Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF6600>Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla:</font><br />Tadinya Saya Ingin Kontrak Dibatalkan

30 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONTROVERSI pembelian 15 unit MA-60 oleh PT Merpati Nusantara Airlines dari Xi'an Aircraft belum berakhir. Ada gunjingan penggelembungan harga dalam transaksinya. Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu juga sempat keberatan skema transaksi Merpati-Xi'an. Bagaimana sesungguhnya peran Kalla dalam proyek itu? Jumat dua pekan lalu, Jusuf Kalla menjelaskan versinya kepada tim Tempo.

Bagaimana kronologi pembelian MA-60?

Pada 23 Agustus 2008, saya berangkat ke Cina, bertemu dengan Chairman Xi'an Aircraft. Saya setuju pengadaan 13 unit MA-60, dengan syarat skemanya leasing (sewa) dan ada jaminan kualitas. Skema leasing itu sama dengan skema pengadaan dua pesawat MA-60 yang sudah datang lebih dulu pada 2007. Tapi pejabat Cina mengisyaratkan leasing sepertinya tidak bisa karena sudah ada perjanjian pinjaman dengan pemerintah Indonesia.

Apa reaksi Anda ketika itu?

Saya kaget, ternyata benar sudah ada yang teken perjanjian government concession loan agreement (antara Bank Exim Cina dan Departemen Keuangan). Saya tidak tahu, dari mana ini datangnya, siapa yang menyetujui. Kalau perjanjian kredit pemerintah dengan pemerintah negara lain, seharusnya melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Faktanya, ada dua nota kesepahaman, yaitu pembelian pesawat oleh Merpati dan perjanjian kredit dengan Departemen Keuangan.

Itu perjanjian penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement)? Apakah harus mendapat persetujuan Dewan?

Ini utang antarpemerintah. Kalau utang pemerintah, harus ada persetujuan DPR. Atas dasar apa Direktur Jenderal Piutang Negara menandatangani kredit? Tanya saja ke Departemen Keuangan.

Berapa sesungguhnya nilai pinjaman pemerintah waktu itu?

Nilainya US$ 232 juta. Itu artinya, 1 unit MA-60 harganya US$ 15,4 juta. Saya bilang, kok mahal sekali? Soal harga, oke, masih bisa dinego dan ditawar. Tapi kok tiba-tiba main tembak saja.Makanya saya minta ubah jadi leasing, karena kalau terjadi sesuatu, risiko tak ada di Merpati. Dengan leasing, bila ada masalah, tinggal dikembalikan saja ke Xi'an.

Lalu bagaimana nasib usulan leasing itu?

Dalam rapat pada 27 Februari 2009, setelah negosiasi selama enam bulan, Cina resmi mengatakan tidak menerima usulan leasing karena sudah ada perjanjian dengan Departemen Keuangan pada 2008. Keinginan saya, kontrak dibatalkan saja. Tapi tidak mungkin. Kalau saya batalkan transaksi ini, nanti tanda tangan Menteri Keuangan tidak dipercaya lagi.
Saya minta ini disampaikan ke Duta Besar Cina di Jakarta: transaksi boleh jalan terus, tetapi harga beli dinegosiasikan lagi. Saya tekankan juga harus ada jaminan kualitas, apabila pesawat itu rusak, mereka wajib beli dengan harga buku. Kontrak perjanjiannya harus lebih baik, dan Merpati terjamin.

Memang mustahil dibatalkan?

Sebenarnya, meskipun sudah ditandatangani, tidak mungkin dilanjutkan karena belum ada persetujuan DPR. Tapi, untuk bilang jangan, kita juga tidak bisa. Masalahnya, kalau saya tidak setuju, tetap saja tidak bisa dibatalkan karena Departemen Keuangan sudah tanda tangan. Menteri Keuangan juga menjamin pinjaman US$ 8 miliar untuk PT PLN. Kalau saya tidak setuju, tanda tangan Menteri Keuangan tidak dipercaya lagi di dunia internasional.

Jadi Indonesia dan Merpati tersandera?

Tidak tersandera, tapi sulit dibatalkan. Karena itu, negosiasi jalan terus. Saya bilang ke Duta Besar Cina, oke jalan terus tapi harga harus turun. Saya dengar tim Merpati terus bernegosiasi sampai 2010, dan harga per pesawat turun dari US$ 15,4 juta menjadi US$ 11,2 juta. Berarti total harganya US$ 168 juta. Padahal, menurut laporan terakhir, pinjaman pemerintah ke Cina sekitar US$ 225 juta. Jadi selisihnya ke mana? Harus dicari. Kalau kemahalan, bagaimana Merpati bisa hidup? Pasti rugi terus.

Merpati bilang sisanya untuk melatih pilot, teknisi, simulator, dan pengadaan suku cadang?

Saya tanya sekarang: di mana simulator itu? Lalu lihat laporan Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Simulator itu tidak perlu biaya. Di mana-mana, setiap beli pesawat, atau katakanlah mobil saja, latihan engineer-nya gratis. Jadi, kalau ada mark up, siapa yang menerima uang itu? Ini harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus