PADA suatu saat tertentu, kritik dapat menjadi tanda
pertentangan. Dengan itu saja sudah bisa ternyata bahwa dia
bukan sekedar perkara satu fihak. Berbagai fihak akan merasa
berkepentingan terhadapnya. Dalam hal yang demikian, kritik
mengisyaratkan persaingan kepentingan di antara berbagai fihak
yang terlibat dalam dan olehnya. Bila ideologi kerapkali
memancing pertentangan mengenai tujuan dua atau tiga fihak, maka
kritik lebih banyak menimbulkan ribut-ribut mengenai cara dan
sopan-santunnya.
Dengan berbagai perasaan, di Indonesia pun dapat kita saksikan
di sana-sini bagaimana kritik dibebani dengan syarat-syarat
kesantunan. Di lain fihak boleh dipastikan -- hampir dengan
tanpa reserve -- adanya kesepakatan tentang kemampuan kritik
untuk mempengaruhi perobahan sosial, suatu jenis pengakuan yang
telah diberikan juga kepada ideologi, agama, atau ilmu. Istilah
"kritik konstruktif" atau "kritik membangun" sudah merupakan.
bukti tentang adanya kepercayaan itu. Yakni bahwa kritik dapat
menjadi unsur yang turut mempengaruhi dinamik proses
pembangunan, mampu mengerahkan pengaruhnya tersendiri dalam
menciptakan suatu konstruksi sosial yang dikehendaki.
Mempersoalkan kritik di Indonesia, atau barangkali di negeri
mana pun, mengharuskan adanya semacam tata-pertanyaan yang dapat
diajukan kepada dan tentang kritik itu, sebagai ujian terhadap
peran sosialnya. Yakni: sifat-sifat khas yang membuatnya dapat
turut mempengaruhi suatu perobahan atau transformasi sosial,
sifat-sifat khas kelompok atau setneg sosial yang memungkinkan
pengaruh kritik jadi efektif dan mekanisme yang menjadi sarana
bekerjanya pengaruh kritik secara operasionil.
DAPAT & HARUS DIKONTROL
Kritik dengan berbagai kwalifikasinya, tak akan dapat
menghindarkan diri dari sifat pokoknya sebagai kontrol. Bilamana
kontrol diterima, maka hampir dengan sendirinya diterima juga
bahwa apa yang menjadi sasaran kritik adalah sesuatu yang dapat
dan harus dikontrol. Dan bila dia dapat dikontrol, dengan itu
sudah diandaikan juga bahwa dia dapat terbuka terhadap
penyelewengan.
Peran kritik terhadap suatu sistem sosial, terdiri dari
kewajibannya mengembangkan suatu pengaruh yang meluruskan
kembali yang menyimpang, mengawasi yang keluar-kontrol. Dalam
konteks Indonesia yang sedang membangun, hal itu berarti
membantu seluruh perobahan struktur sosial, baik sebagai sarana
pembangunan mau- pun sebagai hasil yang hendak dicapai oleh
pembangunan itu. Agar supaya konstruksi sosial yang
dicita-citakan tetap berada dalam jangkauan tujuan. Persoalan
yang lebih praktis adalah: mekanisme manakah yang akan
memungkinkan operasionalisasi pengaruh kritik itu?
Kritik konstruktif atau kritik membangun sebenarnya mengandaikan
suatu proses yang bergerak di antara dua fihak: fihak yang
memberi dan fihak yang dikenai dan mendapat kritik itu. Untuk
pemberi kritik sudah seringkali kita dengar
persyaratan-persyaratan lengkap dengan tuntutan tata-adab
ketimuran dll.
Tapi betapa pun sempurnanya suatu kritik, dia dari sendirinya
tidak bisa bersifat konstruktip, selama dia hanya merupakan
kerja sefihak. Untuk dapat membangun, kritik harus efektif.
Untuk dapat efektif, dia harus mampu menghasilkan suatu akibat.
Dia baru menghasilkan buah, bilamana fihak yang ditujunya
bersedia menjadikannya suatu 'resep' bagi perobahan atau
perbaikan dari keadaan yang menjadi sasaran kritik. Dia baru
bekerja bila diterima dan dijalankan.
Tanpa penerimaan, tanpa pelaksanaan apa yang disarankan, tanpa
menghentikan segala atau sebahagian praktek yang dikecam, kritik
hanya akan menjadi suatu kerja verbal: dimulai dengan kata-kata
dan berakhir juga dengan kata-kata. Dia mungkin saja menjadi
sarana ekspresi: ekspresi ketidakpuasan, pernyataan
rasa-gelisah, bahkan tempat teriakan amarah. Tetapi dia tidak
menghasilkan suatu apa pun selain berfungsi sebagai obat
penenang: penenang keresahan sang kritikus dan penawar
rasa-gundah bagi mereka yang merasa terwakili perasaannya dalam
kritik itu. Dalam arti itu pun dia bisa bersifat membangun:
membangun ketenangan, memperkokoh kemantapan. Segala semangat
yang lebih gesit pun dibuat tertidur dengan lena. Kalau yang
terakhir ini terjadi, kritik secara tak langsung hanya
berkhasiat mempertahankan. Sehingga apa yang dihasilkannya
melulu suatu konservasi ("pemeliharaan") dan bukan konstruksi
atau transformasi.
KETERLIBATAN
Nampaknya bila kita memberi atribut "membangun" pada kata
kritik. maka yang terfikir adalah kritik konstruktif, yang
mempunyai kemampuan mempengaruhi terciptanya suatu bangun sosial
yang dicita-citakan atau direncanakan. Untuk maksud itu dia
membutuhkan keterlibatan dua fihak yang berurusan dengannya.
sehingga juga anjuran atau tuntutan untuk konstruktif adalah
tuntutan yang seharusnya diajukan kepada dan berlaku bagi kedua
belah fihak tersebut.
Bila Max Weber boleh dipakai di sini, maka kritik konstruktif,
dijabarkan menurut pertanyaan-pertanyaan Weber kurang lebih:
kritik yang mempunyai kekuatan kontrol, yang mampu mempengaruhi
transformasi sosial suatu masyarakat, lewat mekanisme yang
dimungkinkan oleh keterlibatan dan keterbukaan kedua fihak yang
tersangkut dalam kritik itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini