Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jaksa Menghitung Hari

Nasib Jaksa Agung Muda Untung Udji Santoso dan Wisnu Subroto dapat diibaratkan tengah ”menghitung hari”. Rekaman telepon hasil sadapan Komisi Pemberantasan Korupsi—diperdengarkan di pengadilan pada Rabu tiga pekan lalu—membeberkan rencana kedua petinggi itu ”menyelamatkan” Artalyta Suryani. Wanita pengusaha asal Lampung ini diduga menyuap jaksa Urip Tri Gunawan. Inilah episode lanjutan ”kisah jaksa Urip” yang tertangkap tangan Komisi pada awal Maret lalu dengan barang bukti uang Rp 6 miliar.

23 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKIRAAN Halius Husein meleset. Maret lalu, setelah Kemas Yahya Rahman dicopot dari jabatan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus—lantaran terseret kasus Urip Tri Gunawan—Halius mengira tak ada lagi petinggi kejaksaan terlibat kasus itu. Tapi hitungan Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan itu keliru.

Pekan lalu, fakta ini muncul di ha­dapannya: Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso serta Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung. Mereka diduga terkait ”kasus Urip” alias jaksa Urip Tri Gunawan, yang dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2 Maret lalu. Jaksa Urip—kini berstatus tersangka—diduga menerima suap Rp 6 miliar dari pengusaha Artalyta Suryani.

Nah, persangkutan Untung serta Wisnu dengan Urip terbeber lewat rekaman telepon yang tiga pekan lalu diputar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. ”Kalau ada lagi yang terlibat, kejaksaan sama saja bunuh diri,” kata Halius dengan kesal.

Untung dan Wisnu diperiksa secara terpisah, langsung di bawah kendali Jaksa Agung Muda Pengawasan M.S. Rahardjo. Keduanya diberondong lebih dari 20 pertanyaan. Salah satunya menyangkut skenario penyelamatan Artalyta yang menghebohkan. ”Kesimpulannya pekan depan. Sanksinya, Jaksa Agung yang memutuskan,” kata Halius.

Dalam rekaman telepon tersebut, terdengar Untung berupaya mencarikan solusi untuk Artalyta, yang saat itu ­ngumpet di kamar beberapa saat setelah jaksa Urip diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi. Kala itu Untung membuat skenario seolah-olah Artalyta ditangkap kejaksaan. ”Sudah saya kondisikan dengan Wisnu. Kowe di rumah saja. Nanti ditangkap,” kata Untung menyebut nama koleganya, Jaksa Agung Muda Intelijen.

Wisnu bergerak cepat. Dia memerintahkan Direktur Penyidikan Muhammad Salim membuat surat penangkap­an Artalyta. Beranggotakan sebelas jaksa pilihan, antara lain Sidik Latu­consina dan Farid Haryanto, ”pasuk­an” Wisnu segera mencari rumah Ar­talyta di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Tapi tim itu kalah cepat dengan para penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sumber Tempo di lingkar petinggi Kejaksaan Agung menuturkan ihwal keterlambatan, yakni lantaran harus menunggu jaksa Djoko Widodo, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Dia­lah yang akan menjadi pemandu ”Tim Sebelas” ke rumah Artalyta. ”Semua anggota tim tidak tahu rumah Artalyta, kecuali Djoko,” ujarnya. Setiba mereka di Simprug, Artalyta sudah diambil Komisi.

Sadapan lain yang dibuka di pengadilan adalah percakapan Artalyta dengan bekas Jaksa Agung Muda Kemas Yahya. Kemas mengontak Artalyta sehari sesudah mengumumkan sebuah kabar penting, yakni penghentian penyelidikan dugaan tindak pidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Bank Dagang Nasional Indonesia milik Sjamsul Nursalim. ”Sudah de­ngar pernyataan saya?” tanya Kemas. ”Good, very good,” jawab Artalyta dengan nada gembira. ”Jadi tugas saya sudah selesai, kan,” ujar Kemas lagi dalam rekaman telepon itu.

Untung Udji Santoso menolak dikaitkan dengan kasus Urip atau Bantuan Likuiditas Sjamsul itu. Ia mengaku memang dihubungi Ayin, panggilan Artalyta, yang dikenalnya empat tahun silam. Untung mengaku mengenal Artalyta saat menjabat Direktur Penyidikan. Saat itu ia tengah mengusut perkara Bantuan Likuiditas Sjamsul Nursalim. Untung bersumpah tidak pernah berkomunikasi dengan Artalyta hingga berkas penyidikan kasus Sjamsul setebal 20 sentimeter itu rampung. ”Tebalnya segini,” ujar Wisnu merentangkan tangan menggambarkan tebalnya berkas Sjamsul. ”Saya lost contact dengan dia….”

Dia juga menampik jika dituding membuat skenario seolah-olah menangkap Artalyta. ”Saya tidak membuat konspirasi apa pun,” ujarnya. Ia justru mempertanyakan sejumlah nama yang disebut Artalyta tapi tak diungkap. ”Misalnya ketika Artalyta minta saya menghubungi Antasari Azhar,” ujarnya. ”Kenapa Antasari tak ditanya?” katanya menyebut nama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu. Dulu, Antasari adalah Direktur Penuntutan Pidana Umum Kejaksaan Agung.

Artalyta memang dikenal punya banyak ”sahabat” di kalangan jaksa. ”Umumnya jaksa pejabat eselon satu dan dua yang pernah bertugas di Gedung Bundar,” ujar Marwan Effendy, yang Maret lalu ditunjuk menggantikan Kemas Yahya Rahman sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Sebagai pengusaha, Artalyta juga dikenal dekat dengan para pejabat di Lampung, tempat asal dia. Perkenalannya dengan Wisnu Subroto, misalnya, terjadi saat jaksa tersebut menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung. Wisnu sendiri menolak jika disebut dekat dengan Artalyta. ”Sekadar kenal,” ujarnya.

Wisnu tak membantah ide penangkapan Artalyta datang dari dirinya. Setelah meminta Direktur Penyidikan Muhammad Salim membuat surat pe­nangkapan, Wisnu lantas memerintahkan jaksa Sidik Latuconsina berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sidik, menurut Wisnu, kemudian mengabarkan Antasari Azhar memberi kejaksaan izin menangkap Artalyta. ”Alasan menangkap, karena Artalyta yang menyuap.”

Cerita ini dibenarkan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Menurut Hendarman, Wisnu kala itu menghubungi­nya dan mengusulkan Artalyta harus ditangkap. ”Saya setuju rencana itu.” Menurut Hendarman, awalnya kejaksaan mencurigai Artalyta sebagai ”orang” Komisi Pemberantasan Korupsi ”Tapi kecurigaan itu tidak terbukti setelah Artalyta ikut ditangkap,” katanya.

Kepada Tempo, Antasari membenarkan dirinya dihubungi kejaksaan berkenaan dengan rencana penangkap­an. Tapi ia menyangkal memberikan izin. ”Saya bilang jangan ikut campur.” Penangkapan Artalyta, kata Antasari, ”satu paket” dengan rencana penangkapan jaksa Urip. ”Saya tak pernah mengatakan Artalyta tidak ditangkap.”

Wakil Ketua Komisi, Chandra M. Hamzah, menyatakan langkah kejaksaan menyiapkan penangkapan Artalyta melanggar aturan. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut Chandra, menyebutkan, jika Komisi telah menyelidiki suatu kasus, instansi lain tak boleh mengambil langkah hukum apa pun. Pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, menilai aksi kejaksaan yang berupaya ”merebut” Artalyta dari Komisi itu merupakan pelanggaran pidana.

Pendapat berbeda diutarakan juru bicara Kejaksaan Agung, B.D. Nainggolan. Menurut dia, Undang-Undang Kejaksaan membenarkan rencana pe­nangkapan Artalyta karena kejaksaan tetap punya wewenang.

Kejaksaan akhirnya hanya ”menangkap angin”. Dan nasib para jaksa agung muda yang terlibat penyusunan rencana penangkapan kini di ujung tanduk. Mengutip sumber Tempo, seorang petinggi Kejaksaan Agung: ”Sebentar lagi mereka akan selesai.”

Elik Susanto, Sahala Lumbanraja, Shinta Eka, Yugha Erlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus