CITA-CITA AQ Djaelani -- terwujudnya sebuah negara dan tata
ekonomi, masyarakat serta budaya Islam -- tidak hanya
digantungnya saja. Sebuah pola perjuangan, yang disebutnya
sebagai Pola Revolusi Islam (LAREVISI), diperkenalkan Ketua GPI
(Gerakan Pemuda Islam) ini di kalangannya. Gerakannya muncul
dalam rnenyambut Sidang Umum MPR Maret 1978. Beberapa pemuda dan
mahasiswa dihimpunnya dalam Front Aksi Pemuda, Pelajar dan
Mahasiswa Indonesia (FAPPMI), yang dikoordinasikannya sendiri.
Tujuannya: berusaha menggagalkan Sidang Umum yang dinilainya
bakal berjalan tidak beres.
Untuk semuanya itulah Abdul Qadir Djaelani (40 tahun) harus
bertanggungjawab. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang mulai
bersidang awal bulan ini, Jaksa Penuntut Umum membawanya dengan
tuduhan subversi.
Karya tulis LAREVISI dikemukakan Djaelani pertama kali, 1975, di
sebuah Sidang Dev an Organisasi GPI di Lemah Abang (Bekasi).
Menurut jaksa, pola perjuangan tokoh pemuda Islam ini-yang
pernah ditahan dan disiksa karena front anti komunisnya di zaman
Sukarno mengenalkan dua cara: gerakan legal melalui cara-cara
parlementer dan gerakan "di bawah permukaan" yang ekstra
parlementer. Gerakan di luar gedung parlemen, katanya, bisa
berbentuk turun ke jalan, penyebaran pamplet dan poster, "bahkan
kalau perlu dengan kekerasan (revolusi). "
Pola revolusinya dikemukakan Djaelani di berbagai pertemuan dan
rapat organisasi. Menjelang SU MPR, pemikirannya tersebut
mendapat "penyaluran": dia membentuk FAPPMI. Menilai SU akan
memaksakan dicantumkannya KNPI, Aliran Kepercayaan dan P4 dalam
GBHN, front aksi ini akan berusaha menggagalkan sidang.
"Panca Tura"
Djaelani berdiri sebagai koordinator dibantu Gomsoni Yassiri
sebagai bendahara dan Rachmat Basuki sebagai sekretaris.
Menjelang bergerak FAPPMI telah mengadakan serangkaian rapat,
tak kurang dari 10 pertemuan, yang akhirnya menelurkan "strategi
perjuangan" yang disebut Panca Tura "Tegakkan hukum dan
demokrasi, laksanakan Pancasila dan UUD 1945, bentuk
pemerintahan yang bersih, ratakan pendapatan nasional, jadikan
pribumi tuan di negeri ini."
Gerakan massa direncanakan untuk memacetkan lalulintas di
Harmoni, Bunderan Grogol, Bunderan HI, Tanah Abang dan beberapa
tempat lagi. Dengan demikian para Anggota MPR/DPR akan terhambat
dan gagal mengikuti SU.
Sementara itu, dalam kesemrawutan lalulintas Panca Tura
diharapkan dapat dibacakan di muka umum. Pamplet, yang berisi
tulisan antara lain, "Tidak Percaya Soeharto dan Adam Malik,"
juga akan disebarkan di sana. Untuk membela diri, bila petugas
keamanan bertindak misalnya, bom molotov -- dibuat dari botol
berisi bensin dan serbuk gergaji -- sudah juga disiapkan. Dan
sebuah kelompok ditunjuk untuk mengambil semacam buku "Master
Plan Pembangunan Bangsa" dari gedung CSIS (Centre for Strategic
International Studies) di Jalan Tanah Abang.
Aksi pemuda dan mahasiswa di bawah Djaelani memang bergerak 20
Maret 1973. Tapi tak berhasil -- kecuali sebuah taksi yang
sempat dibakar di daerah Grogol. Kelompok-kelompok yang sudah
berada di daerah yang ditentukan, ternyata, tidak dapat
mengembangkan diri jadi aksi massa. Di samping itu, ternyata
pula, gerakan sudah tercium petugas sebelum meletus -- terbukti
dari penangkapan atas rekan-rekan Djaelani.
AQ Djaelani sendiri waktu itu dapat meloloskan diri. Juli
berikutnya baru ia tertangkap (menurut keterangan, ia tertangkap
ketika bersiap hendak terbang ke Kualalumpur dengan nama samaran
Hery Satris). Dalam pemeriksaan, menurut keterangan, Djaelani
mengakui LAREVISI buatannya dan bertanggungjawab atas gerakan 20
Maret. Di samping itu ia juga mengaku mengotaki demonstrasi anti
RUU Perkawinan (1973).
"Abangan"
Aksi 20 Maret, katanya, dibuatnya sebagai protes. KNPI, yang
dinilainya tak punya andil dalam masa perjuangan kemerdekaan
maupun Orba, tak layak dicantumkan dalam GBHN. Begitu juga
aliran kepercayaan. Katanya, pengakuan terhadap aliran
kepercayaan dalam GBHN, akan menyebabkan 300 juta orang Islam
"abangan" akan mengalir masuk aliran kepercayaan.
Djaelani membenarkan, gerakan 20 Maretnya dibiayai Rp 2 juta,
yang dananya -- ia tak mau tahu -- diusahakan oleh Gomsoni,
Bendahara FAPPMI. Organisasinya, lanjutnya, tak menerima bantuan
dari organisasi Islam manapun dari dalam maupun luar negeri.
Nama-nama tokoh yang sering disebutnya dalam pertemuan GPI
maupun FAPPMI, seperti Muh. Natsir, Sumarso Sumarsono atau
jenderal-jenderal seperti AH. Nasution, Sumitro, Dharsono, Ali
Sadikin, juga tak ada hubungannya dengan gerakan 20 Maret.
Nama-nama mereka (yang dalam rapat-rapat dikatakannya "tidak
setuju terhadap pemerintahan Presiden Soeharto", menurut jaksa)
disebut hanya untuk membangkitkan semangat pemuda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini