Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ilmu Mafia Untuk Pengacara ?

7 orang anggota peradin Jakarta menuduh ketua Peradin Yan Apul SH mengajarkan ilmu mafia kepada peserta kursus pengacara. Yan Apul menggantikan Soenarto yang dituduh terlibat mafia peradilan. (hk)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM begitu jelas bagaimana sikap yang berwajib hendak menyelesaikan masalah "mafia-peradilan". Haruskah mengusut si tertuduh Soenarto Soerodibroto SH, bekas Ketua Peradin Cabang Jakarta? Atau memperkarakan Pimpinan Pusat Peradin, S. Tasrif dkk sebagai penuduhnya? Belum itu terjawab, kini sudah muncul keributan baru 7 orang anggota Peradin Jakarta menuduh ketua mereka yang baru, Yan Apul SH, telah mengajarkan "ilmu mafia" kepada peserta kursus pengacara. Duduknya Yan Apul sebagai Ketua DPC Peradin Jakarta, menggantikan Soenarto yang dipecat gara-gara dituduh terlibat mafia-peradilan, sejak pagi-pagi memang sudah memancing protes beberapa orang kolega Advokat. Ketujuh anggota itu, antara lain bekas bintang film Nurbany Yusuf Kusumanegara SH, mempersoalkan tatacara pengangkatan yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan rumah tangga (PRT) organisasi. Pemilihan Yan Apul sebagai ketua baru menurut pemrotes yang lain, Max Lamuda SH, tidak sah. Karena, katanya, sidang pemilihan dibuka "tidak mencapai qorum." Protes dilayani dengan baik oleh DPP Peradin. Tapi tak sampai menggoyahkan kedudukan Yan Apul. Maka ke-7 advokat tadi memunculkan persoalan baru. Suratnya kepada DPP Peradin, 15 Mei lalu, menyatakan antara lain: Ada keluhan para peserta kursus advokat terhadap "sifat tidak terpuji dari salah seorang 'pimpinan' DPC Peradin Jakarta." Yaitu, lanjutnya, "memberikan kuliah pada kursus advokat dengan memberikan pelajaran yang tidak senonoh." Kuliah yang "tidak senonoh" itu katanya berkenaan dengan pelajaran Yan Apul tentang bagaimana menggarap sesuatu perkara perdata. Seperti dicatat dari kuliah Hukum Acara Perdata 3 Desember 1976 perihal biaya perkara, misalnya, Yan Apul menyatakan bahwa advokat yang berkwalitas tinggi tentu tak mau dibayar kurang dari Rp 500 ribu. Di samping itu harus pandai menilai klien: "Kadang kala kita melihat pakaiannya sangat kotor, tetapi rupanya orang tersebut adalah direktur suatu perusahaan . . . " Dan jangan lupa pembayaran harus dibayar di muka, katanya. Perincian tarif dari berbagai proses penyelesaian perkara juga diperinci. Dari mulai tarif mengurus perkara di tingkat perdamaian sampai ke Mahkamah Agung. Yang menarik adalah sebuah contoh yang dikemukakan Yan Apul ketika itu: ada seorang isteri yang datang minta bantuan hukum kepadanya karena suaminya "diboyong" seorang perawat rumah sakit. Kasus itu, katanya, dapat diselesaikan secara damai. Caranya, "dengan berbagai hal," seperi mempergunakan ilmu-ilmu hukum, jiwa, sexologi, magic ("kalau dianggap perlu") dan mafia ("melihat situasi kasus"). Kursus Peradin begitu, menurut Lamuda, "hanya mau cari uang saja -- tidak bermutu!" Dan sejak berlangsung 1976, setiap tahun materi ilmu mafia Yan Apul tetap diajarkan. "Bagaimana ini?" desak Lamuda. "Kalau Soenarto dapat dipecat, mengapa Yan Apul didiamkan?" Yan Apul tampak tegang. Dia mengakui memang memberikan kuliah tentang tarif advokat. Bagaimana kalau klien tidak mampu? "Kalau pengacara sudah banyak klien, tentu tidak akan menerimanya dan menyuruh orang itu ke pengacara lain. Tapi kalau mau menolong juga itu sifatnya pribadi," ujar Yan Apul. Tapi dia membantah mengajarkan ilmu mafia. "Saya cuma menyarankan agar pengacara mempelajari ilmu mafia, magic atau sexologi." Siapa tahu lawan menggunakan ilmu begituan, dan "itu harus diketahui agar bisa diatasi -- bukan berarti saya mengajarkan teknik mafia" kata Yan Apul. DPP Peradin memang menerima surat protes yang ditandatangani para sarjana hukum Nurbany Yusuf, Stella Lewarissa, Aswar Karim, Max Junus Lamuda, Sofyan Rashid, Nursiwan A. Tabrani dan Amin Arjodo. "Tapi saya kembalikan," kata Tasrif, Ketua Umum DPP Peradin, karena itu wewenang cabang untuk mengurusnya. Dan surat protes itu, seperti kata Lamuda, memang tak disampaikan ke pimpinan cabang. "Karena kami tidak mengakui DPC," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus