Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jaksa Agung menang

Kejaksaan agung r.i dalam perkara perdata melawan penggugat bekas ketua dm-itb heri akhmadi, pengadilan memenangkan tergugat, & membenarkan tindakan kejaksaan melarang penerbitan & peredaran. (hk)

7 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISI buku berjudul "Mendobrak.... Belenggu Penindasan Rakyat Indonesia" (MBPRI), tidak penting bagi pengadilan. "Saya tidak mempunyai wewenang menilai, " kata ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada TEMPO. Pengadilan pekan lalu memenangkan tergugat, Kejaksaan Agung RI dalam perkara perdata melawan penggugat bekas Ketua DM-ITB, Heri Akhmadi. Yang dipertimbangkan pengadilan adalah wewenang Jaksa Agung melarang penerbitan dan peredaran sesuatu buku berdasarkan ketertiban umum. Dan menilai adakah tindakan kejaksaan berdasarkan hukum. Dan semuanya oleh pengadilan dianggap beres. Pada 7, 8 dan 9 Juni, setelah dituntut 9 tahun penjara karena dituduh menghina presiden dan kekuasaan/lembaga umum, Heri Ahmadi membacakan MBPRI setebal 270 halaman sebagai pleidoinya di depan Pengadilan Negeri Bandung. Pembelaan tersebut, yang juga berisi gambar dan karikatur (disebutnya sebagai pengilustrasian pikiran), diserahkan kepada pengadilan. Sementara sidang pengadilan berlangsung, MBPRI diterbitkan menjadi buku dan diedarkan setelah dilengkapi dengan Kata Pengantar dari Direktur LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, Adnan Buyung Nasution. Mula-mula Kejaksaan Tinggi Jawa Barat yang melarang peredarannya. Kemudian Kejaksaan Agung meningkatkan pelarangan tersebut ke seluruh wilayah hukum RI. Alasannya: MBPRI merendahkan martabat kepala negara dan dapat pula mengganggu ketertiban umum. Melalui Pengacara Jamaluddin Dt. Singo Mangkuto dan LBH, November lalu, Heri Akhmadi menggugat negara Republik Indonesia yang diwakili pemerintah RI, dalam hal itu Kejaksaan Agung. Larangan peredaran MBPRI, katanya, berarti larangan pula bagi masyarakat yang tidak berkesempatan mendengar pembacaan pleidoi di pengadilan untuk membaca dan mengetahui duduk soal yang sebenarnya. Akibat pelarangan tersebut Heri merasa "diciderai haknya untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap pleidoinya," seperti kata pengacaranya. Untuk itu penggugat menuntut agar pengadilan menyatakan tindakan Kejaksaan Agung terhadap peredaran MBPRI melawan hukum. Dan menghukumnya pula untuk membayar ganti rugi Rp.1000 (seribu rupiah). Dalam jawabannya Kejaksaan Agung menyatakan tindakan terhadap MBPRI adalah "tindak kepejabatan". Yaitu tindakan kebijaksanaan pemerintah yang tidak termasuk wewenang pengadilan untuk menilainya. Dan lagi, katanya, penerbitan dan peredaran pleidoi Heri "dapat diklasifikasikan sebagai penerbitan gelap" -- tanpa izin, tanpa jelas siapa pencetak dan penerbitnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus