Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akhirnya, Gus...

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lakon Gus Dur jadi bankir ternyata cuma bertahan tiga bulan. Sawab tokoh politik ini agaknya tak cukup manjur untuk membuat "belok" keputusan pemerintah. Bank Papan Sejahtera dan Ficorinvest, dua bank yang dibelinya sejak tiga bulan lalu, kena vonis sesuai dengan ketentuan: ditutup karena kurang modal. Apa boleh buat, mimpi Gus Dur madeg jadi bankir, setidaknya untuk sementara, harus dikubur. Gus Dur kepeleset? Barangkali. Yang jelas, kiai Pesantren Denanyar Jombang ini semula memborong kedua bank tadi dengan niat serius. Bank Papan dan Ficorinvest dibeli dengan harga mahal, walaupun berada dalam posisi gawat dan bisnis perbankan sedang suram. Menurut hasil uji tuntas auditor internasional, kedua bank ini modalnya negatif. Kalau mau tetap hidup, pemiliknya harus mampu menyuntikkan tambahan modal ratusan miliar rupiah. Semula, banyak yang percaya, masuknya Gus Dur akan mengubah nasib bank-bank ini. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu, dengan pengaruhnya yang begitu meluas, semula diyakini bisa mengentaskan kedua bank papan tengah tadi lolos mengikuti program rekapitalisasi. Masyarakat memang tak yakin Gus Dur punya cukup uang sebagai tambahan modal. Tapi mereka percaya, seperti yang sering dikatakan Gus Dur, bahwa kiai populer ini, "Banyak punya teman." Namun, hingga akhir pekan lalu, Papan dan Ficor tak juga sanggup menyetor tambahan modal. Pemerintah tampaknya tak punya pilihan lain kecuali menutupnya. Apa yang terjadi? Menurut sumber-sumber TEMPO, ditutupnya Papan berpangkal dari ketidaksepahaman para pemiliknya. Kelompok usaha Tirtamas (Hashim Djojohadikusumo, yang menguasai 19,22 persen) dan Harawi Sekawan (Gus Dur, memiliki 19,98 persen) tak sepakat tentang siapa yang harus mengucurkan dana 20 persen tambahan modal agar bisa ikut rekapitalisasi. Kebutuhan dana rekapitalisasi Bank Papan disebut-sebut mencapai Rp 1,3 triliun. Itu artinya, para pemegang saham harus menyediakan sekitar Rp 260 miliar. Rupanya, keduanya sama-sama tak mau mengambil inisiatif, sampai tenggat penyetoran modal dan penyelesaian rencana usaha sudah ada di depan mata. Menurut sumber TEMPO di Tirtamas, "Pihak Harawi tampaknya ogah-ogahan setor modal." Sebaliknya, Harawi berpikir, Hashim mestinya lebih dulu melunasi utangnya di Papan yang sudah jatuh tempo. "Kalau itu dilakukan, tak perlu setoran modal, Papan akan selamat," kata Hamonangan Sinaga, Direktur Utama Bank Papan, kepada Agus Hidayat dari TEMPO. Dia menambahkan, debitur paling besar di Papan memang Tirtamas, sehingga perusahaan itulah yang harus dikejar untuk segera membayar utang. Namun, rupanya, utang yang menurut pihak Harawi sudah jatuh tempo itu tak juga dibayar. Kesal menunggu nasib, Papan lalu menggugat pailit Tirtamas Majutama dan Semen Cibinong, dua perusahaan milik Hashim. Dua perusahaan itu dianggap tak berniat membayar utangnya di Bank Papan. Kredit itu diberikan ketika Hashim menjadi pemegang saham mayoritas. Mei 1997, Papan mengucurkan kredit ke Tirtamas senilai Rp 200 miliar dengan bunga 17,5 persen. Dana ini dipakai untuk menyelesaikan pabrik olefin dan aromatik di Tuban, Jawa Timur. Dua bulan kemudian, giliran PT Semen Cibinong yang mendapatkan kucuran US$ 8,6 juta. Kredit ini merupakan bagian dari kredit sindikasi senilai US$ 1,1 miliar yang dipakai untuk menyelesaikan pembangunan dua pabrik semen di Cilacap dan Cibinong. Ketika pembangunan pabrik olefin belum rampung, krisis menghantam Indonesia. Hashim agaknya kesulitan modal untuk menyelesaikan proyek itu. Pasar produk petrokimia dunia juga sedang ambles. Pabrik semennya pun tak ada bedanya. Meski dua-duanya sudah selesai, pasar domestik berantakan akibat krisis, sedangkan pasar internasional dilanda kelebihan pasokan. Akibatnya, harga semen anjlok dari sekitar US$ 45 per ton menjadi hanya US$ 14 per ton. Menurut kuasa hukum Papan, kredit yang disalurkan ke Semen Cibinong sudah jatuh tempo Juni dan Oktober lalu. Tapi, hingga akhir Februari, Cibinong tak juga membayar. Karena itu, dilayangkanlah gugatan pailit. Utang Cibinong pun dihitung membengkak jadi US$ 11,99 juta, sementara pinjaman Tirtamas menggelembung jadi Rp 514,6 miliar. Kuasa hukum Cibinong, Hotman Paris Hutapea, memang menyatakan siap menghadapi gugatan itu. "Saya punya senjata," katanya. Tapi Hashim, kabarnya, masih mencoba melakukan upaya damai. Putra ekonom senior Sumitro Djojohadikusumo ini bahkan sudah bertemu dengan Gus Dur pekan lalu, tapi tetap tak ada titik temu. Gus Dur malah balik mengancam akan menyita seluruh aset milik Hashim. "Kalau perlu tinggal kolornya," katanya. Sayangnya, apa pun yang dilakukan Gus Dur sekarang tak akan menolong Bank Papan dan Ficorinvest. Kedua bank itu sudah tak mungkin hidup lagi. Sudahlah, Gus, tak jadi bankir juga tidak patheken....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus