Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang pamer Rumah Seni Cemeti itu terasa kosong. Pada dinding bercat putih tak ada satu pun karya lukis. Hanya ada satu karya tiga dimensi berupa neon box berbentuk penyangga lilin bercorak klasik. Benda itu pun dicantelkan di dinding dalam posisi terbalik. Dinding rupanya tidak menjadi pusat perhatian. Sebaliknya, penonton dipaksa merendahkan sorot mata ke lantai. Maklum, enam dari delapan karya digelar di atas lantai, dan berukuran kecil.
Tengoklah karya Wiyoga Muhardanto, 24 tahun. Karyanya berupa obyek berbentuk meja dalam ukuran mini dengan sejumlah rambut seperti tumbuh di atasnya. Kalaulah karya ini berukuran fungsional, akan sulit berfungsi sebagai meja, karena kakinya tidak diletakkan pada posisi yang seimbang.
Karya semacam inilah yang dikumpulkan kurator Aminudin Th. Siregar dari tiga perupa lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung dan dipamerkan di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, 28 Mei-15 Juli. Dalam khazanah seni rupa kontemporer, karya semacam itu disebut object art. Karya seni obyek bisa saja berupa representasi bentuk tertentu, tapi biasanya tak punya muatan narasi tertentu. Penonton hanya menangkap gejala, baik gejala rupa maupun sekadar persepsi psikis.
Karya Budi Adi Nugroho, 26 tahun, misalnya, berupa bentuk mirip huruf L berdiri di atas sudut meja kayu dalam ukuran yang lebih normal. Bagian vertikal dan horizontal obyek itu mirip pohon dengan potongan cabangnya yang menimbulkan persepsi bahwa bagian horizontal obyek ini adalah bayangan bagian vertikal ketika tertimpa sinar. Atau bisa muncul persepsi psikologis tentang sesuatu yang mudah terjerembap dan patah. Budi memberi karya ini judul: Put-you see it, you don’t #12.
Pada karyanya yang lain, Budi juga menyodorkan teka-teki kebentukan. Ada tiga bentuk vertikal yang sekilas seperti bentuk pohon dengan cabangnya. Bagian bawahnya ditopang benda jadi berbentuk bejana dengan tangkai pemegang dalam ukuran mini. Ada cahaya lampu menyemburat dari bawah salah satu obyek itu. Sebagaimana karya yang lain, akan sulit bagi penonton untuk menyusun narasi dari gejala rupa pada karya, karena memang tidak perlu. Yang dicari senimannya adalah eksplorasi bentuk yang mengandung upaya eksperimental untuk mencari kemungkinan bahasa visual yang baru.
Karya seni obyek lebih merupakan pengolahan bentuk, baik dari bentuk yang sudah ada maupun pengolahan bentuk-bentuk imajinatif. Ada tumpukan pensil dalam warna kayu mentah di atas truk mainan, ada kayu bulat dengan pegangan di ujungnya menancap pada ikatan gabah kering berbentuk persegi karya Yuki Agriardi. Persepsi yang mungkin muncul dari obyek dari kayu itu adalah garu.
Bentuk-bentuk sederhana itu justru memaksa penonton menciptakan persepsi berdasarkan citraan yang ia hadapi dan relasinya dengan pengalaman estetiknya. ”Dalam praktek ini para perupa banyak melakukan eksplorasi dengan meminjam ikon-ikon atau idiom dalam desain tetapi dengan pendekatan yang ekspresif,” tulis Aminudin dalam pengantar kuratorial. Sehingga, kata dia, obyek yang hadir sering kali mengingatkan kita pada benda fungsional. ”Tapi fungsinya sudah hilang karena yang muncul sekarang adalah pernyataan seni yang personal.”
Pameran ini memberikan suguhan estetik yang menyegarkan saat dunia seni rupa kita, khususnya seni lukis, kini menjadi pabrik bagi keseragaman bentuk ekspresi industri estetik.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo