Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hidup babu!

Status babu dan jongos tiba-tiba dibicarakan, karena mereka sering mendapat perlakuan tak pantas dari majikannya. mereka sebenarnya tidak bisa diperlakukan seenaknya. (hk)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STATUS pembantu rumah tangga, lazim juga disebut babu, tiba-tiba jadi pembicaraan. Ia digaji, karena itu dapat disebut buruh. Tapi sebagai pelayan terkadang ia merupakan bagian dari keluarga yang ditempatinya -- dan karena itu sulit dikatakan sebagai buruh. Terlebih lagi karena majikannya adalah perseorangan, bukan perusahaan. Pengacara Azhar Achmad, misalnya berpendapat: "Babu adalah buruh." Karena itu, katanya, seperti halnya buruh suatu perusahaan, si babu dilengkapi hak-hak yang ditentukan undang-undang perburuhan. Sedangkan menurut pejabat yang mengurusi buruh, Dirjen Bina Lindung Tenaga Kerja (Depnakertrans) Oetojo Oesman, "babu sama sekali tak dapat dianggap buruh." Pembicaraan tentang tenaga kerja jenis yang satu itu, babu atau pembantu rumahtangga laki-laki yang lazim disebut jongos, dimulai karena berita tentang nasib beberapa di antara mereka yang memang pahit. Babu Misnah (16 tahun) dan Waini (14 tahun) teraniaya di tempat kerja mereka, di sebuah rumah di Jalan Latumeten, Grogol (Jakarta Barat). Oleh majikan, Nyonya Shu Mei Yan (28 tahun), mereka disiram air panas gara-gara -- begitu ceritanya -- lamban bekerja. Mereka ditampung H.A. Nasution, kepala keamanan warga setempat, RW 05 Jelambar. Di situ, seperti cerita Nasution belakangan, kedua babu tersebut mengeluh. Mereka telah bekerja pada tuan yang galak tersebut selama 1« tahun tanpa diberi upah. Padahal, jauh-jauh dari kampung (Misnah dari Semarang dan Waini dari Pemalang) membabu di Jakarta, tentu untuk mencari uang. Untuk memperoleh sekedar makan, katanya, mereka harus bekerja berat siang-malam. Belum lagi, keduanya harus menerima pula perlakuan kasar. Sekedar bentak dan kata-kata kasar masih lumayan. Yang terakhir mereka berdua disiram air panas. "Muka dan tangan mereka melepuh," kata Nasution. Memperhatikan luka di muka Misnah, lanjut Nasution, "mungkin ia akan cacat seumur hidup." "Kini mereka sudah saya pulangkan ke kampung," tambah petugas keamanan yang berpangkat Kapten TNI-AU tersebut. Urusan Babu Misnah dan Waini hampir saja berbuntut kekisruhan. Menurut Nasution, penduduk kampung kawasan Jelambar tiba-tiba berkumpul dan mengepung rumah Nyonya Mei Yan, hendak menuntut balas bagi Misnah dan Waini. "Sampai saat ini kami masih bisa mengatasi keadaan -- entah besok-besok," ujar Nasution. Akan Mei Yan, ternyata, adalah penderita sakit jiwa. Berdasarkan surat keterangan dari dr. Budi Sudomo, 26 Februari lalu, ia dirawat di RS Jiwa Grogol. Di samping cerita tentang Misnah dan Waini, cerita babu yang bekerja di Cawang (Jakarta Timur), juga tak kurang getirnya. Kompas Minggu belum lama ini mengungkapkan kisah Idah, Inah dan Miah. Babu-babu tersebut membeberkan perlakuan kasar majikan mereka. Malah sekitar mata si Idah (14 tahun) masih biru memar ketika menuturkan pengalamannya. Iba terhadap nasib para babu tersebut, seraya menganggap mereka adalah buruh, Tim Bantuan Hukum Federasi Buruh Seluruh Indonesia (TBH-FBSI) mewakili babu-babu tadi mengadu ke Kepala Kepolisian (Kadapol) Metro Jaya. Pimpinan TBH-FBSI, Azhar Achmad, menyatakan Nyonya Mei Yan, bekas majikan Misnah dan Waini, telah melakukan berbagai tindak pidana. Mulai dari perbuatan yang tak menyenangkan, merampas kemerdekaan, sampai penganiayaan terhadap kedua babunya. P4 Tindakan kepolisian masih ditunggu. Tapi yang segera menarik adalah anggapan Azhar bahwa babu adalah buruh. Sebab, berdasarkan undang-undang perburuhan (UU No. 22 tahun 1957), yang disebut buruh adalah siapa saja yang bekerja pada majikan dengan menerima upah. Itulah sebabnya hubungan antara pembantu rumahtangga dengan majikannya, menurut Azhar, tak kurang seperti halnya buruh dengan majikan. Oleh karena itu babu yang buruh itu juga berhak memperoleh hak-haknya seperti ditentukan undang-undang -- mulai hak berserikat dan menuntut upah lembur. Lain halnya dengan pandangan pemerintah yang diwakili Dirjen Bina Lindung Tenaga Kerja Oetojo Oesman. Seorang tenaga kerja baru bisa disebut buruh, katanya, bila majikannya sebuah perusahaan. Bila ada sengketa antara babu atau jongos dengan majikannya, kata Dirjen, "apakah majikannya bisa dipanggil ke P4?" P4 adalah panitia yang mengurus dan menyelesaikan sengketa antara buruh dan majikan. Bahkan di luar negeri pun, kata Oetojo Oesman, pembantu rumahtangga tak disebut buruh. Lazimnya mereka disebut domestic servant atau pelayan yang penempatannya diatur oleh agen khusus -- bukan instansi yang mengurus buruh. Padahal "babu" di sana umumnya mempunyai atau lebih menyadari hak-haknya: ada jam kerja dan uang lembur segala. Namun yang segera bisa disepakati agaknya babu atau jongos, buruh maupun bukan, mereka itu, tak bisa diperlakukan seenaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus