SEMUANYA serba mendadak pemberitahuan per telepon datang dari
Departemen Kehakiman menjelang tengah hari. Dan siang itu juga
Hakim Slamet Riyanto, Pj. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
mengirim lima orang paniteranya menghadap pejabat Ditjen
Pembinaan Badan Peradilan Umum di Jalan Hayam Wuruk (Jakarta
Pusat).
Tak jelas apa yang dibicarakan di sana. Tapi cukup jelas apa
yang terjadi kemudian. Sebab siang itu juga, 2 Maret lalu,
kelima panitera tersebut sibuk berbenah. Setelah semuanya beres,
sore itu juga para panitera Sumardi (Kepala Bag. Pidana),
Sulaiman (Kepala Bag. Kewarganegaraan), Tohidi dan Yusri
(keduanya Panirera Pengganti) menyerahkan jabatan mereka kepada
Hakim Slamet Riyanto. Ketua PN Jakarta Pusat kebetulan sedang
tak berada di tempat.
Sampai sore itu, pukul 19.00, Kepala Panitera Suwito belum siap
berbenah. Besoknya, sore hari, barulah beres semuanya sehingga
keesokan harinya, 4 Maret, Suwito yang telah bertugas sebagai
panitera di sana sekitar 12 tahun, pun menyerahkan jabatannya
pula. (Lihat juga box Tiga Panitera Bercerita).
Ketergesa-gesaan tak dapat menutupi apa yang sesungguhnya
terjadi. Pun ketegangan tak dapat ditawar hanya dengan
pernyataan seorang hakim seperti ini: serah terima jabatan para
panitera tersebut "hanyalah mutasi biasa di lingkungan Depkeh."
Karena akhirnya memang jelas.
Mula-mula kelima panitera tersebut dialih-tugaskan ke Depkeh.
"Kami hanya menunggu penempatan saja," kata Sumardi, di ruang
tunggu Depkeh. Tapi selanjutnya, setelah tiga hari keluar-masuk
ruang kerja Irjen, menjadi nyatalah semuanya. "Saya
bebas-tugaskan mereka dari segala tugas kepaniteraan dan
tugas-tugas lain," kata Menkeh Ali Said minggu lalu. Dan dalam
status tersebut, menurut Menkeh, mereka tetap menerima gaji
pokok tanpa tunjangan -- "kan mereka telah di-nonjob-kan."
Tim 902
Pada minggu yang sama, 5 Maret, Ali Said juga memerintahkan agar
Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, D.J. Staa, menyerahkan
jabatannya paling lambat 24 jam kemudian. Tak diumumkan alasan
pembebas-tugasan hakim senior tersebut. Tapi Menteri Ali Said
pernah menyatakan kekecewaannya terhadap beberapa keputusan
Pengadilan Tinggi Jakarta. Misalnya pembebasan beberapa tertuduh
perkara penyelundupan, eks Operasi Tim 902. Kemurahan pengadilan
banding yang dipimpin Staa, yang meringankan hukuman bagi
terdakwa kejahatan narkotika, juga tak kurang mengganjal hati
Ali Said ketika masih menjabat Jaksa Agung.
Staa, 55 tahun, sebenarnya hendak ditempatkan di Pengadilan
Tinggi di Manado. Sarjana hukum lulusan UGM (1957) itu juga
pernah dicalonkan sebagai Hakim Agung -- tapi tak terpilih.
Tanda-tanda ia akan dirumahkan memang ada. Misalnya, ia tak
diterima Menteri Kehakiman, ketika hendak pamitan menuju posnya
yang baru. Kesalahannya? Kamil Kamka, Irjen Depkeh, hanya
mengatakan " Itulah hasil Opstib!"
Tindakan terhadap kelima panitera dari Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, seperti dikatakan Menteri Kehakiman, juga ada hubungannya
dengan hasil pemeriksaan opstib. Karena mereka memang ikut
terseret ke meja pemeriksaan Opstib yang mengusut para hakim.
Mereka disangka ikut ambil bagian dalam penyelewengan
kepengurusan kewarganegaraan, pungutan liar, dan beberapa
ketidakberesan lain yang diumumkan Opstib beberapa waktu lalu.
Para panitera itu tak mau memberikan keterangan tentang
tuduhan-tuduhan itu.
Bersama Mahkamah Agung, kata Ali Said, Depkeh akan terus
membersihkan pengadilan. Tak hanya yang ada di Jakarta. Di
beberapa daerah, kata Ali Said, juga banyak terjadi kecurangan.
"Asapnya sudah kelihatan," katanya, "tapi membuktikan apinya
memang bukan pekerjaan gampang . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini