Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA mobil berhenti serempak di kanan-kiri Jalan Kesatrian IX, Matraman, Jakarta Timur, Ahad malam dua pekan lalu. Dari tiap mobil, turun tiga-empat orang berpakaian ala pekerja kantoran. Mereka berjalan kaki menuju mulut gang sempit, sekitar 50 meter dari tempat memarkir mobil. Namun mesin mobil tetap menyala. Di belakang kemudi, ada yang siap-siap tancap gas.
Kehadiran orang asing itu mengundang curiga warga Kesatrian—yang lebih dikenal sebagai kawasan Berlan. Apalagi penampilan mereka tampak berbeda dengan warga setempat yang malam itu umumnya hendak beristirahat. "Woi, ada perlu apa? Mau ke mana?" ujar seorang penjaga lingkungan. Teriakan itu seperti panggilan bagi penduduk lain untuk ke luar rumah.
Diteriaki seperti itu, rombongan orang asing tersebut pun gelagapan. Mereka balik kanan menuju mobil masing-masing. Seorang dari mereka yang terlambat masuk mobil tak urung terkena tendangan warga. "Pergi! Pergi sana!" kata si penjaga lingkungan ketika menceritakan kembali kejadian itu, Rabu pekan lalu.
Gelagat mencurigakan rombongan itu cukup menjadi penanda bagi warga Kesatrian. Warga menyebut orang seperti itu "pasien" pencari narkotik dan obat terlarang. Tempat tujuan "pasien" itu adalah gang sempit sepanjang sekitar 60 meter yang menghubungkan Jalan Kesatrian V dengan Jalan Slamet Riyadi IV.
Senin dua pekan lalu, gang ini menjadi sorotan. Musababnya, seorang anggota Kepolisian Sektor Senen, Brigadir Kepala Taufik Hidayat, tewas setelah dikeroyok sekelompok orang yang dipimpin Ricardo Pattikassy—biasa disapa Rico—dan Ade Frioza Wijaya alias Ade Badak. Kala itu Taufik dan tiga temannya hendak menggerebek rumah Anthoneta Christina alias Mama Yola, yang dicurigai sebagai pengedar narkotik.
Mama Yola tinggal di sebuah rumah petak berukuran sekitar 20 meter persegi di gang selebar sekitar 1,5 meter. Di teras rumah bercat hitam-putih itu, ada patung wanita berperut buncit. Di gang ini, Mama Yola memiliki tujuh unit rumah petak berlantai dua. Semuanya membelakangi Kali Ciliwung. Di kiri-kanan gang, berjejal 30 rumah lain.
Ada dua akses menuju gang rumah Mama Yola. Pertama, lewat Jalan Slamet Riyadi IV, Matraman. Rute ini jarang diambil "pasien" karena tak ada tempat parkir mobil. Adapun akses kedua lewat Jalan Kesatrian V, dekat balai pertemuan. Ada jembatan sepanjang dua meter yang menjadi penghubung gang Mama Yola dengan kawasan Berlan.
Sejumlah warga "asli" Berlan yang ditemui Tempo menganggap gang itu bukan bagian dari wilayah Jalan Kesatrian. Gang itu, menurut mereka, lebih pas masuk wilayah Jalan Slamet Riyadi. "Lokasi Mama Yola jelas masuk ke RW 4, bukan Berlan yang masuk RW 3," ujar Ketua RW 03 Sumiyati, Rabu dua pekan lalu. Menurut Sumiyati, selama ini polah para "pasien" Mama Yola sangat meresahkan warga Kesatrian. "Mereka yang merusak nama Berlan."
Sebaliknya, Ketua RW 04 Teguh Waluyo mengatakan Mama Yola bukan warganya. "Yang mana orangnya saya enggak tahu," kata Teguh. Padahal rumah Teguh terletak di Jalan Slamet Riyadi IV, persis di depan mulut gang Mama Yola.
Penduduk lama Berlan menyebut lorong Mama Yola sebagai Kandang Kuda. Rujukan mereka adalah cerita turun-temurun bahwa tempat itu, pada zaman kolonial, merupakan kandang kuda serdadu Belanda. Memang masih ada bekas istal di pinggir kali yang menjadi penanda.
Faktanya, Jalan Kesatrian lebih sering menjadi pintu masuk menuju gang yang hanya bisa dilalui sepeda motor itu. Akibatnya, penduduk sekitar—termasuk tukang ojek yang biasa mangkal di sana—menganggap gang tersebut sebagai wilayah Berlan.
DALAM buku Violence and State in Suharto's Indonesia yang diedit Benedict Richard O'Gorman Anderson, Loren Ryter menulis, nama Berlan berasal dari bahasa Belanda, berenlaan. Dalam bahasa Inggris, berenlaan berarti bear land atau tanah beruang. Dulu di kawasan ini ada tangsi serdadu KNIL.
Setelah Indonesia merdeka, kawasan seluas 22 hektare ini menjadi kompleks perumahan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Pada 1970-an, nama Bearland kembali dipopulerkan sekelompok anak muda yang menyebut diri mereka The Bearland Boys. Kelompok ini kerap terlibat tawuran dengan kelompok anak muda lain, termasuk dengan tetangga mereka dari kawasan Pal Meriam, yang hanya terpisah oleh Jalan Matraman.
Pada 1974, pemerintah mengganti nama Bearland menjadi Kesatrian. Namun warga mempertahankan nama itu dengan lafal Berlan. Bukan hanya nama, tradisi tawuran dengan tetangga kampung sebelah pun berlanjut. Pemicunya ada saja: bisa senggolan di gang atau rebutan pengaturan lalu lintas di jalan raya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meredakan perseteruan pemuda Berlan dan Pal Meriam. Misalnya kegiatan olahraga untuk mempertemukan kedua kubu. Ada pula upacara damai antartokoh masyarakat dari tiap kelompok. Namun hasilnya tak optimal. "Sekarang sudah mendingan, meski masih ada kenakalan remaja," ujar Sumiyati.
Belum kelar urusan perseteruan dengan Pal Meriam, orang tua yang membesarkan anak di Berlan juga dihantui pengedar narkotik, yang merambah permukiman itu sejak 1980-an.
Menurut Kepala Satuan Narkoba Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur Ajun Komisaris Besar Yupri R.M., penangkapan anggota geng Mama Yola dua pekan lalu belum menghentikan peredaran narkotik di sekitar gang Kandang Kuda. Tiga hari setelah penggerebekan, polisi menangkap 22 orang di sekitar rumah Mama Yola. Sebanyak 15 orang di antaranya positif memakai narkotik. "Mereka masih memakai narkotik. Kok, enggak takut-takut, ya?" kata Yupri.
Kepala Penerangan Komando Daerah Militer Jakarta Raya Kolonel Heri Prakosa mengatakan Berlan harus dibersihkan dari gambaran sebagai sarang kejahatan. Untuk itu, Kodam Jaya akan mendata warga Berlan yang berlatar belakang militer dan bukan militer serta yang masih tentara aktif dan purnawirawan. Kodam Jaya berencana menjadikan Berlan sebagai kawasan permukiman tentara aktif saja. "Biar tak ada yang menyalahgunakan status kompleks TNI," ujar Heri, Kamis pekan lalu.
Istman M.P., Syailendra Persada, Faiz Nashrillah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo