Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBANYAK 80 pemukim Yahudi terpaksa angkat kaki dari Hebron, Tepi Barat, pada Kamis pekan lalu. Padahal mereka belum genap sepekan menghuni tiga bangunan toko bekas milik warga Palestina itu. Bangunan itu terletak di dekat situs yang sakral bagi umat Islam dan Yahudi di Hebron.
Pengusiran oleh tentara Israel itu terjadi sehari setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyetujui perampasan 154 hektare lahan dekat Yeriko, Palestina, sekitar 115 kilometer arah timur laut Hebron. "Mereka diusir karena tidak mendapat izin dan tidak berkoordinasi dengan tentara," kata Menteri Pertahanan Israel Moshe Yaalon.
Namun tindakan militer Israel di Hebron tak mengecoh Palestina. Mereka tetap memprotes aksi sepihak Israel di Yeriko. "Kami segera mengadukan hal ini ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa," ujar Saeb Erekat, Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan kepala perunding Palestina, seperti dikutip Newsweek.
Tanah di dekat Yeriko itu menghampar di lembah Sungai Yordan—pembatas antara wilayah Tepi Barat dan Yordania. Lahan ini cukup subur untuk pertanian. Dalam beberapa tahun terakhir, para petani Israel telah menggarap tanah bera di utara permukiman warga Yahudi, Almog, itu. Mereka antara lain menanaminya dengan bawang bombai.
Untuk menguasai lahan itu, Israel menggunakan hukum Kesultanan Utsmaniyah bertarikh 1858. Aturan kuno ini menyebutkan lahan yang tak digarap bertahun-tahun dapat diaku sebagai milik pemerintah: dalam versi Israel adalah mereka sendiri. Netanyahu, dalam sebuah kesempatan, menyatakan aksi itu sebagai "survei rutin terhadap tanah yang nasibnya belum ditentukan".
Kini lahan di dekat ujung utara Laut Mati itu sepenuhnya di bawah kendali rezim Zionis Israel. "Israel telah mencaplok tanah kami di Lembah Yordan," kata anggota senior PLO, Hanan Ashrawi, kepada Reuters. Menurut dia, tindakan Israel di Lembah Yordan telah mencederai upaya perundingan damai antara Israel dan Palestina.
Tindakan Israel di Lembah Yeriko itu merupakan yang terbesar kedua dalam setahun terakhir. Pada Agustus tahun lalu, mereka mencaplok hampir 400 hektare tanah di kompleks permukiman Etzion di dekat Bethlehem, Tepi Barat. Bahkan, "Tindakan itu adalah yang terbesar dalam 30 tahun," ucap Hagit Ofran, anggota kelompok anti-pendudukan Israel, Peace Now, seperti dikutip IB Times.
Lahan yang dicaplok di Etzion berdekatan dengan lokasi pembunuhan tiga remaja Yahudi. Peristiwa beberapa bulan sebelumnya ini mengguncang hubungan Israel dan Palestina. Israel menuding milisi Hamas berada di balik kasus ini. "Tentara Israel menyatakan tidak ada klaim kepemilikan Palestina di tanah itu," ujar Ofran.
Tindakan agresif Israel di Lembah Yordan juga menyulut kemarahan sekutunya, Amerika Serikat. Pemerintah negara itu mempertanyakan komitmen Israel dalam pembahasan solusi dua negara dengan Palestina. "Pengakuan dan pemisahan dua negara akan lebih sulit bila Israel terus memperluas permukiman," kata Duta Besar Amerika untuk Israel, Daniel Shapiro.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon tak ketinggalan mengecam aksi Israel. "Ini adalah tindakan provokatif untuk mendongkrak pertumbuhan populasi pemukim," ujarnya di sela pertemuan Dewan Keamanan PBB di Timur Tengah. "Memperluas permukiman adalah bentuk penghinaan terhadap rakyat Palestina dan masyarakat internasional."
Ban, seperti diberitakan Reuters, mengaku sangat terganggu oleh rencana pemerintah Israel yang akan mendirikan 150 rumah baru di lahan subur di Lembah Yordan. Ban bahkan menyebut permukiman warga Yahudi Israel yang dibangun di atas tanah Palestina itu sebagai "permukiman ilegal di tanah pendudukan di Tepi Barat".
Pemerintah Israel tak kalah keras menanggapi kecaman Ban. "Penduduk Palestina pembunuh tidak ingin membangun sebuah negara, tapi menghancurkan negara. PBB telah lama kehilangan netralitas dan kekuatan moralnya," kata Netanyahu. Menurut dia, pernyataan Ban hanya akan menjadi pembenaran aksi teror dari para milisi Palestina.
Netanyahu tentu saja menutupi fakta bahwa rakyat Palestina sebenarnya menginginkan sebuah negara merdeka dengan wilayah mencakup Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Namun ketiga daerah itu telah dikuasai Israel sejak negara Zionis tersebut memenangi Perang Enam Hari. Dalam pertempuran singkat pada 5-10 Juni 1967 itu, Israel juga merebut Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan.
Asa Palestina untuk menjadi negara berdaulat masih menemui jalan terjal. Putaran terakhir perundingan damai antara Israel dan Palestina pada April 2014 mandek. Jumlah kasus kekerasan warga Israel dan Palestina yang terus melonjak dalam beberapa bulan terakhir malah semakin memperkeruh situasi.
Sejak awal Oktober 2015, kasus penusukan dan penembakan oleh warga Palestina telah menewaskan 25 orang Israel dan seorang warga Amerika. Pada periode yang sama, setidaknya 148 warga Palestina tewas dalam aksi balasan dari Israel. "Israel menggambarkan 94 orang di antaranya sebagai penyerang," demikian menurut IB Times.
Tepi Barat kini semakin sesak. Israel telah menguasai 60 persen dari wilayah seluas 3.379 kilometer persegi itu. Sekitar 500 ribu penduduk Israel telah menghuni lebih dari 200 permukiman dan pos-pos tak resmi Yahudi di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Mereka berbagi ruang dengan sekitar 3 juta penduduk Arab Palestina—penghuni asli di wilayah sengketa tersebut.
Hukum internasional sebenarnya telah menyatakan seluruh permukiman Israel di Tepi Barat dan wilayah Palestina lainnya ilegal. "Kebijakan dan praktek Israel dalam membangun permukiman di wilayah Arab Palestina yang diduduki sejak 1967 tidak memiliki keabsahan hukum," Dewan Keamanan PBB mengatur secara khusus dalam Resolusi 446, seperti dilaporkan Al Jazeera.
Toh, Israel membandel. Sejak 1967, wilayah Palestina terus menyusut seiring dengan semakin agresifnya pendudukan Israel. Menurut anggota Peace Now, Hagit Ofran, pencaplokan lahan justru semakin ganas pada era Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. "Berbeda dengan pemerintah Israel sebelumnya yang sebagian besar menghindari perampasan tanah," ucapnya.
Rezim sayap kanan Netanyahu bahkan telah menyiapkan cetak biru untuk lahan yang baru mereka caplok di Lembah Yordan. "Israel berharap mampu menjaga blok permukiman besar untuk tujuan keamanan, peternakan, ataupun pertanian," demikian menurut penuturan seorang pejabat Kementerian Pertahanan Israel.
Benjamin "Bibi" Netanyahu, 66 tahun, pertama kali menjabat perdana menteri pada 1996. Ia sempat terjungkal dari kekuasaan pada 1999 saat dikalahkan Ehud Barak. Namun pemimpin partai berkuasa Likud ini sukses merebut kembali kursi perdana menteri pada 2009 dan bertahan hingga sekarang.
Berdasarkan data Peace Now, Netanyahu tercatat sebagai pembangun paling agresif selama 1990-an. Saat itu jumlah pemukim Yahudi di Tepi Barat meningkat tiga kali lipat dari total populasi Israel. Namun, sejak 2009, pendudukan Israel di bawah Netanyahu tak segarang dulu, meski, "Jumlah permukiman di Tepi Barat membengkak dua kali lebih cepat dari Israel secara keseluruhan," Ofran menerangkan, seperti dikutip The New York Times.
Laporan yang dilansir Peace Now menunjukkan rezim Netanyahu telah membangun 4.485 unit permukiman hingga tahun lalu. Bahkan dua pertiga dari pembangunan itu terjadi dalam kurun dua tahun terakhir. "Saya tidak berniat mengevakuasi permukiman mana pun," kata Netanyahu.
Agaknya tak mudah untuk menyetop Netanyahu. Apalagi ia pernah menyatakan bahwa negara Palestina tidak akan pernah berdiri selama ia berkuasa. Netanyahu pula yang pernah menjanjikan komunitas Yahudi di tanah Palestina. Saat itu ia mengunjungi Eli, permukiman baru di Tepi Barat yang berisi 959 warga, setelah beberapa hari menjabat perdana menteri pada 1996. "Kita akan berada di sini secara permanen selamanya."
Mahardika Satria Hadi (Newsweek, Al Jazeera, IB Times, Times of Israel, CNN, Reuters)
Mengekang Mereka yang Pro-Palestina
Ayelet Shaked terus melaju di tengah kecaman lawan-lawan politiknya. Menteri Kehakiman Israel ini berkukuh dengan draf rancangan undang-undang yang telah disusunnya. Pada Senin pekan lalu, RUU yang disetujui kabinet Benjamin Netanyahu itu akhirnya mendarat di Knesset—parlemen Israel.
Shaked, 39 tahun, merupakan inisiator RUU Transparansi Dana, yang dianggap kontroversial. Rancangan aturan ini, bila Knesset mengetukkan palu setuju, akan menjadi senjata baru bagi rezim sayap kanan Netanyahu. Dengan aturan ini, pemerintah Israel bisa membatasi gerak kelompok pegiat hak asasi manusia pro-Palestina di negara Zionis itu.
"Dalam rezim demokrasi, kita ingin tahu siapa yang mendanai lembaga swadaya masyarakat. Masyarakat juga berhak tahu kalau dana itu dari pemerintah negara lain," kata Perdana Menteri Netanyahu menanggapi hujan kritik dari komunitas pegiat HAM dan kelompok sayap kiri Israel.
RUU Transparansi Dana mengharuskan semua kelompok pegiat HAM di Israel mengungkap sumber dana mereka yang berasal dari luar negeri. Setiap lembaga swadaya masyarakat harus mencantumkan dana asing mereka dalam semua dokumen resmi. Atas nama transparansi, mereka juga wajib menyampaikan laporan di depan forum publik.
Banyak kelompok HAM di Israel bergantung pada sumbangan pemerintah asing dan lembaga internasional, seperti Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka dan kubu oposisi sayap kiri selama ini gencar mengkritik kebijakan Netanyahu ihwal pendudukan Palestina. Situasi ini yang dicoba direm oleh rezim Netanyahu.
"Negara-negara asing, terutama dari Eropa, menyadari bahwa mereka tak bisa mempengaruhi kebijakan Israel. Mereka lantas menemukan cara lain, yaitu dengan mendanai lembaga-lembaga nirlaba yang sangat radikal," ujar Shaked mengenai latar belakang penyusunan rancangan.
Shaked, menteri perempuan satu-satunya di kabinet Netanyahu, menuding sebagian dari LSM yang disokong dana asing itu secara tak langsung mendukung Gerakan Boycotts, Divestment and Sanctions (BDS). "Organisasi seperti Breaking the Silence telah merugikan Israel dengan mengumbar separuh kebenaran yang terkadang justru lebih buruk dari kebohongan," kata politikus dari partai ortodoks Jewish Home ini.
BDS merupakan kampanye global untuk memboikot Israel di segala bidang. Gerakan ini pertama kali disuarakan oleh 170 organisasi kemasyarakatan sipil Palestina pada 2005 sebagai bentuk protes terhadap aksi pendudukan Israel. BDS terinspirasi perjuangan rakyat Afrika Selatan dalam melawan politik warna kulit atau apartheid.
Haaretz melaporkan bahwa RUU Transparansi Dana sejak awal menuai kritik. Kubu oposisi sayap kiri dan kelompok pegiat HAM menuduh pemerintah Israel bersikap diskriminatif. Menurut mereka, aturan itu tak mewajibkan kelompok yang menerima dana asing dari sumber swasta untuk mengungkap donor mereka.
Kelompok sayap kiri paling meradang karena banyak yang mendapat bantuan dari Amerika Serikat dan sejumlah negara Uni Eropa, termasuk Inggris. "Sedangkan LSM sayap kanan di Israel sering didanai oleh donor penginjil Kristen dan Yahudi dari luar negeri sehingga tak wajib melapor," demikian menurut Jewish Chronicle.
NGO Monitor, lembaga yang mengkritik perihal dana asing untuk LSM di Israel, mengiyakan pentingnya RUU Transparansi Dana. "Ketika negara-negara seperti Belanda, Denmark, dan Jerman memilih mendanai LSM daripada saluran diplomatik, mereka tak hanya menyakiti legitimasi masyarakat sipil, tapi juga menyerang kedaulatan Israel," ujar Presiden NGO Monitor Gerald Steinberg seperti dikutip Jerusalem Post.
Di gedung parlemen, suara anggota Knesset terbelah menyikapi RUU. Sejumlah anggota koalisi pemerintah, seperti Oren Hazan dari partai berkuasa Likud dan Bezalel Smotrich dari partai Habayit Hayehudi, mengancam tak mendukung pengesahan rancangan. Mereka memprotes aksi penggusuran terhadap pemukim Yahudi di Kota Hebron pada pekan lalu.
Namun Shaked mendapat sokongan penuh dari partainya. Bezalel Smotrich, anggota Knesset dari Jewish Home, menyatakan RUU akan melindungi Israel dari setiap organisasi yang dianggap subversif. "Ada LSM yang ingin mengubah kebijakan Israel dengan cara yang tak demokratis," kata Smotrich merujuk pada Breaking the Silence.
Breaking the Silence adalah salah satu organisasi nirlaba yang menjadi sasaran tembak RUU buatan Shaked. Kelompok yang didirikan oleh sejumlah veteran pejuang Israel pada 2004 ini mengumpulkan kesaksian dari para eks tentara Israel (IDF). Banyak dari mantan serdadu itu mengklaim Israel telah melakukan kejahatan perang. "Kelompok ini sering bersitegang dengan kekuatan politik dan militer Israel," demikian menurut Times of Israel.
Mahardika Satria Hadi (Jerusalem Post, Haaretz, Jewish Chronicle, Times of Israel)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo