EMPAT ratus transmigran di Sentajo, Indragiri Hulu, Riau,
nekat menyerang kepala proyek dengan golok terhunus. Kemarahan
itu meledak, karena mereka belum juga menerima areal pertanian
seperti seharusnya, sementara bantuan pemerintah hampir
dihentikan.
Para transmigran dari Ja-Bar itu dimukimkan di sana sejak Juni
1980. Peristiwa yang terjadi 11 Januari itu didahului tuntutan
agar tanah pertanian segera diserahkan atau bantuan pemerintah
yang sudah hampir mencapai setahun itu, diperpanjang.
Ternyata Simanjuntak, sebagai petugas lapangan di proyek itu,
tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan mereka. Seperti
sebelumnya, Simanjuntak hanya bisa mengatakan, areal pertanian
mereka masih diusahakan. Sementara Simanjuntak tak dapat
memastikan apakah bantuan -- berupa 40 kg beras, 5 kg ikan asin,
3 kg gula, minyak tanah dan sabun yang selama ini diterima tiap
KK -- setiap bulan, akan diperpanjang atau tidak. Menurut
ketentuan bantuan itu akan berakhir Mei 1981 nanti.
Ketidak-pastian itu membuat emosi transmigran meledak. Mereka
menyerbu dengan golok terhunus. "Cincang Simanjuntak," teriak
para transmigran. Simanjuntak terpaksa bersembunyi di ruang
kantornya, sampai polisi datang.
Ingin Hebat
Tetapi massa tidak tertahan lagi. Ketika polisi berusaha membawa
Simanjuntak ke Teluk Kuantan (15 km dari lokasi), transmigran
berhasil menyeret Simanjuntak. Menurut seorang transmigran,
Simanjuntak menangis di bawah ancaman golok transmigran.
Untunglah di antara kelompok transmigran ada yang muncul
menyelamatkan petugas itu -- dan menenangkan rekan-rekannya.
Tak berarti para transmigran telah merasa tenteram, meskipun
Kanwil Transmigrasi Riau kemudian berjanji akan memperhatikan
tuntutan mereka. Sebab mereka tetap belum mendapat kepastian
kapan areal pertanian akan dibagikan. Melihat keadaan ini banyak
transmigran yang putus asa dan berangsur pulang ke Ja-Bar
melalui jalan darat.
Sebetulnya, setiap KK di Sentajo sudah diberi tanah pekarangan
seluas 0,5 ha untuk ditanami. Tapi hasil tanah itu tidak
mencukupi. "Lihatlah, meski pun sudah diberi pupuk, tanaman
masih kuning," ujar Basirun, seorang transmigran Sentajo. Bahkan
di kebun percontohan proyek, jenis sayuran dan kacang enggan
rumbuh. Hal ini terjadi karena pembersihan pemukiman (land
clearing) itu dulunya main kupas habis, sehingga menghabiskan
humus yang ada.
Untuk mencukupi kebutuhan seharihari, di antara transmigran itu
ada yang nyambi jadi kuli bangunan di proyek proyek Teluk
Kuantan -- sambil menunggu penyelesaian areal pertanian yang
dijanjikan. Ternyata sampai kemarahan mereka meledak, yang
ditunggu itu tidak kunjung datang.
Kepala PU Riau, Firdaus Malik, menolak pihaknya disalahkan dalam
masalah ini. "Sebetulnya tahap-tahap penyelesaian areal sudah
sesuai dengan rencana," katanya. Salahnya, menurut dia, antara
penyelesaian areal dengan jadwal kedatangan transmigran terjadi
kejar-kejaran, sehingga kontraktor yang mengerjakannya tak punya
waktu cukup. Kurangnya koordinasi ini diakui juga oleh seorang
pejabat teras kantor Gubernur Riau. "Gara-gara semua instansi
sibuk mengejar target masing-masing," kata pejabat itu. Ata
seperti dikatakan Asisten Intelpam Kodak IV Riau, Letkol Ichsan
Kusparmono, "masing-masing ingin hebat sendiri."
Karena cara kerja begitu pula, 200 kk transmigran di Kuala
Cinaku, akhir Februari menulis surat kepada Presiden Soeharto
untuk mengadukan nasib mereka. Pemukiman Kuala Cinaku -- juga di
Kabupaten Indragiri Hulu -- adalah proyek transmigrasi
pasang-surut. Pihak PU belum selesai menyiapkan pemukiman itu,
transmigran sudah berdatangan. Rumah-rumah yang akan ditempati
pendatang itu akhirnya ditancapkan begitu saja di sela
gelimpangan pohon-pohon besar.
Tentu saja para transmigran kaget melihat tempat tinggal mereka
masih berantakan. Pejabat Gubernur Riau (waktu itu), Prapto
Prayitno, meminta transmigran membantu pembersihan tanah mereka
dengan diberi upah. Namun upah yang dijanjikan, Rp 5000 untuk
membersihkan pekarangan dan Rp 15.000 untuk tempat usaha yang
sudah disanggupi oleh kontraktor, ternyata diingkari pula. Ada
yang menerima separuh, ada juga yang tidak sama sekali. Baru
setelah mereka mengirim surat kepada Presiden dan Kodak setempat
turun tangan, PT Yunawati, kontraktor itu, melunasi upah tadi.
Di tengah keributan-keributan itu, pihak Kanwil Transmigrasi
Riau masih terus menerima transmigran. Misalnya, belum lama ini
1000 kk transmigran yang ditolak Pemda Jambi karena lokasi di
sana belum siap, kemudian ditampik juga di Aceh -- diterima di
Riau.
Kepala Kanwil Transmigrasi Riau, I.G.M.S. Hendrosasmito, ketika
ditanyai soal itu, tak mau bicara banyak. Sebab, katanya, "tidak
ada masalah."
Tapi Menteri Muda Urusan Transmigrasi Martono, yang meninjau
Kuala Cinaku dan Teluk Kuantan akhir Februari lalu
berkesimpulan, penyelenggaraan transmigrasi di sana memang ada
yang kurang berhasil. "Tetapi itu gejala umum di seluruh
Indonesia," kata Martono. Di Kuala Cinaku ketidak-beresan itu
menurut menteri akibat kerja kontraktor yang lamban. Karena itu
kontraktornya akan segera ditindak.
Sementara di Sentajo, menurut menteri pula, tidak ada masalah.
Karena, kata Martono, sebagian transmigran di sana sudah
mempunyai areal. Ia tak mau menyinggung kemarahan 400
transmigran di Sentajo Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini