Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hompipah itu Perlu

Permainan tradisional makin kurang diminati anak-anak. Padahal melupakan permainan tradisional bisa membuat kecerdasan emosional yang rendah.

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GASING, egrang, bola rotan, dan aneka jenis alat permainan teronggok di ruangan. Aneka mainan yang sedang dipamerkan di Museum Nasional, Jakarta, itu tampak kesepian. Tak tampak anak-anak mengerumuninya. Pameran permainan tradisional Indonesia yang diselenggarakan selama satu bulan—25 Februari sampai dengan 25 Maret 1999—ini agaknya seperti menggambarkan "nasib" permainan anak-anak tradisional yang mulai kalah pamor dengan mainan-mainan modern. Benarkah permainan tradisional tak lagi menarik hati anak-anak? Dr. Seto Mulyadi, psikolog yang akrab dengan dunia anak-anak, pernah meneliti hal ini sekitar dua tahun lalu. Ia meneliti seratus permainan tradisional yang pernah hidup di lima provinsi. Ternyata, dari jumlah tersebut, hanya 34 permainan yang masih dimainkan anak-anak, 29 permainan kadang-kadang dimainkan, sedangkan sisanya tak lagi disentuh. Salah satu penyebabnya adalah munculnya alternatif permainan dan hiburan baru. Sega, game watch, tamagotchi, nintendo, playstation, memang kini menjadi nama mainan yang sering disebut anak-anak, terutama yang tinggal di perkotaan. Tengoklah keluarga Hakim, yang sering mengantarkan anak mereka, Dito, ke arena permainan modern yang biasa terdapat di pusat perbelanjaan. Menurut Hakim, ia lebih memilih tempat ini atau membelikan "game nintendo" terbaru untuk Dito ketimbang memperbolehkan anaknya bermain-main dengan anak tetangga, yang disebutnya anak kampung. Boleh jadi sikap ini bukan monopoli keluarga Hakim saja. "Ada anggapan keliru dari masyarakat, seolah permainan tradisional itu kuno dan ketinggalan zaman," ujar Seto. Padahal, ada beberapa keunggulan yang ditemui pada permainan hompipah, gobak sodor, bentik, dan lain-lainnya itu. Dalam permainan tradisional, anak belajar bergaul, bekerja sama, mematuhi peraturan, dan menghargai kemenangan orang lain. Selain itu, tubuh anak pun menjadi bugar karena bergerak kian kemari. Lihat saja aktivitas anak-anak dalam permainan loncat karet—yang juga berguna untuk merangsang perkembangan saraf motorik anak—atau petak umpet. Menurut psikolog anak Prof. Utami Munandar, anak yang tidak mendapat kesempatan bermain di luar bersama teman-temannya akan kurang terampil dalam interaksi sosial. "Dia akan lebih senang menyendiri," kata Utami. Seto bahkan menilai, bibit sifat gampang curiga tumbuh subur bila anak-anak hanya asyik dengan permainan modern yang tak membutuhkan teman. Akibatnya, "Banyak anak modern memiliki kecerdasan tinggi, tetapi kecerdasan emosional rendah," katanya. Memang, tak berarti permainan modern tak punya manfaat. Pada batas-batas tertentu, permainan modern juga bisa merangsang, katakanlah, kemampuan abstraksinya. "Misalnya permainan ding-dong di mal-mal. Bagaimana anak membayangkan naik kendaraan, itu berarti kemampuan suatu bentuk dua dimensi dia bayangkan sebagai tiga dimensi," kata Seto. Hanya saja, jika hanya kemampuan itu yang diunggulkan, anak akan menjadi individualistis dan kurang mengerti perasaan manusia karena hubungannya dengan mesin. Memang, tidak ada sesuatu yang mutlak.Yang penting dituju dari sebuah permainan sebenarnya adalah perkembangan anak secara utuh. "Karena itu, anak perlu berbagai jenis permainan, yang harus bisa memenuhi perkembangan motorik, kemampuan berpikir, merangsang kreativitas, kebutuhan emosional, dan sosialisasi. Jangan memberikan jenis permainan yang selalu sama," saran Utami. Terus-menerus bermain di luar, kata Utami, juga kurang baik karena kemampuan kreativitas dan imajinasi anak kurang berkembang. "Jadi, dia perlu kegiatan bersama tapi juga harus bisa mandiri. Kadang-kadang orang tua kurang menyadari, dalam kesendirian seorang anak malah bisa mengasah bakat-bakatnya," katanya. Masalahnya, kini memang tak mudah menghidupkan permainan-permainan tradisional. Bukan hanya karena permainan baru datang dengan daya tarik yang memikat, permainan Indonesia umumnya membutuhkan ruang, waktu, dan lingkungan tertentu. Sementara itu, lahan bermain, terutama di perkotaan, makin tak menyisakan ruang untuk bermain. Sedangkan waktu pun makin banyak yang terkuras untuk belajar, mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk, atau kursus ini-itu. Lingkungan alam yang membuat anak-anak mudah mendapatkan daun, ranting, batang, atau batu—yang dibutuhkan untuk permainan model lama—pun tak banyak tersedia. Semua kesulitan itu mestinya tak perlu sampai membuat anak-anak kehilangan kesempatan untuk bermain sama sekali. Bila itu yang terjadi, setelah dewasa mereka mungkin akan banyak berhadapan dengan masalah. "Hidupnya tak pernah serius, hanya main-main," ujar Seto. Bermain memang tak hanya menyenangkan, tapi juga diperlukan. Yusi A. Pareanom dan Nurur Rokhmah Bintari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus