BUNYI dor-dor-dor itu tak menarik perhatian. Penduduk seputar
Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur, tak ada
yang hirau Senin pekan lalu. Maklum masih suasana Lebaran.
Petasan? Ternyata suara tembakan petugas yang berusaha mengatasi
huru-hara.
Keributan di LP Cipinang, berdasar hasil pengusutan sementara
dari tim yang dibentuk Ditjen Pemasyarakatan, bermula dari soal
pemerasan. Senin itu, Evi Chandra mendapat kiriman makanan dan
rokok dari keluarganya. Tiga orang napi -- Suprapto alias Seger,
Hambali alias Macan dan Rahmat Sapri -- lalu bertandang ke
kamarnya. Di Kamar I Blok D itu terjadi perang mulut: rupanya
Evi tak senang dimintai rokok dengan cara paksa. Toh ia tak
berdaya: Hambali dan Rahmat menggenggam senjata tajam,
sementara Seger membawa sepotong besi. Sambil berteriak minta
tolong Evi berlari keluar -- dan segera diburu. Tepat di muka WC
Blok IC, Evi tersungkur kena sabet senjata Hambali. Dua tusukan
mengenai lambung dan satu lagi mengenai kemaluannya.
Seorang petugas, Hanny Manopo, yang mencoba menolong Evi malahan
diserang. Syukur karateka itu sempat menangkis. Dan ketika
hendak dikeroyok ia buru-buru mencabut pistol serta menembak ke
atas. Hambali cs mundur. Tapi tak lama kembali lagi bersama
puluhan napi lain. Ada yang mengacungkan tinju sambil berteriak
histeris, belasan lainnya tampak menggenggam senjata tajam.
Ya, senjata tajam. Tapi bukan pisau mengkilap buatan pandai
besi. Bukan pula arit bikinan Taiwan. "Coba saja lihat," kata
Hari Marsoedi, Kepla LP Cipinang kepada TEMPO. Ia menunjukkan
belasan senjata. Bentuknya memang "menggelikan", sekaligus bikin
kuduh merinding, terutama bila diingat oleh siapa senjata itu
dibuat dan kira-kira untuk tujuan apa. Pisau yang terbuat dari
sendok baja yang ujung atau pangkalnya lebih dulu diketuk-ketuk
dengan batu. Ada pula paku besar, dan potongan kecil besi yang
diasah ala kadarnya. Benda-benda itu jelas dibuat dalam lembaga
secara sembunyi-sembunyi. Sejak 1980, kata Marsoedi, sudah dua
karung atau ratusan pucuk senjata semacam itu dirazia.
Nah. Karena melihat beberapa petugas menyingkir, untuk sementara
sekitar 300 napi merasa di atas angin. Mereka melempari kaca
jendela perkantoran sambil berteriak-teriak. Yang lain
merusakkan earphone dan membanting empat alat pemadam kebakaran.
Tiga puluh dua gembok besar yang menggantung di jeruji kamar
turut menjadi sasaran. Yang lain bahkan nekat membakar jendela
kayu gudang berisi alat-alat olahraga, serta sebuah pos jaga.
Suasana LP berpenghuni 1700 orang -- 1100 di antaranya berstatus
napi -- sore itu memang betul-betul kacau. Maka Marsoedi,
memimpin anak buahnya untuk mengatasi suasana. Karena keributan
tak juga mereda, petugas terpaksa melepaskan tembakan sungguhan.
Empat orang narapidana cedera terserempet peluru. Rudi
Patiselamo terkena kaki kanannya, Bungkus kena lambung kiri,
Rudi Irawan kaki kiri dan Amang alias Hasan lengan kanan. Mereka
segera dilarikan ke RS Persahabatan.
Kebakaran yang dicobatimbulkan para perusuh tak terjadi. Sebab
potongan kain yang dinyalakan, apinya mati. Tapi pos penjagaan
sempat hangus bagian dalamnya. Polisi dari Kores Jakarta Timur
yang kemudian datang mempercepat usaha pengamanan, hingga lepas
bedug maghrib praktis LP Cipinang sudah tenang kembali.
Namun esok harinya geger lagi. Jamaran bin Jamaludin, 56 tahun,
kedapatan mati tergantung dalam selnya. Napi berpenyakit saraf
ini, menurut Marsoedi, tak punya sangkut-paut dengan keributan
sehari sebelumnya. Sebab sejak beberapa waktu lalu ia
ditempatkan dalam sel tersendiri hingga praktis tak bisa keluar.
Menurut kabar, dokter Lembaga Kriminologi UI yang mengautopsi
menemukan empat paku kecil dalam perutnya. Belum jelas apakah
itu ada hubungan dengan sakit saraf.
Menurut Marsoedi, Hambali cs oleh petugas memang disinyalir
sering memeras sesama napi. Mereka nampak tak pernah kekurangan
makanan atau rokok, padahal relatif jarang dikunjungi keluarga.
Tapi membuktikan bahwa mereka suka memeras, kata Marsoedi,
memang bukan pekerjaan mudah. Soalnya napi yang sering diperas
tak ada yang berani melapor.
Juga Seger dikenal suka bikin ulah. Tiga hari sebelum
mengobarkan keributan, ia baru saja menjalani hukuman disiplin:
selama 8 hari dikurung dalam sel tersendiri. Soalnya ia
kedapatan menyimpan senjata tajam yang terbuat dari sendok tadi
-- dan sering membandel bila diperingatkan petugas.
Tapi ada yang menuding, keributan di LP itu sebenarnya
disebabkan oleh "perlakuan diskriminatif" dalam lembaga.
Misalnya ada napi -- bekerja sama dengan oknum petugas -- yang
bisa mengatur napi yang berduit agar tidak sekamar dengan napi
yang jorok dan banyak tingkah. "Mana mungkin," kata Marsoedi.
"Semua kamar sama buruk atau sama baiknya."
Namun ia mengakui, napi yang bcrasal dari kalangan intelek atau
tokoh masyarakat memang disediai tempat tersendiri. Seperti
Dewanto, pejabat Sekneg yang membunuh istri mudanya bersama
Ismoejanto, temannya, dipisahkan dari napi lain yang berasal
dari kalangan bawah. Bukan apa-apa -- hanya "walau bagaimanapun
mereka 'kan masih punya harga diri." Juga napi yang keluarganya
kaya, "untuk menghindari pemerasan dari napi lain, tempatnya
dipisahkan."
Keributan di LP ternyata bukan hanya soal "perlakuan
diskriminatif" atau pemerasan. Bisa juga soal solidaritas,
seperti yang terjadi di LP Pamekasan, Madura, dua hari sebelum
keribuun di Cipinang. Sekitar 100 orang napi di LP ini, sempat
melempari petugas dan merusak perkantoran LP. Pasal keributan
hanyalah setiakawan sesama napi, setelah seorang napi, Mat
Dullah mendapat hukuman disiplin, "disel".
Mat Dullah mendapat hukuman itu karena sering mencoba
berkeliaran. Tapi penghukuman itu, menimbulkan reaksi dari
adiknya, Mat Tarip yang juga dihukum karena membunuh orang. Mat
Tarip berhasil mempengaruhi napi lainnya untuk membuat
keributan. Untuk menenangkan suasana, petugas terpaksa
melepaskan tembakan peringatan. Untung tidak ada yang terkena
peluru nyasar. Hanya saja, kata Kepala LP Supono, 10 napi
sekarang dalam pemeriksaan.
Keributan di LP tempat Henky Tupanwael ditahan sebelum menjalani
hukuman mati itu, tercatat untuk kedua kalinya: November 1980,
di LP yang berkapasitas 550 orang itu pernah pula terjadi
pemberontakan oleh para napi.
Direktur Pembinaan Dalam LP Departemen Kehakiman, Koesno Wibowo
menolak anggapan, seolah keributan di LP karena kelengahan
petugas. "Bekerja di LP bukan hal gampang. Sebab yang dihadapi
orang-orang yang tidak normal," katanya. Koesno pun nampak tak
begitu heran ada keributan dalam LP. Napi sekarang, menurut dia
jauh berbeda dengan napi tahun 1950-an. Napi sekarang punya
pergaulan luas dan relatif lebih terdidik. Sebab itu, "mengatur
mereka lebih sulit."
Hal itu, katanya menambahkan, tak berarti pembinaan terhadap
mereka tak membawa hasil. Berdasar penelitian yang dilakukan
pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, ternyata hanya 7% napi
yang residivis. "Berarti sebagian besar eks-narapidana 'kan
sudah jadi orang baik-baik. Paling tidak, mereka tak lagi
melakukan tindak kejahatan," kata Koesno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini