Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Jurus wiyogo menuntut koruptor

Gubernur dki wiyogo atmodarminto menggugat koruptor aminuddin alie, dimyati, dan yuni adhinata (a yun). mereka sebelumnya divonis pidana. dasar hukum gugatan perdata tidak jelas.

6 April 1991 | 00.00 WIB

Jurus wiyogo menuntut koruptor
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KALI ini gebrakan Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto di bidang hukum. Rupanya, Wiyogo tak puas kalau aparatnya yang terbukti korupsi hanya divonis hukuman pidana. Sebab itu, setelah divonis penjara, dua orang bekas pegawai DKI, Aminuddin Alie dan Dimyati, yang terlibat kasus korupsi Rp 11 milyar, mendapat giliran "digugat" atasannya itu. "Jurus" Wiyogo itu terhituny baru bagi kalangan hukum dan mungkin yang pertama kali dalam catatan sejarah pengadilan korupsi di Indonesia. Memang, sejak masa Jaksa Agung Ismail Saleh (Mei 1984) gagasan menuntut koruptor ke pengadilan perdata sudah dipikirkan kejaksaan. Bahkan waktu itu juga muncul pemikiran bahwa ahli waris sang koruptor pun bisa dituntut secara perdata. Sebab itu, di kejaksaan, dibentuk sebuah direktorat perdata, yang konon akan ditingkatkan menjadi direktorat jenderal. Upaya perdata itu, seperti kata Direktur Perdata dan Bantuan Hukum Kejaksaan Agung, Isban Boerhanoeddin, direncanakan kejaksaan untuk mengembalikan kerugian negara yang telanjur dikantungi si terpidana. Selama ini uang negara yang bisa diselamatkan dengan persidangan pidana relatif masih lebih kecil (di bawah 25%) dibandingkan kerugian negara akibat kasus korupsi tersebut. Selain itu, upaya perdata dianggap berguna jika kejaksaan mengalami kesulitan sewaktu menagih ganti rugi, sebagaimana diputuskan pengadilan pidana. Sebab, sudah jadi rahasia umum bahwa kebanyakan koruptor sudah lebih dahulu mengalihkan hak miliknya kepada orang lain, sebelum ia dituntut pidana. " Repotnya, hukuman ganti rugi itu tak ada subsidernya, dengan pidana badan, misalnya," kata Isban. Sampai kini, belum terdengar gugatan perdata itu dipraktekkan kejaksaan. Boleh jadi lantaran instansi penuntut umum itu masih sibuk mencari dasar hukum yang tepat untuk menggugat. Tiba-tiba, upaya itu sudah didahului Gubernur Wiyogo, yang mendaftarkan kedua gugatan itu pada 15 Maret 1991. Selain mereka, kata kuasa hukum Pemda DKI, Syarifuddin ZA Lubis dan Noerwenda, Nyonya Yuni Adhinata alias Ayun, 51 tahun, yang diduga otak kejahatan korupsi itu, juga akan digugat. Di persidangan pidana pengusaha biro jasa pengurusan PKB, Ayun, sampai tingkat kasasi divonis 9 tahun penjara. Bekas Kepala Samsat Aminuddin Alie kena 8 tahun, Kasi Bank di Samsat, Dimyati, diganjar 9 tahun penjara. Kepada TEMPO, Wiyogo mengaku alasan utama menggugat lantaran begitu besar kerugian negara akibat perbuatan korupsi Dimyati dkk. "Wajar kan kalau Pemda DKI Jakarta minta balik harta mereka?" ujar Wiyogo. Ia juga menambahkan bahwa instansinya diam-diam sudah meneliti harta kekayaan Dimyati dkk., yang masih bertebaran di Jakarta. Dana yang dikorup Dimyati dkk. itu telanjur dicantumkan sebagai pemasukan kas Pemda DKI pada 1987-88 memang tak tanggung-tanggung, Rp 11 milyar lebih. Uang sebesar itu berasal dari manipulasi penerimaan pajak kendaraan bermotor (PKB) di kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Pemda DKI dan Polda Metro Jaya. Menurut Wiyogo, tuntutan ganti rugi Rp 11 milyar lebih terhadap Dimyati dan Aminuddin itu dimaksudkan juga untuk menegakkan wibawa Pemda. Selama ini, tambah Wiyogo, Pemda DKI sering digugat, bahkan gugatan tersebut sering pula tak beralasan atau tidak pada tempatnya. Nah, "Sekarang giliran kami yang menggugat," ucap Wiyogo. Hingga Sabtu pekan lalu, baik Dimyati maupun Aminuddin belum menerima gugatan Wiyogo itu. Kuasa hukum Dimyati dalam kasus korupsi itu, Turman M. Panggabean, menyatakan upaya Wiyogo itu memang bagus untuk mendapatkan pengganti kerugian negara. Namun, masalahnya, "Apa dasar hukumnya?" kata Turman. Seingat Turman, dalam soal perdata, hanya kejaksaan yang berwenang beracara. Itupun tak jelas-jelas dimaksudkan untuk gugatan semacam yang diajukan Wiyogo itu. Dalam Staatsblad No. 72 tahun 1922, hanya disebutkan bahwa kejaksaan berwenang mewakili pemerintah dalam sengketa perdata. Lagi pula, sambung Turman, dibandingkan Nyonya Ayun, yang disangka otak kasus itu, perkara kliennya (Dimyati) belum berkekuatan hukum tetap -- hingga kini perkara Dimyati masih diperiksa Mahkamah Agung. Jadi, "Mengapa bukan Nyonya Ayun yang lebih dulu digugat?" ujar Turman. Sebab itu, Turman menduga jangan-jangan gugatan terhadap Dimyati didahulukan cuma karena "dendam". Soalnya, di persidangan pidana dahulu ia membeberkan keterlibatan pejabat DKI yang lebih tinggi, Kepala Kantor Kas DKI, Sukamto. Herannya, kata Turman, waktu persidangan kliennya itu, Sukamto cuma berstatus saksi saja. Happy Sulistyadi, Linda Djalil, Bambang Sujatmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus