Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jika Milik Negara Dilelang .......

MA memutuskan perusahaan milik negara PT. Nindya Karya membayar hutang Rp 309 juta kepada CV. Fajar Raya karena tidak dilaksanakan, diperintah untuk dilelang. Tiba-tiba MA menundanya, karena BDN keberatan.(hk)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELANG batal. Dua peminat, yang mengincar sebidang tanah dan bangunan milik PT Nindya Karya di Jalan MT Haryono (Jakarta), terpaksa menerima kembali uang setoran lelangnya, Rp 100 juta. Lebih kecewa lagi terang Fadjaruddin Tamar, Direktur CV Fajar Raya dan Kraton, karena dia juga batal menerima haknya. Hasil lelang sebenarnya diharapkan akan menutup tagihan sekitar Rp 350 juta dari PT di bawah pembinaan dan pengawasan pemerintah itu. Tapi, apa boleh buat, 9 Juni lalu Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Senoadji SH, memerintahkan menunda lelang yang sedianya akan berlangsung hari itu. CV Fajar Raya adalah sub-kontraktor PT Nindya Karya untuk mengerjakan proyek pembangunan Jalan Daan Mogot. Sengketa bermula dari kekisruhan keuangan. Melalui Ir Ridwan Jacob, Kepala Proyek pembangunan jalan tersebut, CV Fajar pernah menyerahkan 52 buah kwitansi untuk tagihan lebih dari Rp 309 juta. Nindya Karya merasa telah memenuhi tagihan tersebut -- juga melalui Ridwan. Tapi CV Fajar membantah: tak pernah menerima sepeser pun. Hakim Tunggal Lama tak add penyelesaian, berikutnya, Fajaruddin memperkarakan Ridwan Jacob dan Kepala Cabang Nindya Karya Jakarta, ir Yul Ahyar Alfa. Kejaksaan mengolah kedua orang itu dalam perkara pidana dengan tuduhan penggelapan dan pemalsuan surat. Tapi gagal. Pengadilan Negeri Jakarta Barat-Selatan membebaskan Ridwan dari tuntutan hukum. Perbuatan Ridwan, menerima uang sejumlah yang ditagih CV Fajar, Rp 309 juta lebih -- entah dikemanakan, itu tak terungkap di Pengadilan -- menurut hakim bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran yang dirumuskan KUHP. Sedangkan atasannya, Yul Alfa, dibebaskan dari segala tuduhan jaksa. Gagal dengan perkara pidana, Fadjaruddin menggugat lawannya secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur. Kali ini berhasil. Dalam salah sebuah pertimbangannya pengadilan berpendapat, bagaimanapun, Nindya Karya tidak dapat membuktikan dirinya telah memenuhi kewajibannya. Majelis hakim yang dipimpin Abdul Samad SH, September 1977 menghukum Nindya Karya membayar semua tagihan CV Fajar berikut bunganya. Nindya Karya naik banding. Pengadilan Tinggi, di bawah hakim tunggal Soenarso Hardjomartono SH, Januari lalu memang memenangkan pembanding. Berkas putusan setebal 4 halaman itu, yang keluar hanya 100 hari setelah putusan tingkat pertama, menganggap sejumlah kwitansi di tangan Nindya Karya merupakan bukti pembayaran atas tagihan CV Fajar. Tapi Mahkamah Agung di bawah Hakim Agung R. Saldiman Wirjatmo SH, Maret lalu mengoreksi putusan bawahannya. Peranan kwitansi bagi sebuah perseroan milik negara, bukanlah bukti pembayaran. Hanya bukti penagihan belaka. Yang penting, begitu antara lain bunyi putusan kasasi, pembayaran (berupa cek atau giro) harus betul-betul diterima si penagih. Mahkamah Agung memerintahkan Nindya Karya membayar tunai kewajibannya, ditambah bunga 6% setahun terhitung sejak perkara masuk ke pengadilan, sehingga jumlahnya sekitar Rp 350 juta. Dan sitaan jaminan, 2 kaveling berikut bangunan kantor, dinyatakan sah dan berharga. Hingga April kemarin Nindya Karya tak menunjukkan tanda-tanda hendak memenuhi putusan pengadilan. 15 hari setelah pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, 17 April, pengadilan sudah menegur. Tapi tak diindahkan. Maka turunlah perintah sita eksekusi dan disusul perintah lelang. Lelang sudah diumumkan. Tiba-tiba muncul keberatan dari Bank Dagang Negara (BDN). Mengapa dari bank? Rupanya, ketika perkara sedang berproses, 16 April lalu tanah dan bangunan kantor yang sedang dalam sitaan pengadilan telah digunakan (dan diterima) sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman (hipotek) Rp 977,6 juta dari BDN. Ini memang aneh. Apalagi Direktur Nindya Karya, ir Soegeng, pernah membuat "Pernyataan Jaminan" tidak akan melakukan perbuatan apapun yang menjurus "penyembunyian dan/atau penghindaran" tanah dan bangunan kantor yang disita pengadilan. Menurut pengacara CV Fajar, Soenarto Soerodibroto SH, mengutik-utik sesuatu barang sitaan pengadilan seperti yang dilakukan pimpinan Nindya Karya di atas -- merupakan tindak pidana (pasal 263 KUHP). Paling tidak, dengan ikut campurnya pihak bank, persoalan jadi bertambah. Buktinya dengan dalih barang milik negara tak bisa dilelang (ditunjuk pasal 65 yo 66 ICW, sebagai dasar hukumnya) BDN unjuk keberatan. Di depan kantor Nindya Karya di Jalan MT Haryono dipasang dua papan pengumuman. Yang satu berbunyi "Milik Negara" dan lainnya berisi peringatan "Barang Milik Negara. Tidak bisa dilelang..." Ingkar Janji Berkat himbauan Sekretaris Jenderal Dept. Pekerjaan Umum Dr. Joelianto, sebagai pembina PT Nindya Karya, akhirnya Mahkamah Agung memang menunda pelelangan. "Itu bukan berarti kita tidak menghormati putusan pengadilan," kata Humas PU, Soerojo. Permintaan penundaan lelang, seperti dikabulkan Mahkamah Agung, katanya untuk kelancaran tugas Nindya Karya mengerjakan berbagai proyek PU. Departemen akan memerintahkan Nindya Karya menunaikan kewajibannya terhadap CV Fajar. Pengadilan tidak mempersoalkan Nindya Karya sebagai perusahaan milik negara atau bukan. Bagaimanapun, menurut pejabat sementara Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Soegondo SH, justru "hanya hakimlah yang berwenang menyita uang atau barang milik negara." Penundaan lelang oleh Mahkamah Agung, lanjut Soegondo, tak lain "karena masih ada cara lain untuk membayar" Lelang hanya upaya terakhir bagi pihak yang bandel menunaikan kewajibannya. Sedangkan dengan "dasar kepercayaan" Departemen PU menjamin Nindya Karya tidak akan ingkar janji. Untuk itu pengadilan minta agar Nindya Karya menyerahkan uang jaminan sebesar (atau sekecil?) Rp 500 ribu. Tapi kapan? "Saya tidak tahu lagi," kata Fadjaruddin setengah putus asa. Dia menagih ke Nindya Karya, katanya, karena dia juga dikejar-kejar rekan leveransir yang juga menunggu pembayaran. "Terus terang saya juga frustrasi terhadap Mahkamah Agung," lanjut pengacaranya, Soenarto. Permintaan penundaan lelang, hanya karena barang yang akan dilelang itu milik perusahaan yang dibina dan diawasi pemerintah, menurut Soenarto "akan jadi kebiasaan buruk dan tamparan bagi hakim agung."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus