Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bank dunia menembak siapa

Laporan bank dunia kali ini menembak teknologi tinggi. habibie dan ginandjar membalas. tapi laporan finalnya belum beredar hingga awal pekan ini.

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA pejabat Indonesia, pekan silam, seperti disengat berita tajam. Itu sehubungan dengan kritik Bank Dunia atas beleid ekonomi Indonesia, yang disebut tidak efisien, terlalu boros untuk proyek-proyek di bawah naungan Menteri Negara Ristek B.J. Habibie, dan mementingkan deretan konglomerat. Bank Dunia, melalui forum Consultative Group of Indonesia (CGI), untuk kedua kalinya akan bersidang di Paris, akhir Juni ini, membahas jumlah pinjaman kepada Indonesia. Kreditur terbesar Indonesia, yang kini tampil sebagai Ketua CGI, telah menganjurkan jumlah pinjaman yang tak kurang dari US$ 4,9 miliar alias sama dengan tahun lalu. Bisa jadi, setelah usainya sidang CGI nanti, jumlah pinjaman yang disetujui akan menembus angka US$ 5 miliar. Maka, bisa dimengerti kalau kritik Bank Dunia terhadap proyek berteknologi tinggi terasa kurang enak didengar buat Habibie. Laporan yang sifatnya rahasia (confidential) itu bermula dari tulisan kantor berita Reuters di Jakarta, Rabu pekan lalu, yang entah mendapat bocoran dari siapa. Laporan tersebut memang mudah tercantol dengan beberapa kritik yang sebelumnya beredar, tentang ambisi Menteri Habibie untuk menggenjot industri teknologi tinggi di Indonesia yang, sekalipun mahal, dipandang kelak akan menguntungkan negeri ini. Alhasil, tulisan koresponden asing itu berasal dari executive summary sebanyak 11 halaman dari draft laporan Bank Dunia setebal 165 halaman, yang tahun ini berjudul Indonesia: Sustaining Development. Buku final yang lebih mengkilap, dan di sana-sini lebih diperhalus bahasanya, sebenarnya harus sudah beredar pekan silam. Namun, sampai Senin lalu, sehari sebelum pertemuan para duta besar negara anggota CGI di Jakarta, entah kenapa, buku tersebut belum juga sampai di tangan mereka. Tapi, draft itu pun tak memuat kata-kata yang menunjuk hidung, seperti yang mungkin disangka sebagian orang. Adapun mengenai proyek-proyek berteknologi tinggi itu, sebelum sampai pada istilah technological leapfrogging (loncatan teknologi), ada disebutkan tentang cara terbaik dalam proses alih teknologi. Yaitu melalui lalu lintas perdagangan yang terbuka, investasi dan lisensi yang penekanannya pada pelatihan dan pendidikan, dan seterusnya. Sebaliknya, kata laporan Bank Dunia itu, ''Beleid yang dipusatkan pada strategi loncatan teknologi tinggi, melibatkan industri berteknologi canggih yang didukung oleh investasi publik (pemerintah) atau lewat subsidi dan proteksi, di banyak negara terbukti tidak efektif dan mahal.'' Beleid tersebut oleh Bank Dunia dinilai tidak konsisten dengan strategi Indonesia yang mendasarkan pertumbuhan pada kegiatan yang bisa menyerap angkatan kerja, yang kini membengkak hingga di atas 70 juta, dan setiap tahun rata-rata bertambah dua juta orang. Laporan tersebut memang tak menyebut-nyebut proyek IPTN, PT PAL, dan industri lain di lingkungan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), yang dibawahkan langsung oleh Menteri Habibie. Tapi dua hari setelah keluarnya berita itu, Profesor Habibie langsung menjawab. ''Semua kritik dan saran Bank Dunia itu tidak harus selalu dituruti,'' katanya berapi-api. Ia memberi contoh pembangunan pabrik pupuk pada Pelita I, yang ketika itu tidak disenangi oleh Bank Dunia. Kenyataannya, kata Habibie, tanpa pabrik pupuk itu kita belum tentu sudah berswasembada pangan sekarang. ''Entah siapa pembuat kritik itu. Masalahnya sekarang saya serahkan kepada mandataris MPR,'' katanya. Bak gayung bersambut, Sabtu lalu Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita, seusai bertemu dengan Presiden Soeharto, perlu memberikan penjelasan kepada pers. ''Indonesia bisa saja mengembangkan teknologi canggih bersamaan dengan broad base technology. Kita ini kan membangun bukan dari hari ke hari, tapi untuk kepentingan selama 25 tahun mendatang,'' katanya. Teknologi canggih bukan hal tabu. ''SKSD Palapa dulu juga ditentang Bank Dunia, tapi kenyataannya kemudian memberikan keuntungan ekonomi sekaligus bermanfaat untuk kesatuan nasional.'' Ketika laporan Bank Dunia membahas keberadaan konglomerat, topik utamanya adalah soal deregulasi, supaya kontrak dan kredit hukumnya jelas, standardisasi akunting, dan prosedur yang transparan menyangkut interaksi Pemerintah dengan swasta. Ini maksudnya untuk menghindari konflik kepentingan dan rente ekonomi yang jelas menguntungkan swasta. Bank Dunia, juga tanpa menyebutkan siapa, menyarankan agar monopoli dihapuskan, hukum dagang diperbaiki, dan ganjalan investasi serta dagang dilepas, supaya konglomerat menghadapi tekanan kompetisi yang sebenarnya. Dan bukan menjadi besar lantaran terlindungi dan memperoleh banyak rente ekonomi. Isi draft laporan Bank Dunia selebihnya adalah sederet pujian, di antaranya untuk keberhasilan Indonesia mengurangi defisit transaksi berjalan, dari 3,8% menjadi 2,4%, pada 1992-1993. Mereka juga menyarankan agar arah pembangunan diprioritaskan untuk pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur. Perkara infrastruktur ini, kata ekonom Anwar Nasution, ''Pada dasarnya berkaitan juga dengan kepentingan para investor (PMA) dari negara donor itu. Listrik dan jalan, misalnya, memang banyak dibantu Jepang, tapi investor dari sana juga yang menikmatinya.'' Mohamad Cholid (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus