TERBENAM dalam timbunan arsip, di ruang kerja kepaniteraan yang
sunyi dari suara stereo-set atau bunyi-bunyian lain kecuali
ktak-ktik mesin tik, Jimin tak merasa kesepian -- walaupun
"kadang-kadang sering juga merasa bosan," katanya. Pegawai
negeri setingkatnya, meski sejak tahun lalu menerima uang
"tunjangan fungsional," katanya tak layak bermain golf.
Jimin bekerja di Pengadilan Negeri Sleman. Tapi, sebagai
Panitera Pengganti tentu saja ia belum bisa ikut-ikutan bergolf
seperti kebanyakan hakim di banyak tempat.
Selingan yang tak membosankan pegawai berumur 30 tahun ini,
hanyalah menikmati beberapa kejadian di ruang sidang, yang
selalu dibawakan pencari-pencari keadilan. Tak putus-putusnya
orang datang, silih berganti dengan membawa macam-macam tingkah
pula. Betapa tak lucu. Seseorang datang dari dusun, jalan
berjongkok-jongkok tampil ke muka hakim, seperti abdi dalem
menghadap sultan.
Yang tak lucu juga pernah dialami Jimin yang lulus Sekolah
Panitera Pengganti 1974. Ada pencari keadilan yang datang-datang
membeberkan poster menghina pengadilan, ungkap Jimin. Bahkan ada
terdakwa yang mengamuk. Menghadapi semuanya itu, katanya,
rasanya tak memadai gaji yang diterimanya. Tapi sejumlah gaji,
tunjangan fungsional dan 30 kg beras setiap bulan, dianggap
Jimin cukup menghidupi istri dan seorang anaknya.
Ditodong
Karena itu ia merasa tak perlu mencari obyekan di luar. Juga
tanpa harus "memungli" siapa pun. Sebab, begitu disyaratkannya
sendiri, "panitera itu harus jujur."
Begitu juga pendapat rekan sekerja dan sekantornya, Sutarno,
yang tergolong senior di sana. Dengan masa kerja 10 tahun lebih,
Sutarno, 37 tahun, juga sering melihat berbagai tingkah "orang
bodoh" dari desa yang membuat perutnya hampir kaku karena
tertawa. Tapi, lama-kelamaan, ia merasa tak layak tertawa lagi.
Bukankah mereka yang buta hukum itu harus dikasihani? "Mereka
perlu penerangan hukum " kata Sutarno.
Rasa iba yang muncul belakangan ternyata menimbulkan sebuah
rencana. Ayah dari tiga anak ini ingin mengamalkan ilmunya kelak
di kemudian hari mau jadi pengacara dan pembela rakyat. Modalnya
tentu saja pengalaman mengikuti lika-liku hukum yang membelit
setiap perkara berat maupun enteng yang selalu dihadapinya
bersama para haklm.
Sugiarto, panitera yang punya masa kerja lebih 21 tahun di
Pengadilan Negeri Bandung, tak sempat mengemukakan pengalaman
yang lucu-lucu. Paling-paling, kalau mau dibilang unik selama
ini ia bekerja pada kantor dan ruangan yang itu-itu juga.
Selebihnya adalah kisah serba sulit menghadapi orang-orang yang
berperkara atau yang kena perkara. Misalnya pernah ditodong
pistol ketika mengeksekusi putusan pengadilan tentang pembagian
tanah. Kalau keadaan sudah begilu rupa, katanya, demi
keselamatan terpaksa mengambil langkah mundur. "Soalnya yang
kalah main beking-bekingan," katanya, sehingga pengadilan
terpaksa pula minta bantuan polisi militer.
Yang paling mengesankan Sugiarto adalah peristiwa yang
menghebohkan pengadilannya beberapa tahun lalu. Seorang ibu
tiba-tiba mengamuk, mengacung-acungkan gunting, mengejar-ngejar
hakim dan jaksa. Tentu saja ia, sebagai panitera yang duduk di
sebelah hakim, ikut pula lari terbirit-birit. Ibu itu rupanya
tak puas dengan putusan hakim, yang menghukum seseorang dengan
pidana percobaan saja, meski orang itu terbukti menyebabkan anak
tunggalnya, mahasiswi IKIP, meninggal dalam sebuah kecelakaan.
Dibanding zaman "dulu", sebelum 1964-an, menurut Sugiarto,
keadaan sekarang lebih baik. Dulu, katanya, sebuah mesin tik
tua, dengan pitanya yang mulai memutih, dipakai ramai-ramai
bergantian. Bagaimana perkara tak numpuk. Karena itu tak jarang
panitera harus mengirim surat keluar dengan tulisan tangan.
Makin Rumit
Sekarang peralatan memang cukup memadai -- misalnya ada mesin
fotocopy. Tapi, bukan berarti tumpukan perkara di ruang kerja
Sugiarto menipis. Macam perkara sekarang ini, katanya, makin
rumit -- tak bisa cepat diselesaikan. Ditambah lagi, orang makin
pintar saja mengulur-ulur waktu penyelesaian perkara secara
tidak perlu.
Misalnya naik banding atau apel untuk perkara yang menurut
pandangannya cukup diselesaikan di pengadilan tingkat pertama.
"Yang seperti itu menyulitkan panitera," kata panitera lulusan
sarjana muda UGM angkatan pertama itu.
Gajinya lumayan. Ada tambahan berupa honor bila ia bertugas
melaksanakan suatu putusan hakim (eksekusi), penyitaan, atau
kelebihan ongkos memanggil taksi. Dia bilang tak pernah ngobyek.
Ada juga pekerjaannya di luar jam kantor -- tapi, katanya, itu
non-profit sebagai Ketua Rukun Warga (RW). "Itu 'kan kerja amal,
ganjarannya mungkin nanti di alam baka," kata Sugiarto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini