Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUMUMAN status tersangka Nunun Nurbaetie tak hanya mengagetkan politikus di Senayan, tapi juga petinggi dan penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri. Para penyidik tak menyangka pemimpin mereka, Busyro Muqoddas, akan mengumumkannya dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Senin pekan lalu.
Busyro, seperti biasa, tampak tenang ketika menyampaikannya. ”Dengan pendekatan ekstra-hati-hati, setelah kami mendiskusikan perkaranya, membahas bukti-bukti dari penyidik, kami menetapkan Ibu Nunun Nurbaetie sebagai tersangka,” katanya. Ruang rapat yang dingin itu sejenak hening. Hanya barisan wartawan yang kasak-kusuk mendengar pengumuman penting tersebut.
Penetapan ini sudah lama ditunggu. Para saksi dan terdakwa penerima 480 lembar cek pelawat senilai Rp 24 miliar selalu menyebut nama istri bekas Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Adang Daradjatun sebagai pemberinya. Para penerima adalah anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 yang memilih Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Sesungguhnya KPK menetapkan Nunun sebagai tersangka sejak 24 Februari 2011. Namun para penyidik meminta pemimpin KPK tak mengumumkan status baru itu ke publik. ”Ini semata strategi karena tak semua hal dibuka dalam penyidikan,” kata Busyro.
Seorang penyidik malah mengungkapkan mereka segan kepada Adang Daradjatun. Maklum saja, penyidik di KPK, selain para jaksa yang direkrut dari Kejaksaan Agung, sebagian besar berasal dari kepolisian. Senioritas dan posisi Adang di Markas Kepolisian cukup mempengaruhi para polisi yang ditugasi di KPK.
Karena itu, tak mengherankan jika penyidikan kasus ini sempat mandek akhir tahun lalu, sampai Busyro terpilih menjadi Ketua KPK menggantikan Antasari Azhar. Pengumuman tersangka di DPR pun tak direncanakan dalam persiapan rapat pekan sebelumnya. Busyro awalnya hanya akan menyampaikan perkembangan kasus yang ditangani lembaganya kepada Komisi Hukum DPR, yang di dalamnya duduk Adang Daradjatun mewakili Partai Keadilan Sejahtera.
Pernyataan Busyro disambut positif. Agus Condro Prayitno, politikus PDI Perjuangan, penerima Rp 500 juta yang pertama mengungkap rasuah ini tiga tahun lalu, memuji langkah berani KPK. ”Artinya, KPK punya bukti dan serius mengungkap kasus ini,” kata Agus, yang kini jadi terdakwa.
Kesaksian para terdakwa kasus ini memang selalu menyebut Nunun sebagai muara cek syubhat itu. Udju Djuhaeri, bekas anggota Fraksi TNI/Polri yang menerima Rp 500 juta, mengaku ditelepon Nunun sehari setelah voting pemilihan deputi gubernur senior. Menurut Udju, ia dan tiga anggota fraksinya diminta menemui Arie Malangjudo di kantor Nunun di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Di kantor itu Arie menyerahkan amplop yang berisi cek perjalanan pecahan Rp 50 juta. Arie tak lain Direktur PT Wahana Esa Sejati, perusahaan kebun sawit yang didirikan Nunun. Arie hanya diperiksa sebagai saksi kendati mengaku sebagai pemberi cek tersebut kepada sejumlah anggota Dewan.
”Sekarang alur kasus ini jadi komplet: ada penerima dan pemberi cek,” kata Johan Budi, juru bicara KPK. Menurut Johan, status baru ini membuat lembaganya leluasa bergerak. Komisi, kata dia, punya kuasa menetapkan Nunun masuk daftar pencarian orang atau menjemputnya secara paksa jika dipanggil tak juga datang.
Persoalannya, Nunun tak ada di Indonesia. Sehari setelah dicekal, pada 25 Maret 2010 ia terbang ke Singapura dengan alasan mau berobat. Dokter Andreas Harry yang memeriksanya di Indonesia menyebut perempuan 60 tahun itu mengalami penurunan daya ingat. Kabarnya, ia dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth.
Akhir tahun lalu, wartawan majalah ini melacak kebenaran pengakuan itu ke sana. Tapi tak ada nama Nunun dalam catatan Mount Elizabeth. Beberapa bulan kemudian, empat penyidik KPK juga menyambangi rumah sakit langganan orang kaya Indonesia itu dan mendapat informasi yang sama: Nunun tak pernah dirawat di sana.
Informasi diperoleh setelah melacak nama dokter yang merawatnya. Dokter Nei-I-Ping, yang buka praktek di ruang 04 lantai 11 Mount Elizabeth, membenarkan Nunun adalah pasiennya. Tapi dia mengatakan pasiennya hanya berobat jalan. Nunun dikabarkan tinggal di sebuah apartemen Scotts Road, tak jauh dari kompleks rumah sakit. Tapi, dua kali disambangi ke sana, tak ada tanda-tanda Nunun tinggal di kawasan elite itu.
Adang Daradjatun membenarkan istrinya kini tinggal di Singapura—negara yang selalu menolak meneken perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Karena itu, Adang tak mau menyebut di mana istrinya selama ini tinggal, apalagi membawanya pulang untuk memberi keterangan agar duduk soal kasus ini menjadi jelas. ”Itu urusan saya. Saya punya hak pribadi sebagai suami, bukan sebagai saksi,” katanya.
Hukum Indonesia tak bisa menjerat anggota keluarga yang melindungi persembunyian seorang tersangka kejahatan. Adang terlindungi Pasal 166 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mengecualikan hukuman kepada anak, suami, istri, bahkan bekas suami atau istri yang melindungi anggota keluarga lain yang terkena kasus pidana. Ini berbeda dengan keluarga tersangka terorisme yang bisa diajukan ke muka hukum jika melindungi anggota keluarganya.
Yang bisa dilakukan KPK kini adalah upaya pemulangan secara administratif, selain menjemput secara paksa. Masalahnya, KPK tak tahu di mana Nunun tinggal karena keluarganya tak pernah memberi tahu. Upaya meminta bantuan Singapura juga tak berhasil. Pada Maret lalu, Komisi meminta KPK Singapura melacak keberadaan saksi kunci kasus suap cek pelawat ini. ”Hasilnya nihil,” kata Johan.
Upaya lainnya adalah mempersempit ruang gerak Nunun. Sebab, selain terpantau tinggal di Singapura, data paspor Nunun menunjukkan ia juga bolak-balik ke Thailand. Kamis pekan lalu, Direktorat Imigrasi telah resmi mencabut paspor Nunun. Dengan begitu, Nunun kini tak punya kewarganegaraan. Harapannya, Singapura mendeportasi Nunun jika izin tinggalnya sudah habis.
Namun Menteri Hukum Patrialis Akbar membuka kemungkinan lain: Nunun bisa meminta suaka ke negara lain. ”Sebagai orang stateless, dia bisa meminta kewarganegaraan ke negara lain,” katanya.
Alhasil, KPK belum menyiapkan skenario paling buruk jika Nunun tetap tak mau pulang. Kemungkinan lain menggelar pengadilan in absentia. Risikonya, penyidikan hanya berhenti di Nunun, sementara penyandang dana cek sebanyak 480 lembar itu tak terungkap. Karena itu, Nunun dijerat dua pasal: pasal suap dan pasal turut serta menyuap. ”Pasal turut serta ini untuk mengembangkan penyidikan,” kata Johan.
Sebab, dalam sidang terungkap cek-cek itu ternyata dibeli PT First Mujur Plantation & Industry dari Bank Internasional Indonesia melalui Bank Artha Graha. Cek untuk membeli 5.000 hektare kebun sawit di Sumatera Utara itu dipesan oleh orang bernama Ferry Yen. Ferry diketahui meninggal pada 15 Januari 2007.
Bagaimana bisa cek First Mujur itu sampai ke tangan Nunun lalu tersebar ke 39 anggota DPR, hanya Nunun yang bisa menjawab.
Bagja Hidayat, Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo