STATUS pembantu rumah tangga, lazim juga disebut babu, tiba-tiba
jadi pembicaraan. Ia digaji, karena itu dapat disebut buruh.
Tapi sebagai pelayan terkadang ia merupakan bagian dari keluarga
yang ditempatinya -- dan karena itu sulit dikatakan sebagai
buruh. Terlebih lagi karena majikannya adalah perseorangan,
bukan perusahaan.
Pengacara Azhar Achmad, misalnya berpendapat: "Babu adalah
buruh." Karena itu, katanya, seperti halnya buruh suatu
perusahaan, si babu dilengkapi hak-hak yang ditentukan
undang-undang perburuhan. Sedangkan menurut pejabat yang
mengurusi buruh, Dirjen Bina Lindung Tenaga Kerja
(Depnakertrans) Oetojo Oesman, "babu sama sekali tak dapat
dianggap buruh."
Pembicaraan tentang tenaga kerja jenis yang satu itu, babu atau
pembantu rumahtangga laki-laki yang lazim disebut jongos,
dimulai karena berita tentang nasib beberapa di antara mereka
yang memang pahit. Babu Misnah (16 tahun) dan Waini (14 tahun)
teraniaya di tempat kerja mereka, di sebuah rumah di Jalan
Latumeten, Grogol (Jakarta Barat). Oleh majikan, Nyonya Shu Mei
Yan (28 tahun), mereka disiram air panas gara-gara -- begitu
ceritanya -- lamban bekerja.
Mereka ditampung H.A. Nasution, kepala keamanan warga setempat,
RW 05 Jelambar. Di situ, seperti cerita Nasution belakangan,
kedua babu tersebut mengeluh. Mereka telah bekerja pada tuan
yang galak tersebut selama 1« tahun tanpa diberi upah. Padahal,
jauh-jauh dari kampung (Misnah dari Semarang dan Waini dari
Pemalang) membabu di Jakarta, tentu untuk mencari uang. Untuk
memperoleh sekedar makan, katanya, mereka harus bekerja berat
siang-malam.
Belum lagi, keduanya harus menerima pula perlakuan kasar.
Sekedar bentak dan kata-kata kasar masih lumayan. Yang terakhir
mereka berdua disiram air panas. "Muka dan tangan mereka
melepuh," kata Nasution. Memperhatikan luka di muka Misnah,
lanjut Nasution, "mungkin ia akan cacat seumur hidup." "Kini
mereka sudah saya pulangkan ke kampung," tambah petugas keamanan
yang berpangkat Kapten TNI-AU tersebut.
Urusan Babu Misnah dan Waini hampir saja berbuntut kekisruhan.
Menurut Nasution, penduduk kampung kawasan Jelambar tiba-tiba
berkumpul dan mengepung rumah Nyonya Mei Yan, hendak menuntut
balas bagi Misnah dan Waini. "Sampai saat ini kami masih bisa
mengatasi keadaan -- entah besok-besok," ujar Nasution.
Akan Mei Yan, ternyata, adalah penderita sakit jiwa. Berdasarkan
surat keterangan dari dr. Budi Sudomo, 26 Februari lalu, ia
dirawat di RS Jiwa Grogol.
Di samping cerita tentang Misnah dan Waini, cerita babu yang
bekerja di Cawang (Jakarta Timur), juga tak kurang getirnya.
Kompas Minggu belum lama ini mengungkapkan kisah Idah, Inah dan
Miah. Babu-babu tersebut membeberkan perlakuan kasar majikan
mereka. Malah sekitar mata si Idah (14 tahun) masih biru memar
ketika menuturkan pengalamannya.
Iba terhadap nasib para babu tersebut, seraya menganggap mereka
adalah buruh, Tim Bantuan Hukum Federasi Buruh Seluruh Indonesia
(TBH-FBSI) mewakili babu-babu tadi mengadu ke Kepala Kepolisian
(Kadapol) Metro Jaya. Pimpinan TBH-FBSI, Azhar Achmad,
menyatakan Nyonya Mei Yan, bekas majikan Misnah dan Waini,
telah melakukan berbagai tindak pidana. Mulai dari perbuatan
yang tak menyenangkan, merampas kemerdekaan, sampai penganiayaan
terhadap kedua babunya.
P4
Tindakan kepolisian masih ditunggu. Tapi yang segera menarik
adalah anggapan Azhar bahwa babu adalah buruh. Sebab,
berdasarkan undang-undang perburuhan (UU No. 22 tahun 1957),
yang disebut buruh adalah siapa saja yang bekerja pada majikan
dengan menerima upah. Itulah sebabnya hubungan antara pembantu
rumahtangga dengan majikannya, menurut Azhar, tak kurang seperti
halnya buruh dengan majikan. Oleh karena itu babu yang buruh itu
juga berhak memperoleh hak-haknya seperti ditentukan
undang-undang -- mulai hak berserikat dan menuntut upah lembur.
Lain halnya dengan pandangan pemerintah yang diwakili Dirjen
Bina Lindung Tenaga Kerja Oetojo Oesman. Seorang tenaga kerja
baru bisa disebut buruh, katanya, bila majikannya sebuah
perusahaan. Bila ada sengketa antara babu atau jongos dengan
majikannya, kata Dirjen, "apakah majikannya bisa dipanggil ke
P4?" P4 adalah panitia yang mengurus dan menyelesaikan sengketa
antara buruh dan majikan.
Bahkan di luar negeri pun, kata Oetojo Oesman, pembantu
rumahtangga tak disebut buruh. Lazimnya mereka disebut domestic
servant atau pelayan yang penempatannya diatur oleh agen khusus
-- bukan instansi yang mengurus buruh. Padahal "babu" di sana
umumnya mempunyai atau lebih menyadari hak-haknya: ada jam kerja
dan uang lembur segala.
Namun yang segera bisa disepakati agaknya babu atau jongos,
buruh maupun bukan, mereka itu, tak bisa diperlakukan seenaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini