Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Isi Kekosongan Hukum Soal LGBT, HNW Sebut DPR Bisa Inisiatif Ajukan RUU

Hidayat Nur Wahid mengkritik narasi yang menyebut bahwa di alam demokrasi pemerintah tidak bisa melarang LGBT.

12 Mei 2022 | 17.10 WIB

Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota Komisi VIII DPR-RI membidangi urusan agama dan sosial, Hidayat Nur Wahid
Perbesar
Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota Komisi VIII DPR-RI membidangi urusan agama dan sosial, Hidayat Nur Wahid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik narasi yang menyebut bahwa di alam demokrasi pemerintah tidak bisa melarang LGBT. Alasannya, tidak ada aturan hukum yang melarang atau memberikan sanksi terhadap LGBT.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Padahal, Deddy Corbuzier yang memantik kontroversi soal LGBT malah merespons positif kritik dan penolakan masif dari masyarakat dengan men-take down tayangannya dan mengaku salah, serta meminta maaf,” kata Hidayat dalam keterangan tertulis, Kamis, 12 Mei 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika benar ada kekosongan hukum yang diperlukan, kata HNW, sewajarnya sebagai negara hukum, maka pihak-pihak yang berkewenangan segera mengisinya dengan membuat aturan UU baik DPR maupun pemerintah dengan melakukan inisiatif mengajukan usulan RUU.

Langkah ini untuk mengisi kekosongan hukum terkait LGBT. “Bukan malah seolah-olah tak berdaya, sehingga permisif dan membiarkan LGBT dengan kasusnya yang potensial berulang dan berlanjut,” kata politikus PKS itu.

Menurutnya, masyarakat luas sudah menolak dan penyimpangannya LGBT jelas-jelas tidak sesuai norma Pancasila dan UUDNRI 1945Pasal 1 ayat (2), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28J ayat (2). dan Pasal 29 ayat (1).

“Sekalipun demikian kondisi kekosongan hukum yang diklaim dan bisa ditunggangi untuk pembuatan atau legalisasi LGBT dengan penyimpangan seksualnya, sudah dari dulu diantisipasi oleh FPKS DPR RI,” kata Hidayat.

Hidayat Nur Wahid mengatakan dalam pembahasan RUU TPKS, FPKS DPR mengusulkan agar tindak pidana terkait seksual bukan hanya yang mengandung unsur kekerasan seksual tapi kejahatan seksual.

“Seperti perselingkuhan dan perkawinan sejenis atau laku seks menyimpang di kalangan LGBT. Sayangnya sikap dan usulan antisipatif dan konstruktif FPKS tidak didukung oleh fraksi-fraksi yang lain. Juga tidak didukung oleh pemerintah, sehingga FPKS menolak pengundangan RUU tersebut,” katanya.

Inilah menurut HNW dampak langsungnya, yaitu ketika terjadi kasus LGBT, pemerintah dengan dalih demokrasi menyebut tidak ada aturan hukum yang melarang. “Harusnya pemerintah dan DPR sadar ada masalah yang perlu diberikan solusi hukum dengan mengisi kekosongan hukum tersebut,” katanya.

Menurutnya, pemerintah dan DPR dapat mengambil langkah dengan memperbaiki UU TPKS atau mengundangkan revisi UU KUHP atau membahas dan mengundangkan Rancangan Undang-Undang Anti-Propaganda Penyimpangan Seksual.

Ini sebagai upaya membentengi masyarakat dan negara dari propaganda dan laku penyimpangan seksual seperti yang dilakukan kalangan LGBT.

Hidayat Nur Wahid mengatakan kebutuhan atas RUU tersebut sangat mendesak, apabila melihat banyaknya kasus, serta reaksi masyarakat luas yang menolak Podcast Deddy Corbuzier dengan pasangan LGBT yang dinilai ‘mempromosikan’ dan ‘membuat tutorial’ menjadi gay atau perilaku seks menyimpang.

Kebijakan Diskriminatif untuk LGBT

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) mengatakan sikap publik Indonesia yang kontra terhadap keberadaan komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT mulai menguat sejak 2016.

 “Ini lebih karena pejabat publik mengambil kebijakan yang menentang aktivitas komunitas LGBT. Misalnya, Kemenristekdikti di 2016 melarang LGBT ada di kampus. Berikutnya, Kemensos era Khofifah juga membuat kebijakan terapi konversi untuk menyembuhkan LGBT karena dianggap sebagai penyakit,” kata Manajer Program SEJUK, Tantowi Anwari kepada Tempo, Rabu 11 Mei 2022.
 
Ia menyebutkan agama menjadi alasan utama publik Indonesia membenci LGBT. “Karena alasan itu juga, LGBT, menurut riset-riset yang dibuat rutin Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menjadi salah satu kelompok yang paling dibenci publik Indonesia,” kata Tantowi.
 
Pemimpin daerah tidak hanya membuat pernyataan anti-LGBT bahkan memproduksi aturan diskriminatif. “Terakhir Perda P4S Bogor. Itu alasan pertama yang membuat publik mendapat pembenaran untuk menentang keberadaan komunitas ragam gender dan seksualitas,” ucapnya.
 
Dia mengatakan ketika ada peristiwa yang berkaitan dengan komunitas LGBT atau tokoh publik yang punya pengaruh, termasuk influencer membincangkannya, publik akan cepat bereaksi.
 
“Di sisi lain, ada kecenderungan yang cukup positif, di mana diskursus tentang gender dan seksualitas yang beragam, dalam hal ini LGBT, semakin sering didiskusikan secara terbuka,” kata dia menanggapi pro kontra publik atas podcast Deddy Corbuzier yang mengangkat tema pasangan LGBT.
 

Baca juga: Soal Penentangan LGBT, Sejuk: Banyak Kebijakan yang Menentang Komunitas Ini

MUTIA YUANTISYA

Mutia Yuantisya

Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang ini memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2022. Ia mengawalinya dengan menulis isu ekonomi bisnis, politik nasional, perkotaan, dan saat ini menulis isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus