SEBANYAK 75 rumah beratap seng, dinding papan dan lantai tanah,
berbanjar teratur. Di bagian lain 90 rumah berbentuk dan ukuran
sama dibangun pula. Itulah seluruh isi Desa Mbang, proyek
pemukiman kembali penduduk Desa Blang Lancang, Kecamatan Arun di
Kabupaten Aceh Utara yang tergusur pendirian pabrik gas alam
cair (LNG) beberapa tahun lalu. Sedemikian jauh masih tampak
lengang dan mubazir. Dari 75 rumah yang sudah ada sejak 1975
lalu itu 50 di antaranya tanpa penghuni.
Mbang terletak di selangkang bukit-bukit di pedalaman kabupaten
yang kaya akan gas. Dari satu simpangan di jalan raya Lhok
Seumawe-Medan desa itu berjarak 24 Km menembus kesunyian hutan.
Di musim hujan jalan menuju desa itu "biasanya dicutikan," kata
Tengku Nurdin (48) salah seorang penduduknya. Seolah-olah
putuslah hubungan antara-desa itu dengan daerah lain. Maklum
jalan licin dan berlumpur.
Adalah masalah jalan itu pula yang selama ini menjadi salah satu
penyebab sebagian besar dari 700 kepala keluarga korban gusuran
pabrik LNG enggan hijrah ke sana. Walaupun proyek pemukiman
kembali itu dapat mereka tempati tanpa bayar dan tanah pertanian
yang subur di Mbang hanya tinggal menggarapnya saja.
Manyak (36) bekas penduduk Blang Lancang, kini lebih suka
menetap di Lhok Seumawe dan hidup sebagai penjual air keliling,
meninggalkan rumah dan satu setengah hektar tanah pertanian
pembagiannya di Mbang. "Bagaimana kami bisa betah di sana kalau
hubungan tidak ada," katanya. "Daripada makan tanah di Mbang kan
lebih baik minum air di sini."
Susah payah Abidah, janda dengan 4 orang anak, masih mencoba
untuk betah tinggal di Mbang. Pekerjaannya dulu mengumpulkan
garam, kini berubah menjadi petani palawija. Memang berat, untuk
menjual hasil pertaniannya ia harus berjalan kaki setengah hari
mencapai Pintu Karo sebagai pasar terdekar. Setahun lalu
sebenarnya ada truk yang disediakan kabupaten untuk menjalani
rute itu. Tapi, seperti dikatakan seorang staf kantor Bupati,
"sejak beberapa waktu kendaraan itu hancur dimakan jalan."
Pertengahan Mei lalu Gubernur Aceh, Majid Ibrahim, datang
melongok Mbang. Maksudnya tentu saja untuk mengetahui
perkembangan proyek ressetlement (pemukiman kembali penduduk)
itu. Iringan mobil rombongan Majid membuktikan sendiri:
tertatih-tatih di antara lumpur, benjolan dan lubang jalanan.
Gubernur dapat merasakan, kendati pembuatannya oleh Pertamina
dan perusahaan Mobil Oil -- yang bertanggung jawab urusan korban
Proyek LNG -- keadaan pemukiman memang parah.
"Biaya pembuatan jalan yang dikehendaki penduduk kini sedang
kita pikirkan," janji Mariman Djarimin, Kepala Direktorat
Pembangunan Desa Pemda Propinsi Aceh. Namun itu tak menjamin
pemukiman kembali penduduk di Blang Lancang akan lancar.
Penduauk punya banyak persoalan.
Tidak Diperhatikan
Makmun Azis, misalnya, yang sehari-hari hidup sebagai nelayan,
enggan pindah menjadi petani di Mbang. "Kami telah puluhan tahun
jadi nelayan, untuk berubah menjadi petani sulit," katanya.
Makmun tetap memilih sebagai nelayan di daerah Batu Phat. Hasan
Basri, kini bekerja sebagai buruh di pelabuhan Lhok Seumawe,
lain lagi ceritanya. Selama dua tahun dia bersama isteri dan 6
orang anaknya pernah mencoba menetap di Mbang. Sambil menggerutu
belakangan meninggalkan desa barunya itu karena pemerintah tidak
memperhatikan nasibnya, katanya, "Dulu dijanjikan akan
dibikinkan jalan bagus, lantas dibuatkan irigasi dan akan juga
diberi bantuan. Mana buktinya?" tuntut Hasan Basri.
Mbang, mula-mula hanya dengan 75 rumah, diresmikan Oktober 1976.
Penduduk yang segera menempatinya ketika itu hanya 13 kepala
keluarga. Menurut seorang staf Mobil Oil "memang satu permulaan
yang mengecewakan." Menjelang pembangunan 90 rumah baru sekarang
ini formulir bagi penduduk sudah diedarkan. Tapi sampai
pembangunan hampir siap baru 20 keluarga saja yang berminat.
Belajar dari Mbang, Pemda Aceh boleh lebih siap mengurus 450
kepala keluarga penduduk 5 buah desa calon korban gusuran pabrik
pupuk Asean di Kreuenggeukeuh nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini