BELUM begitu jelas bagaimana sikap yang berwajib hendak
menyelesaikan masalah "mafia-peradilan". Haruskah mengusut si
tertuduh Soenarto Soerodibroto SH, bekas Ketua Peradin Cabang
Jakarta? Atau memperkarakan Pimpinan Pusat Peradin, S. Tasrif
dkk sebagai penuduhnya? Belum itu terjawab, kini sudah muncul
keributan baru 7 orang anggota Peradin Jakarta menuduh ketua
mereka yang baru, Yan Apul SH, telah mengajarkan "ilmu mafia"
kepada peserta kursus pengacara.
Duduknya Yan Apul sebagai Ketua DPC Peradin Jakarta,
menggantikan Soenarto yang dipecat gara-gara dituduh terlibat
mafia-peradilan, sejak pagi-pagi memang sudah memancing protes
beberapa orang kolega Advokat. Ketujuh anggota itu, antara lain
bekas bintang film Nurbany Yusuf Kusumanegara SH, mempersoalkan
tatacara pengangkatan yang dianggap tidak sesuai dengan
peraturan rumah tangga (PRT) organisasi. Pemilihan Yan Apul
sebagai ketua baru menurut pemrotes yang lain, Max Lamuda SH,
tidak sah. Karena, katanya, sidang pemilihan dibuka "tidak
mencapai qorum."
Protes dilayani dengan baik oleh DPP Peradin. Tapi tak sampai
menggoyahkan kedudukan Yan Apul. Maka ke-7 advokat tadi
memunculkan persoalan baru. Suratnya kepada DPP Peradin, 15 Mei
lalu, menyatakan antara lain: Ada keluhan para peserta kursus
advokat terhadap "sifat tidak terpuji dari salah seorang
'pimpinan' DPC Peradin Jakarta." Yaitu, lanjutnya, "memberikan
kuliah pada kursus advokat dengan memberikan pelajaran yang
tidak senonoh."
Kuliah yang "tidak senonoh" itu katanya berkenaan dengan
pelajaran Yan Apul tentang bagaimana menggarap sesuatu perkara
perdata. Seperti dicatat dari kuliah Hukum Acara Perdata 3
Desember 1976 perihal biaya perkara, misalnya, Yan Apul
menyatakan bahwa advokat yang berkwalitas tinggi tentu tak mau
dibayar kurang dari Rp 500 ribu. Di samping itu harus pandai
menilai klien: "Kadang kala kita melihat pakaiannya sangat
kotor, tetapi rupanya orang tersebut adalah direktur suatu
perusahaan . . . " Dan jangan lupa pembayaran harus dibayar di
muka, katanya.
Perincian tarif dari berbagai proses penyelesaian perkara juga
diperinci. Dari mulai tarif mengurus perkara di tingkat
perdamaian sampai ke Mahkamah Agung. Yang menarik adalah sebuah
contoh yang dikemukakan Yan Apul ketika itu: ada seorang isteri
yang datang minta bantuan hukum kepadanya karena suaminya
"diboyong" seorang perawat rumah sakit. Kasus itu, katanya,
dapat diselesaikan secara damai. Caranya, "dengan berbagai hal,"
seperi mempergunakan ilmu-ilmu hukum, jiwa, sexologi, magic
("kalau dianggap perlu") dan mafia ("melihat situasi kasus").
Kursus Peradin begitu, menurut Lamuda, "hanya mau cari uang saja
-- tidak bermutu!" Dan sejak berlangsung 1976, setiap tahun
materi ilmu mafia Yan Apul tetap diajarkan. "Bagaimana ini?"
desak Lamuda. "Kalau Soenarto dapat dipecat, mengapa Yan Apul
didiamkan?"
Yan Apul tampak tegang. Dia mengakui memang memberikan kuliah
tentang tarif advokat. Bagaimana kalau klien tidak mampu? "Kalau
pengacara sudah banyak klien, tentu tidak akan menerimanya dan
menyuruh orang itu ke pengacara lain. Tapi kalau mau menolong
juga itu sifatnya pribadi," ujar Yan Apul. Tapi dia membantah
mengajarkan ilmu mafia. "Saya cuma menyarankan agar pengacara
mempelajari ilmu mafia, magic atau sexologi." Siapa tahu lawan
menggunakan ilmu begituan, dan "itu harus diketahui agar bisa
diatasi -- bukan berarti saya mengajarkan teknik mafia" kata Yan
Apul.
DPP Peradin memang menerima surat protes yang ditandatangani
para sarjana hukum Nurbany Yusuf, Stella Lewarissa, Aswar Karim,
Max Junus Lamuda, Sofyan Rashid, Nursiwan A. Tabrani dan Amin
Arjodo. "Tapi saya kembalikan," kata Tasrif, Ketua Umum DPP
Peradin, karena itu wewenang cabang untuk mengurusnya. Dan surat
protes itu, seperti kata Lamuda, memang tak disampaikan ke
pimpinan cabang. "Karena kami tidak mengakui DPC," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini