ISI buku berjudul "Mendobrak.... Belenggu Penindasan Rakyat
Indonesia" (MBPRI), tidak penting bagi pengadilan. "Saya tidak
mempunyai wewenang menilai, " kata ketua Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada TEMPO. Pengadilan pekan
lalu memenangkan tergugat, Kejaksaan Agung RI dalam perkara
perdata melawan penggugat bekas Ketua DM-ITB, Heri Akhmadi.
Yang dipertimbangkan pengadilan adalah wewenang Jaksa Agung
melarang penerbitan dan peredaran sesuatu buku berdasarkan
ketertiban umum. Dan menilai adakah tindakan kejaksaan
berdasarkan hukum. Dan semuanya oleh pengadilan dianggap beres.
Pada 7, 8 dan 9 Juni, setelah dituntut 9 tahun penjara karena
dituduh menghina presiden dan kekuasaan/lembaga umum, Heri
Ahmadi membacakan MBPRI setebal 270 halaman sebagai pleidoinya
di depan Pengadilan Negeri Bandung. Pembelaan tersebut, yang
juga berisi gambar dan karikatur (disebutnya sebagai
pengilustrasian pikiran), diserahkan kepada pengadilan.
Sementara sidang pengadilan berlangsung, MBPRI diterbitkan
menjadi buku dan diedarkan setelah dilengkapi dengan Kata
Pengantar dari Direktur LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta,
Adnan Buyung Nasution. Mula-mula Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
yang melarang peredarannya. Kemudian Kejaksaan Agung
meningkatkan pelarangan tersebut ke seluruh wilayah hukum RI.
Alasannya: MBPRI merendahkan martabat kepala negara dan dapat
pula mengganggu ketertiban umum.
Melalui Pengacara Jamaluddin Dt. Singo Mangkuto dan LBH,
November lalu, Heri Akhmadi menggugat negara Republik
Indonesia yang diwakili pemerintah RI, dalam hal itu Kejaksaan
Agung. Larangan peredaran MBPRI, katanya, berarti larangan pula
bagi masyarakat yang tidak berkesempatan mendengar pembacaan
pleidoi di pengadilan untuk membaca dan mengetahui duduk soal
yang sebenarnya.
Akibat pelarangan tersebut Heri merasa "diciderai haknya untuk
mengetahui tanggapan masyarakat terhadap pleidoinya," seperti
kata pengacaranya. Untuk itu penggugat menuntut agar pengadilan
menyatakan tindakan Kejaksaan Agung terhadap peredaran MBPRI
melawan hukum. Dan menghukumnya pula untuk membayar ganti rugi
Rp.1000 (seribu rupiah).
Dalam jawabannya Kejaksaan Agung menyatakan tindakan terhadap
MBPRI adalah "tindak kepejabatan". Yaitu tindakan kebijaksanaan
pemerintah yang tidak termasuk wewenang pengadilan untuk
menilainya. Dan lagi, katanya, penerbitan dan peredaran pleidoi
Heri "dapat diklasifikasikan sebagai penerbitan gelap" -- tanpa
izin, tanpa jelas siapa pencetak dan penerbitnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini