Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tiga panitera bercerita

Kisah 3 orang panitera pengganti (jimin dari pn sleman, sutarno dari pn sleman dan sugiarto dari pn bandung). panitera sekarang keadaannya lebih baik. (hk)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERBENAM dalam timbunan arsip, di ruang kerja kepaniteraan yang sunyi dari suara stereo-set atau bunyi-bunyian lain kecuali ktak-ktik mesin tik, Jimin tak merasa kesepian -- walaupun "kadang-kadang sering juga merasa bosan," katanya. Pegawai negeri setingkatnya, meski sejak tahun lalu menerima uang "tunjangan fungsional," katanya tak layak bermain golf. Jimin bekerja di Pengadilan Negeri Sleman. Tapi, sebagai Panitera Pengganti tentu saja ia belum bisa ikut-ikutan bergolf seperti kebanyakan hakim di banyak tempat. Selingan yang tak membosankan pegawai berumur 30 tahun ini, hanyalah menikmati beberapa kejadian di ruang sidang, yang selalu dibawakan pencari-pencari keadilan. Tak putus-putusnya orang datang, silih berganti dengan membawa macam-macam tingkah pula. Betapa tak lucu. Seseorang datang dari dusun, jalan berjongkok-jongkok tampil ke muka hakim, seperti abdi dalem menghadap sultan. Yang tak lucu juga pernah dialami Jimin yang lulus Sekolah Panitera Pengganti 1974. Ada pencari keadilan yang datang-datang membeberkan poster menghina pengadilan, ungkap Jimin. Bahkan ada terdakwa yang mengamuk. Menghadapi semuanya itu, katanya, rasanya tak memadai gaji yang diterimanya. Tapi sejumlah gaji, tunjangan fungsional dan 30 kg beras setiap bulan, dianggap Jimin cukup menghidupi istri dan seorang anaknya. Ditodong Karena itu ia merasa tak perlu mencari obyekan di luar. Juga tanpa harus "memungli" siapa pun. Sebab, begitu disyaratkannya sendiri, "panitera itu harus jujur." Begitu juga pendapat rekan sekerja dan sekantornya, Sutarno, yang tergolong senior di sana. Dengan masa kerja 10 tahun lebih, Sutarno, 37 tahun, juga sering melihat berbagai tingkah "orang bodoh" dari desa yang membuat perutnya hampir kaku karena tertawa. Tapi, lama-kelamaan, ia merasa tak layak tertawa lagi. Bukankah mereka yang buta hukum itu harus dikasihani? "Mereka perlu penerangan hukum " kata Sutarno. Rasa iba yang muncul belakangan ternyata menimbulkan sebuah rencana. Ayah dari tiga anak ini ingin mengamalkan ilmunya kelak di kemudian hari mau jadi pengacara dan pembela rakyat. Modalnya tentu saja pengalaman mengikuti lika-liku hukum yang membelit setiap perkara berat maupun enteng yang selalu dihadapinya bersama para haklm. Sugiarto, panitera yang punya masa kerja lebih 21 tahun di Pengadilan Negeri Bandung, tak sempat mengemukakan pengalaman yang lucu-lucu. Paling-paling, kalau mau dibilang unik selama ini ia bekerja pada kantor dan ruangan yang itu-itu juga. Selebihnya adalah kisah serba sulit menghadapi orang-orang yang berperkara atau yang kena perkara. Misalnya pernah ditodong pistol ketika mengeksekusi putusan pengadilan tentang pembagian tanah. Kalau keadaan sudah begilu rupa, katanya, demi keselamatan terpaksa mengambil langkah mundur. "Soalnya yang kalah main beking-bekingan," katanya, sehingga pengadilan terpaksa pula minta bantuan polisi militer. Yang paling mengesankan Sugiarto adalah peristiwa yang menghebohkan pengadilannya beberapa tahun lalu. Seorang ibu tiba-tiba mengamuk, mengacung-acungkan gunting, mengejar-ngejar hakim dan jaksa. Tentu saja ia, sebagai panitera yang duduk di sebelah hakim, ikut pula lari terbirit-birit. Ibu itu rupanya tak puas dengan putusan hakim, yang menghukum seseorang dengan pidana percobaan saja, meski orang itu terbukti menyebabkan anak tunggalnya, mahasiswi IKIP, meninggal dalam sebuah kecelakaan. Dibanding zaman "dulu", sebelum 1964-an, menurut Sugiarto, keadaan sekarang lebih baik. Dulu, katanya, sebuah mesin tik tua, dengan pitanya yang mulai memutih, dipakai ramai-ramai bergantian. Bagaimana perkara tak numpuk. Karena itu tak jarang panitera harus mengirim surat keluar dengan tulisan tangan. Makin Rumit Sekarang peralatan memang cukup memadai -- misalnya ada mesin fotocopy. Tapi, bukan berarti tumpukan perkara di ruang kerja Sugiarto menipis. Macam perkara sekarang ini, katanya, makin rumit -- tak bisa cepat diselesaikan. Ditambah lagi, orang makin pintar saja mengulur-ulur waktu penyelesaian perkara secara tidak perlu. Misalnya naik banding atau apel untuk perkara yang menurut pandangannya cukup diselesaikan di pengadilan tingkat pertama. "Yang seperti itu menyulitkan panitera," kata panitera lulusan sarjana muda UGM angkatan pertama itu. Gajinya lumayan. Ada tambahan berupa honor bila ia bertugas melaksanakan suatu putusan hakim (eksekusi), penyitaan, atau kelebihan ongkos memanggil taksi. Dia bilang tak pernah ngobyek. Ada juga pekerjaannya di luar jam kantor -- tapi, katanya, itu non-profit sebagai Ketua Rukun Warga (RW). "Itu 'kan kerja amal, ganjarannya mungkin nanti di alam baka," kata Sugiarto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus