JIKA Anda juru kampanye, pandai-pandai mengumbar janji. Salah- salah, bisa jadi perkara seperti yang terjadi di Yogyakarta. Dua pekan lalu, 31 warga Girikerto, Sleman, Yogyakarta, menuntut Golkar yang mungkir memberi bibit salak pondoh kepada warga Girikerto yang mencoblos Golkar saat pemilu 1992. Waginem, salah seorang pengadu, menceriterakan, pada masa kampanye, warga disuruh membeli kaus Golkar oleh aparat kecamatan dan desa. Kalau satu dusun sampai membeli 20 kaus, akan mendapat bonus 500 bibit salak pondoh gratis. Selain itu, setiap kepala keluarga yang mencoblos Golkar akan diberi empat batang bibit salak jenis unggul itu. Sambutan warga meledak. Karena peminat demikian banyak, ''panitia'' sampai memungut dana Rp 600 per kepala keluarga untuk ganti biaya angkut. Ada pula warga yang diminta mengisi formulir dan membayar uang formulir Rp 2.500. Janjinya, bibit salak akan segera dibagikan menjelang hari pencoblosan. Ternyata janji itu kosong. Menurut Budi Hartono dari LBH Yogya, yang mendampingi warga menuntut, kasus itu melibatkan Golkar, KUKMI (Kerukunan Usaha Kecil dan Menengah Indonesia) organisasi di bawah Golkar juga aparat pemerintah di kecamatan dan desa. Namun, ketika dihubungi LBH, mereka saling lempar tanggung jawab. ''Saya hanya menjalankan perintah atasan,'' kata Kepala Desa Girikerto, Ibnu Pratiknyo. Ketika ditemui Faried Cahyono dari TEMPO, ia tampak geram menghadapi tuntutan warganya. ''Ada pihak ketiga yang mengomporinya,'' katanya lagi. Tapi apakah janji kampanye bisa dituntut? Ahli hukum perdata UGM, Prof. Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa janji pemilu adalah janji moral. ''Janji ini tak bisa dituntut, karena berbeda dengan perjanjian.'' Tapi jika janji itu menimbulkan kerugian, tambahnya, pembuat janji bisa dituntut ganti rugi berdasar Pasal 1365 KUH Perdata. ARM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini