KEMELUT di Universitas Nasional (Unas), Jakarta, akhirnya menggelinding ke pengadilan. Rabu dua pekan lalu, pengurus Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) yang membawahkan Unas terdiri dari Prof. Iskandar Alisjahbana, Prof. Sutan Takdir Alisjahbana, dan M. Juhana Dharmatin mengajukan gugatan lewat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka menuntut Prof. Baiquni, Rektor Unas yang diakui Pemerintah, dan kawan-kawan (sebanyak 22 orang) untuk membayar ganti rugi Rp 30 miliar. Tergugat dinilai melawan hukum dengan menguasai kampus dan menyelenggarakan pendidikan di Unas tanpa hak. Baiquni, bekas Dirjen Batan, juga dipersalahkan karena mengangkat dan memberhentikan pimpinan universitas tanpa persetujuan YMIK. Tindakan ini, menurut penggugat, menimbulkan kerugian moril dan materiil cukup besar terhadap YMIK, seperti proses penerimaan mahasiswa baru menjadi kacau (ada panitia kembar penerimaan mahasiswa baru). Tak dirinci kenapa angka ganti ruginya Rp 30 miliar. Penggugat juga minta hakim mengeluarkan putusan sela, sebelum perkara pokok diputus, bahwa YMIK yang dipimpin Takdir adalah sah demi hukum. Juga keputusan pemecatan Baiquni dan kawan- kawan, serta keputusan YMIK mengangkat Burhan Magenda sebagai Rektor Unas menggantikan Baiquni, dimintakan agar dinyatakan hakim sah. Kenapa menempuh jalur hukum? Menurut kuasa hukum Takdir, Maiyasyak Johan, jalan itu ditempuh karena cara musyawarah sudah mentok. Pertikaian antarpengelola Unas memang sudah berlangsung lama. Dua bulan lalu, saat Takdir menyerahkan jabatan rektor pada Baiquni, pendiri Unas itu menaruh banyak harapan bahwa penggantinya mampu membenahi kemelut yang melanda Unas. Soalnya, sebelum serah terima jabatan rektor dilakukan, Takdir sudah terlibat konflik dengan sejumlah pengurus teras YMIK, Oesman Rachman dan kawan-kawan. Oesman sebelumnya sempat memecat Takdir dari jabatan rektor dan mengangkat dirinya sebagai pejabat rektor. Namun, gejolak itu diakhiri setelah Takdir, Ketua I YMIK, memberhentikan Oesman dan kelompoknya dari kepengurusan yayasan. Untuk meredam kemelut inilah kemudian Takdir meminta Baiquni menjadi rektor. Yang terjadi kemudian Baiquni malah mengangkat kembali orang- orang yang telah dipecat Takdir. Tentu saja Takdir marah. ''Tindakan Baiquni membawa kekacauan di Unas. Akhirnya, saya pecat saja sekalian,'' katanya. Takdir lantas menunjuk Burhan Magenda, ahli ilmu politik dari Universitas Indonesia, sebagai rektor baru. Semula memang ada upaya untuk mencari jalan musyawarah bagi penyelesaian kemelut Unas. Tapi, Takdir baru mau bermusyawarah asal Baiquni mundur dan tak campur tangan lagi urusan Unas. Baiquni tampak enggan menanggapi gugatan Takdir itu. ''Saya tak mau membuat pernyataan yang dapat menimbulkan opini. Yang jelas, misi saya di Unas hanya ingin membantu Pemerintah menyelesaikan kemelut di sana,'' katanya kepada Ricardo Indra dari TEMPO. Kendati sudah dipecat Takdir, Baiquni tetap bersikukuh bahwa dirinya masih berfungsi sebagai rektor Unas. ''Semua itu didukung bukti-bukti sah dan peraturan Pemerintah,'' ujar Baiquni. Melihat Takdir dan Baiquni masih bersikukuh dengan keputusan masing-masing, tak heran bila tanda-tanda perdamaian dari kedua kubu itu, seperti yang diinginkan sebagian besar mahasiswa, belum tampak. Sepanjang tak ada damai, yang paling dirugikan justru mahasiswa, karena proses belajar mereka terganggu. ARM dan Sarluhut Napitupulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini