Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jempol Habibie, Beban Rakyat

Seleksi awal pembersihan bank terkesan adil dan tidak pandang bulu. Tapi langkah pemerintah mengambil alih tujuh bank yang tak memenuhi syarat rekapitalisasi akan membebani rakyat.

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bapak polah, rakyat kena getah. Barangkali itulah tamsil yang tepat untuk menggambarkan upaya pemerintah menyehatkan perbankan. Tanpa disadari banyak orang, rekapitalisasi bank, yang hasil seleksinya diumumkan akhir pekan lalu itu, akan meminta tambahan ongkos yang cukup besar. Biaya ekstra ini, apa boleh buat, bakal dibebankan ke pundak rakyat pembayar pajak. Sepintas kilas, seleksi bank-bank yang layak direkapitalisasi ini memang terkesan adil dan bebas dari tekanan politis. Vonis terhadap nasib bank, entah yang ditutup ataupun yang diinjeksi modal, sepertinya didasarkan semata-mata pada pertimbangan ekonomi. Salah satu buktinya, bank-bank yang semula digosipkan akan lolos melalui pelbagai ''jalan belakang" ternyata akhirnya harus ketanggor alias tertinggal di landasan. Bank Papan Sejahtera, misalnya. Bank yang sebagian sahamnya dimiliki kiai berpengaruh Abdurrahman Wahid ini sempat diduga bakal lolos karena pertimbangan politis. Tapi ternyata tidak. Bank Papan berada di antara 38 bank yang ditutup, dan Gus Dur, calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa, yang tiga bulan lalu membeli bank ini dengan harga mahal, akhirnya batal jadi bankir. Tidak manjurnya tekanan politik juga tampak dari tergusurnya bank milik pengusaha yang punya koneksi politik kuat. Bank Pesona Kriyadana (nama baru Bank Utama) milik Tommy Soeharto, yang lolos dari gelombang likuidasi satu setengah tahun lalu, misalnya, kini ikut kena gebuk. Begitu juga Bank Yakin Makmur (Yama) milik Tutut, dan Bank Alfa (reinkarnasi Bank Andromeda) milik Bambang Trihatmodjo. Bukan cuma itu. Kekuatan ''lobi" yang semula pernah dikhawatirkan bakal membengkokkan keputusan pemerintah ternyata juga tak banyak bekerja. Ini terlihat dari tersingkirnya bank-bank milik pengusaha pribumi, yang kabarnya kini sedang dapat angin. Bank Intan milik Fadel Muhammad ikut kena hantam. Akibatnya, pengusaha yang dikenal sebagai salah satu dari The Ginandjar's Boys itu harus menggantung impiannya untuk mendirikan bank syariah. Nasib yang sama juga dialami pemilik jaringan hotel berbintang Sahid Sukamdani Gitosardjono. Pengusaha pribumi yang cukup berpengaruh ini ternyata juga tak bisa berkutik ketika bank miliknya, Sahid Gajah Perkasa, ikut kena semprit. Lalu bagaimana dengan Bank Nusa Nasional (BNN)? Bank milik kelompok usaha Bakrie itu, seperti sudah diduga, memang tidak ditutup. Berkat lobi Aburizal Bakrie? Tampaknya, sih, tidak. Bank papan tengah ini memang tetap dibiarkan hidup tapi tak lagi jadi milik Bakrie. Dengan rekapitalisasi ini, BNN akan diambil oper pemerintah. Seratus persen saham BNN menjadi milik pemerintah. Menurut Menteri Keuangan Bambang Subianto, BNN terus dipertahankan hidup lantaran nasabah dan jaringan cabangnya cukup banyak. Dengan seleksi yang seketat itu, akhirnya cuma 9 dan 178 bank swasta yang dinilai layak dan diizinkan mengikuti program rekapitalisasi. Akibatnya, biaya yang harus ditanggung pemerintah untuk membantu 80 persen kebutuhan modal perbankan jadi menyusut drastis. Semula, biaya penyuntikan modal bank-bank swasta diperkirakan akan mencapai Rp 23 triliun. Tapi, dengan hanya sembilan bank yang lolos, cuma diperlukan sekitar Rp 17 triliun. Lumayan. Ada penghematan Rp 6 triliun. Tak mengherankan, dengan seleksi yang tampak adil, tegas, dan hemat biaya seperti itu, seorang analis perbankan asing menganggap pemerintah Indonesia sudah proper dalam menggelar program rekapitalisasi perbankan. Kali ini ia memuji tanpa sungkan, ''Habibie bolehlah diacungi jempol." Tapi jempol apa? Jempol semut atau jempol gajah? Jangan keburu bangga. Lepas dari seleksi yang tampak adil itu, sejumlah analis perbankan melihat beberapa keputusan yang tak masuk akal. Keputusan yang ajaib seperti ini, celakanya, punya potensi besar untuk mengganjal suksesnya penyehatan perbankan. Atau setidaknya, akan mendongkrak biaya rekapitalisasi jadi membengkak besar. Satu hal yang paling disayangkan adalah keputusan pemerintah mengambil alih operasi dan kepemilikan sejumlah bank. Seperti diketahui, ada tujuh bank papan tengah, masing-masing Bank Nusa Nasional (BNN, milik Grup Bakrie), Bank Duta (yayasan-yayasan Soeharto), Bank Tamara (Atang Latief), Bank Rama (Joseph Gondobintoro), Bank Pos (BUMN PT Pos), Bank Jaya (Pemda DKI dan Ciputra), Bank RSI (kongsi Ibrahim Risjad dan Sudono Salim), lolos dari maut karena 100 persen sahamnya diambil oper dari pemilik lama ke tangan pemerintah. Kalau mau jujur, tujuh bank yang diloloskan dari maut ini merupakan bank yang tak memenuhi syarat rekapitalisasi. Untuk menggaet bantuan injeksi modal pemerintah dalam rekapitalisasi bank, sebuah bank mestinya lolos empat syarat berikut: modal masih lumayan (bisa minus tapi tak lebih kecil dari negatif 25 persen dari aset), punya masa depan (dalam tiga tahun ke muka bisa memenuhi standar internasional persyaratan modal), reputasi pemilik dan pengurusnya tak cacat, serta pemiliknya mau menyetor 20 persen dari kebutuhan kapital. Repotnya, menurut sumber TEMPO, tak satu pun dari pemilik ketujuh bank ini yang bisa memenuhi satu syarat terpenting: menyetor tambahan modal. Para pemilik itu, dengan pelbagai alasan, ''Ogah keluar duit." Dengan kata lain, bank-bank ini sudah tak lagi direken alias diikhlaskan pemiliknya untuk ditutup. Lalu mengapa pemerintah mau repot-repot memulung bank-bank yang sudah ''dibuang" itu? Tak ada jawaban yang meyakinkan. Menteri Keuangan Bambang Subianto cuma punya alasan sepele. Bank-bank ini, katanya, punya jaringan yang luas (memiliki 28 sampai 82 cabang) dan nasabah banyak (di atas 80 ribu rekening). Pertanyaannya: apakah jaringan dan jumlah nasabah merupakan alasan ekonomis untuk menentukan mati hidupnya sebuah bank? Ketika pemerintah mengambil alih pengelolaan Bank Danamon dan BCA Agustus lalu, alasan jaringan memang masuk akal. Kedua bank itu masing-masing punya lebih dari 500 kantor cabang dengan jutaan nasabah. Lagipula, seperti kata seorang analis, kedua bank ini punya brand name, punya ''merek" yang bisa dijual. La, kalau ketujuh bank ini? Silahkan berdebat. Direktur Perbankan Bank Indonesia yang bertanggung jawab atas program rekapitalisasi perbankan, Subarjo Joyosumarto, mengakui batasan jumlah nasabah sebagai kriteria bank yang diambil alih pemerintah itu merupakan ketetapan baru. Menurut Subarjo, batasan 80 ribu nasabah itu diputuskan setelah berembuk dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia sebagai pengawas independen. Pertimbangannya, sebuah bank yang nasabahnya sampai 80 ribu, jika ditutup, bisa mengganggu ''transaksi masyarakat dan sistem pembayaran". Subarjo tak bisa menjelaskan dengan tegas apakah angka ini merupakan batasan yang adil atau akademis. Mengapa, misalnya, bukan 70 ribu atau bahkan 100 ribu? Ia hanya mengatakan, ''Ini bukan perkara adil atau tidak. Persoalannya, batas harus ditetapkan." Namun seorang analis perbankan asing menilai kriteria jumlah nasabah untuk menentukan mati hidupnya sebuah bank amat menggelikan dan sembrono. Ia membandingkan keputusan memungut tujuh bank papan tengah ini dengan penutupan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Bank Umum Nasional (BUN). Menurut kalkulasinya, dilihat dari jumlah nasabah maupun luas jaringannya, kedua bank yang ditutup itu berkali-kali lipat lebih besar dan lebih luas ketimbang ketujuh bank yang kali ini diambil alih. Kalau seperti itu cara berpikirnya, kata analis ini, ''Lalu mengapa BDNI dan BUN ketika itu tak dipertahankan?" Memang benar, kualitas aset BDNI dan BUN amat buruk. Kredit kedua bank ini, ke kelompok Gajah Tunggal (Syamsul Nursalim) dan Kalimanis (Bob Hasan), masing-masing di atas 70 persen total kredit. Akibatnya, kedua bank ini memang sulit direparasi. Tapi analis ini juga tak yakin, apakah tujuh bank yang diambil alih saat ini kualitas asetnya dijamin tak seburuk BDNI dan BUN. Celakanya, pengambilalihan bank-bank yang kehabisan modal ini akan melahirkan risiko finansial yang tak kecil: ongkos rekapitalisasi jadi membesar. Menurut hitungan kasar, biaya yang ditanggung pemerintah (sebagai pemilik) untuk merekapitalisasi ketujuh bank ini mencapai Rp 13 triliun. Padahal, jika sebagian setoran modal ini dibebankan kepada pemegang saham lama, biaya yang ditanggung pemerintah cuma sekitar Rp 8 triliun. Gambaran pembengkakan biaya yang dihabiskan bank-bank take over bisa dilihat dari skenario penyelamatan BNN berikut. Menurut hasil uji tuntas (due diligence) auditor internasional, BNN sudah sakit parah. Kredit macetnya sebesar gunung, hampir Rp 4 triliun, sehingga modalnya jadi keropos. Rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) sudah minus 210 persen. Untuk membuatnya siuman saja?menaikkan CAR jadi 4 persen?BNN butuh injeksi hingga Rp 5,1 triliun. Dari jumlah itu, sekitar Rp 4,3 triliun harus disuntikkan secara tunai. Sisanya, Rp 770 miliar, bisa diinjeksi dengan surat utang (obligasi) pemerintah. Andai saja rekapitalisasi BNN ditangani pemiliknya, kewajiban untuk menyuntikkan dana tunai akan dibebankan kepada Bakrie. Pemerintah cukup menyetor surat utang senilai Rp 770 miliar. Namun, karena 100 persen saham kini dikuasai pemerintah, seluruh kewajiban rekapitalisasi akan menjadi beban para pembayar pajak. Karena itu, dengan menimbang begitu beratnya risiko finansial yang harus ditanggung, analis asing itu menyimpulkan, ''Pengambilalihan ketujuh bank ini bukan cuma tak adil, tapi juga tak masuk akal." Lalu mengapa tetap dilakukan? Seorang analis industri perbankan dari sebuah perusahaan sekuritas lokal yakin bahwa ''pemulungan" bank-bank busuk ini tak punya motif lain kecuali politis. ''Saya percaya," katanya, ''ini cermin dari sikap berpihak kepada sejumlah pengusaha tertentu." Ia mengaku, secara langsung para pemilik bank yang diambil alih tadi memang tak diuntungkan. Seperti ditegaskan Menteri Keuangan, mereka memang tak lagi punya saham dan juga kewenangan sedikit pun. Tapi tak tertutup kemungkinan, para pemilik bank ini akan menebus kembali saham yang telah diambil oper pemerintah. Kelak, seperti juga sudah dijanjikan Menteri Bambang, penyertaan saham pemerintah di tujuh bank ini akan dijual ke investor yang berminat. Yang juga tak bisa dilupakan, dengan bank yang tetap hidup, ''nama baik" para bankir ini seperti tak tercoreng. Ini berbeda dengan nasib para pemilik bank yang dilikuidasi. Dengan mudah mereka sewaktu-waktu bisa dimasukkan dalam daftar orang tercela, yang diharamkan mengurus bank untuk selama-lamanya. Keuntungan nonfinansial ini, menurut analis tadi, agaknya patut juga diperhitungkan. ''Ini memang bukan laba rugi yang diukur dengan uang," katanya, ''tapi nama baik merupakan salah satu modal terbesar seorang pengusaha." Menjaga nama baik memang tak ada salahnya. Tapi, bagaimana jika bebannya sampai harus ditanggung seluruh rakyat? Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus