TAK biasanya Pengadilan Negeri Ujungpandang diserbu pengunjung. Sekitar 2.000 orang, kebanyakan perempuan, berjubel diruang sidang utama. ''Kami mau lihat orang yang membunuh istrinya sendiri,'' kata seorang ibu yang datang dari Kabupaten Takalar sekitar 50 km dari Ujungpandang. Suasana Kamis dua pekan silam itu, memang sudah panas sejak awal sidang. Bahkan ada yang berteriak ''bunuh'' begitu melihat Johannis Popang, 35 tahun, digiring seusai sidang. Ia dituduh menghabisi istrinya sendiri, Marlina Tikupadang, 33 tahun. Petugas yang mengawal Johannis kewalahan menghadapi massa yang terus merangsek, ingin menjitak, mencakar, dan mencubitnya. ''Lega rasanya. Saya kebagian,'' kata seorang ibu yang berhasil mencubit Johannis, kepada Waspada Santing dari TEMPO. Tapi bekas awak kapal tanker di Singapura ini, santai saja. Malah tersenyum ketika dikomentari ganteng. Penampilan apik itu, menurut Jaksa Sugiharto Rs dan Muchtar Salle, tidak disertai perilaku terpuji. Jonannis terpikat pada adik iparnya, Salma Salurante mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta yang serumah dengan keluarganya. Waktu itu Johannis masih kursus di Balai Pendidikan dan Latihan Pelayaran Ujungpandang untuk mendapatkan sertifikat Mualim Pelajaran Besar III. Sebulan kemudian, ia berniat membunuh Marlina. Lalu ia mengatur rencana dengan meminta Padu, penarik becak yang biasa mangkal di depan Hotel Alaska, mencari orang yang bisa melaksanakan niatnya. Ia memberi iming-iming imbalan Rp 1,5 juta. Padu tertarik, dan besoknya pergi ke Pare-pare menemui Muhamad, temannya sesama penarik becak. Muhamad setuju. Ia lantas mencari Raja bin Dawa, seorang residivis, untuk diajak bersekongkol. Tanggal 1 Oktober sekitar pukul 20.00 ketiga orang ini menemui Johannis yang menunggu di kios Jayakarta tak jauh dari hotel tadi. Padu konon mengusulkan agar pembunuhan dilakukan di rumah korban. Johannis mengangguk. Ia meminta kepada calon pembunuh ini datang ke rumahnya besoknya pukul 08.00, melihat lokasi dan mengamati wajah Marlina yang ke pasar. Dari keterangan tersangka kepada polisi terungkap bahwa skenario pembunuhan itu dilakukan Johannis dengan rapi. Misalnya, dimintanya agar korban terkesan baru habis dirampok. Jadi, sebelum membunuh, mereka disuruh merampas perhiasan dan uang yang baru diambil Marlina dari bank. Kecuali Marlina, mereka dilarang mencederai anggota keluarga yang ada di rumah itu. Agar seisi rumah tak curiga, komplotan itu disuruh mengenakan pakaian rapi dan bersepatu. Padu bertugas menyediakan perlengkapan itu. Sebelum berangkat, Johannis akan menyerahkan dua taji, alat membunuh, dan uang muka Rp 300.000. Seusai pertemuan, Muhamad dan Raja memberi tahu order pembunuhan itu kepada Rachman bin Marewa. Seperti yang lainnya, Rachman juga setuju setelah mengetahui imbalan yang akan diterima. Tiba pada hari yang ditentukan, 6 Oktober pukul 07.00, Raja dan Rachman masuk dari pintu samping yang memang sengaja tidak dikunci. Mereka, yang mengaku petugas Telkom yang akan mengganti nomor telepon, kemudian disambut Johannis. Ia lalu memberi isyarat: istrinya sedang makan di dekat dapur. Kedua orang itu lalu diajak Johannis ke lantai atas untuk seolah- olah menunjukkan pesawat telepon, tetapi sebetulnya menunjukkan kamar istrinya: tempat pembunuhan yang akan dilakukan. Kemudian kedua orang ini diajaknya turun dan dipersilakan duduk. Setelah itu Johannis pamit. Katanya, ada urusan penting. Pintu dikunci dari luar, tetapi kuncinya diserahkan kepada Raja. Saat itu rumah sudah sepi. Ketiga anak Johannis, yakni Antiyani, Dewika, dan Selvia, sudah ke sekolah. Sesuai dengan rencana, ketika Marlina mengantar petugas gadungan ke atas, ia digiring masuk ke kamar. Semua perhiasannya dilucuti dan Marlina dipaksa menyerahkan uang Rp 800.000 yang baru diambilnya dari bank. Di rumah itu juga ada keluarga Marlina, tapi tak bisa menolong karena disekap di lantai dasar. Setelah meraih barang rampokan, Marlina diikat dengan kabel telepon, mulutnya disumpal dengan kain batik, lehernya dijerat dengan tali baju, lalu dadanya dipukul dengan gagang parang. Setelah lemas, sesuai permintaan Johannis, Raja menusukkan dua taji ke pusar Marlina. Tewas. Ketika musibah itu diberitahukan, Johannis pura-pura pingsan. Tapi polisi sigap menangkap sandiwara itu. Ia dibekuk berikut tiga tersangka lainnya. Cuma Padu lolos dan buron hingga kini. Ada 22 saksi yang dimintai keterangan. Sedangkan Salma, ketika kejadian tragis menimpa kakaknya, sedang Kuliah Kerja Nyata di Kabupaten Pinrang 250 km dari Ujungpandang. Ketika ditanyai polisi, Salma tak mengaku bermain asmara dengan Johannis. Tetapi beberapa saksi serumah dengan Johannis menguatkan dugaan itu. Mereka kerap berduaan di kamar, bahkan Marlina pernah memergoki keduanya berciuman. Itu sebabnya keluarga Johannis tak lagi harmonis, dan sejak itu ia berniat membunuh istrinya. Keluarga, terutama anak-anak Johannis, yang hadir di persidangan tampak terpukul dan tercekam atas peristiwa yang menimpa ibunya. Antiyani, anak sulung Johannis yang masih di SLTP, mengaku marah kepada ayahnya. Hari itu mereka juga melihat ayahnya dihujat massa dengan teriakan histeris dan serangan fisik. Ini bukan pemandangan sehat untuk anak-anak di bawah umur itu. Tetapi mereka dihadirkan ke pengadilan karena akan ditanyai sebagai saksi. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini