Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kredit belum akan mengalir?

Setelah paket mei, apakah bank akan melonggarkan keran kreditnya? belum tentu. bagaimana nasib kredit macet dan deregulasi sektor riil?

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK ada tepuk tangan bagi Paket Mei 1993. Pernyataan yang memojokkan itu datang dari seorang bankir di Jakarta. Beberapa ekonom yang dihubungi TEMPO juga memperoleh kesan bahwa Pakmei terlihat kurang mendapat sambutan. ''Paket ini merupakan debut yang kurang impresif dari kabinet baru,'' tutur pakar ekonomi Anwar Nasution. Respon yang dingin itu tentulah tidak tanpa alasan. Setelah penarikan deposito Rp 8 triliun dari 12 BUMN (Gebrakan Sumarlin II), dan kemudian diikuti oleh Paket Februari 1991, uang menjadi amat langka. Bunga deposito dan pinjaman meroket menjadi 28% dan 33%. Suku bunga setinggi itu bukan cuma memukul investasi, tapi juga menyebabkan bank-bank harus memikul kredit macet, karena banyak perusahaan tak sanggup mengembalikan utang mereka. Hingga tutup tahun 1992, menurut data Bank Indonesia, kredit macet mencapai 3% dari total kredit mendekati Rp 4 triliun. Bahkan, Januari lalu, konsultan Booz-Allen & Hamilton memperkirakan kredit macet di Indonesia mencapai 520%. Nah, setelah mereka babak-belur, kini Pemerintah melalui Pakmei mengharapkan bank melonggarkan kembali kreditnya. ''Pemerintah mau menebus dosa dengan Pakmei? Oh, itu tidak cukup. Selama kredit macet belum diatasi, kami belum berani melonggarkan kredit,'' kata komisaris sebuah bank swasta, sinis. Kalau belum bisa longgar, Pemerintah tentu kecele. Soalnya, deregulasi Pakmei memang bertujuan agar kredit mengucur, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi. Dan, ''Industri mobil bisa bergairah kembali,'' kata Presiden Direktur Indo Mobil, Subronto Laras. Apa boleh buat, Pakmei ternyata disambut dingin dan dinilai terlambat. ''Namun, masih lebih baik daripada tidak sama sekali,'' tukas seorang bankir pemerintah. Alasannya, bila paket itu tidak diturunkan, diperkirakan akan lebih banyak bank yang kolaps dan pengusaha yang kelimpungan. Maklum, uang ketat selama dua tahun terakhir ini, kalau dibiarkan berlangsung lebih lama, tak dapat tidak akan semakin menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Tapi, bila kredit mengalir dan bunga turun, investasi akan bergairah dan laju pertumbuhan dapat dipacu sedikitnya 6%. Di sisi lain, Pakmei akan banyak manfaatnya dalam melancarkan operasi bank. Melalui Pakmei, capital adequacy ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal perimbangan antara modal dan aset tertimbang menurut risiko diperlonggar. Kini, bank boleh memasukkan seluruh laba tahun lalu dalam komponen modal (ketentuan lama hanya 50%). Sementara itu, bobot risiko aset tertimbang, seperti kredit kepada BUMN dan kredit yang belum digunakan, diturunkan setengahnya menjadi 50%. Dengan penyempurnaan ini, persentase CAR akan meningkat dan bank pun lebih leluasa memberikan kredit. ''Setiap peningkatan 1% CAR mempunyai dampak terhadap ekspansi kredit sebesar 12,5%,'' kata Gubernur Bank Indonesia, Soedradjat Djiwandono. Selain menyempurnakan CAR, Pemerintah juga menyempurnakan ketentuan loan to deposit ratio (LDR) perimbangan kredit yang diberikan dengan dana pihak ketiga hingga memperluas pengertian deposit. Kini, deposit tak lagi terbatas dana pihak ketiga, tapi juga mencakup modal sendiri. Sementara itu, ketentuan yang membatasi bank memberikan 20% kreditnya (dulu maksimal 50%), baik kepada perusahaan individu maupun grup perusahaan, dinilai dapat meratakan penyebaran kredit. Diizinkannya pembelian KUK dari bank lain juga bisa meningkatkan spesialisasi. Hal lain yang amat berani dari Pakmei adalah menurunkan ketentuan cadangan minimum menjadi 0,5% dari aktiva lancar. Dulu cadangan ditetapkan 1% dari total aktiva. Dan pelonggaran ini akan berdampak pada kapasitas pemberian kredit. Masalahnya, dengan berbagai pelonggaran itu, apakah kredit akan betul-betul mengalir. Tampaknya begitu. Menurut Wakil Presiden Bank Internasional Indonesia (BII), Hidajat Tjandradjaja, semula BII hanya akan menambah pasokan kreditnya 15% dari total kredit tahun lalu. Dengan kemudahan yang diberikan Pakmei, BII akan memperbesar pemberian kreditnya hingga 30%. Bank Dagang (BDN) Negara juga bersiap-siap. Menurut Direktur BDN, Subagyo Karsono, BDN akan menurunkan suku bunga pinjamannya sebesar 2% menjadi 18% setahun. Adapun deposito akan dipatok pada angka 14% setahun. ''Karena sekarang ada pelonggaran CAR dan LDR, kami mulai berani melonggarkan kredit,'' kata Subagyo kepada TEMPO. Namun, tampaknya terlalu berat bagi bank-bank untuk melakukan ekspansi kreditnya sampai 17% tahun ini. Malah ada yang menduga, kredit akan tetap ketat. Winarno Zain, misalnya, mengatakan bahwa besarnya kredit macet bisa menghambat ekspansi kredit. Mengapa? ''Meskipun Pemerintah telah melonggarkan aturan main, kalau banknya tidak mau, bagaimana?'' tanya Winarno. Ia juga memperkirakan, bank-bank pemerintah yang biasa menjadi lokomotif (menguasai 45% pangsa kredit) pemberian kredit tampaknya belum bisa diharapkan. Lagi pula, Bank Dunia, yang memberikan pinjaman US$ 300 juta untuk memperkuat struktur permodalan bank pemerintah, mensyaratkan agar beberapa bank BUMN (Bank Exim, BBD, dan BDN) tak boleh meningkatkan pemberian kreditnya. Pendapat serupa juga dilontarkan Anwar Nasution. Katanya, Pakmei tidak menyentuh persoalan perbankan saat ini, yakni kredit macet. ''Pakmei tak ubahnya cadar yang dapat menutupi jerawat, tapi tidak menyembuhkannya,'' Anwar menyindir. Ia lalu menyarankan agar kredit macet segera dicarikan jalan keluarnya. Anwar memberi contoh bagaimana pemerintah Jepang mengambil alih kredit macet di sektor real estate. ''Tapi kalau cara itu diterapkan di Indonesia, akan terlalu mahal dan kurang mendidik,'' ujar Anwar lebih lanjut. Sebegitu jauh belum ditemukan alternatif untuk mengatasi kredit macet. Tapi risiko dari Pakmei sudah mulai terlihat, yakni inflasi. Apalagi yang juga akan menikmati kemudahan kredit adalah sektor kredit konsumtif seperti kredit rumah atau mobil. Sementara itu, oleh Pakmei ditetapkan juga bahwa KUK (Kredit Usaha Kecil) di bawah Rp 25 juta dapat dipakai untuk kegiatan tidak produktif. Di sisi lain, cara Pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi lewat Pakmei dengan mempertaruhkan kesehatan bank, telah mengundang rasa heran Mari Pangestu. Pakar ini berpendapat, satu-satunya jawaban untuk meningkatkan pertumbuhan adalah melanjutkan deregulasi di sektor riil. ''Arah Pakmei tidak jelas,'' Mari menandaskan. ''Dan mengapa untuk mengejar pertumbuhan, standar kehati-hatian bank harus diturunkan? Sebagian dari kritik Mar agaknya tidak mengena ke sasaran. Seperti dikatakan Gubernur BI, Soedradjat Djiwandono, 90% dari 265 bank telah memenuhi ketentuan CAR lebih dari 7% pada Maret 1993. Jadi, kesehatan bank sudah jauh lebih baik. Tapi, tuntutan Mari agar deregulasi sektor riil ditingkatkan tidaklah berlebihan. Sejak deregulasi digulirkan 1983, dari sekitar 18 paket deregulasi, sektor perbankan paling banyak digarap (delapan buah), disusul sektor perdagangan (enam buah). Sedangkan deregulasi sektor riil, seperti penghapusan monopoli perdagangan, sungguh jarang sekali. Terlepas dari berbagai kritik, yang pasti Pakmei diumumkan oleh empat menteri. Lebih ramai dibandingkan peluncuran Paket Februari 1991 yang diumumkan oleh Gubernur BI waktu itu Adrianus Mooy sendirian saja. Bambang Aji dan A. Kukuh Karsadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus