalkan sumpr. (hk)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CITA-CITA AQ Djaelani -- terwujudnya sebuah negara dan tata ekonomi, masyarakat serta budaya Islam -- tidak hanya digantungnya saja. Sebuah pola perjuangan, yang disebutnya sebagai Pola Revolusi Islam (LAREVISI), diperkenalkan Ketua GPI (Gerakan Pemuda Islam) ini di kalangannya. Gerakannya muncul dalam rnenyambut Sidang Umum MPR Maret 1978. Beberapa pemuda dan mahasiswa dihimpunnya dalam Front Aksi Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (FAPPMI), yang dikoordinasikannya sendiri. Tujuannya: berusaha menggagalkan Sidang Umum yang dinilainya bakal berjalan tidak beres. Untuk semuanya itulah Abdul Qadir Djaelani (40 tahun) harus bertanggungjawab. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang mulai bersidang awal bulan ini, Jaksa Penuntut Umum membawanya dengan tuduhan subversi. Karya tulis LAREVISI dikemukakan Djaelani pertama kali, 1975, di sebuah Sidang Dev an Organisasi GPI di Lemah Abang (Bekasi). Menurut jaksa, pola perjuangan tokoh pemuda Islam ini-yang pernah ditahan dan disiksa karena front anti komunisnya di zaman Sukarno mengenalkan dua cara: gerakan legal melalui cara-cara parlementer dan gerakan "di bawah permukaan" yang ekstra parlementer. Gerakan di luar gedung parlemen, katanya, bisa berbentuk turun ke jalan, penyebaran pamplet dan poster, "bahkan kalau perlu dengan kekerasan (revolusi). " Pola revolusinya dikemukakan Djaelani di berbagai pertemuan dan rapat organisasi. Menjelang SU MPR, pemikirannya tersebut mendapat "penyaluran": dia membentuk FAPPMI. Menilai SU akan memaksakan dicantumkannya KNPI, Aliran Kepercayaan dan P4 dalam GBHN, front aksi ini akan berusaha menggagalkan sidang. "Panca Tura" Djaelani berdiri sebagai koordinator dibantu Gomsoni Yassiri sebagai bendahara dan Rachmat Basuki sebagai sekretaris. Menjelang bergerak FAPPMI telah mengadakan serangkaian rapat, tak kurang dari 10 pertemuan, yang akhirnya menelurkan "strategi perjuangan" yang disebut Panca Tura "Tegakkan hukum dan demokrasi, laksanakan Pancasila dan UUD 1945, bentuk pemerintahan yang bersih, ratakan pendapatan nasional, jadikan pribumi tuan di negeri ini." Gerakan massa direncanakan untuk memacetkan lalulintas di Harmoni, Bunderan Grogol, Bunderan HI, Tanah Abang dan beberapa tempat lagi. Dengan demikian para Anggota MPR/DPR akan terhambat dan gagal mengikuti SU. Sementara itu, dalam kesemrawutan lalulintas Panca Tura diharapkan dapat dibacakan di muka umum. Pamplet, yang berisi tulisan antara lain, "Tidak Percaya Soeharto dan Adam Malik," juga akan disebarkan di sana. Untuk membela diri, bila petugas keamanan bertindak misalnya, bom molotov -- dibuat dari botol berisi bensin dan serbuk gergaji -- sudah juga disiapkan. Dan sebuah kelompok ditunjuk untuk mengambil semacam buku "Master Plan Pembangunan Bangsa" dari gedung CSIS (Centre for Strategic International Studies) di Jalan Tanah Abang. Aksi pemuda dan mahasiswa di bawah Djaelani memang bergerak 20 Maret 1973. Tapi tak berhasil -- kecuali sebuah taksi yang sempat dibakar di daerah Grogol. Kelompok-kelompok yang sudah berada di daerah yang ditentukan, ternyata, tidak dapat mengembangkan diri jadi aksi massa. Di samping itu, ternyata pula, gerakan sudah tercium petugas sebelum meletus -- terbukti dari penangkapan atas rekan-rekan Djaelani. AQ Djaelani sendiri waktu itu dapat meloloskan diri. Juli berikutnya baru ia tertangkap (menurut keterangan, ia tertangkap ketika bersiap hendak terbang ke Kualalumpur dengan nama samaran Hery Satris). Dalam pemeriksaan, menurut keterangan, Djaelani mengakui LAREVISI buatannya dan bertanggungjawab atas gerakan 20 Maret. Di samping itu ia juga mengaku mengotaki demonstrasi anti RUU Perkawinan (1973). "Abangan" Aksi 20 Maret, katanya, dibuatnya sebagai protes. KNPI, yang dinilainya tak punya andil dalam masa perjuangan kemerdekaan maupun Orba, tak layak dicantumkan dalam GBHN. Begitu juga aliran kepercayaan. Katanya, pengakuan terhadap aliran kepercayaan dalam GBHN, akan menyebabkan 300 juta orang Islam "abangan" akan mengalir masuk aliran kepercayaan. Djaelani membenarkan, gerakan 20 Maretnya dibiayai Rp 2 juta, yang dananya -- ia tak mau tahu -- diusahakan oleh Gomsoni, Bendahara FAPPMI. Organisasinya, lanjutnya, tak menerima bantuan dari organisasi Islam manapun dari dalam maupun luar negeri. Nama-nama tokoh yang sering disebutnya dalam pertemuan GPI maupun FAPPMI, seperti Muh. Natsir, Sumarso Sumarsono atau jenderal-jenderal seperti AH. Nasution, Sumitro, Dharsono, Ali Sadikin, juga tak ada hubungannya dengan gerakan 20 Maret. Nama-nama mereka (yang dalam rapat-rapat dikatakannya "tidak setuju terhadap pemerintahan Presiden Soeharto", menurut jaksa) disebut hanya untuk membangkitkan semangat pemuda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus