Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kado Mahkamah untuk Tersangka

Mahkamah Konstitusi memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Perlindungan hak tersangka diperkuat.

4 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADU argumen dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi pada pertengahan Maret lalu berakhir dengan "kekalahan" I Dewa Gede Palguna. Kala itu lima hakim sependapat dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. Sedangkan Palguna hanya didukung dua koleganya, Aswanto dan Muhammad Alim.

Waktu itu sembilan hakim Mahkamah Konstitusi berkumpul membahas uji materi beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. "Akar perdebatan menyangkut salah satu pasal yang digugat," kata Palguna, Rabu pekan lalu. Sang hakim tak mau menyebut pasal yang dimaksud. "Itu pasal paling krusial dibanding materi gugatan lainnya."

Seorang hakim yang hadir dalam rapat itu menuturkan, yang menjadi pangkal perdebatan adalah Pasal 77 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal ini mengatur obyek praperadilan yang mencakup penahanan, penangkapan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Pemohon uji materi meminta penetapan tersangka dimasukkan sebagai obyek praperadilan. Nah, hakim Arief dan kawan-kawan cenderung menyetujui permohonan tersebut.

Permohonan uji materi atas beberapa pasal dalam KUHAP diajukan Bachtiar Abdul Fatah, terpidana kasus proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia di Riau pada 2006-2011. General Manager Sumatera Light South itu kini mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung.

Diwakili kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, awal Februari tahun lalu Bachtiar mengajukan gugatan judicial review. Menurut Maqdir, Bachtiar merasa memiliki posisi hukum (legal standing) yang kuat, karena pernah ditahan jaksa tanpa proses hukum yang jelas.

Bachtiar pernah menggugat penetapan status tersangka dan penahanan dia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada November 2012, dalam sidang praperadilan, hakim Suko Harsono menyatakan penetapan tersangka Bachtiar tidak sah. Bachtiar pun sempat dibebaskan. Namun, sejak Mei 2013, Bachtiar kembali ditahan setelah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Dalam permohonan uji materi, Maqdir mempersoalkan sejumlah pasal dalam KUHAP yang berkaitan dengan penyidikan dan praperadilan, yaitu Pasal 1 angka 2 dan angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat 1, Pasal 77 huruf a, dan Pasal 156 ayat 2. Maqdir menyebut pasal-pasal itu multitafsir dan bisa disalahgunakan penegak hukum dalam proses penyidikan.

Maqdir antara lain meminta Mahkamah Konstitusi memasukkan penetapan tersangka sebagai salah satu obyek praperadilan. Alasannya, unsur pemaksaan dan perampasan kebebasan sudah ada sejak seseorang ditetapkan sebagai tersangka dalam penyidikan. Argumen serupa dipakai Maqdir ketika membela Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang melawan penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Maqdir juga menjadi kuasa hukum Budi Gunawan dalam melawan KPK. Pada Februari lalu, Budi Gunawan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Sarpin Rizaldi, hakim tunggal sidang itu, berpendapat penetapan tersangka masuk obyek praperadilan. Sarpin memutuskan bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan tidak sah.

Di Mahkamah Konstitusi, sidang perdana uji materi KUHAP ini digelar sekitar awal Maret tahun lalu. Ada lima saksi ahli yang didatangkan pemohon uji materi. Mereka adalah ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda; pengajar hukum Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa; ahli hukum Universitas Islam Indonesia, Muhammad Arif Setiawan; mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Laica Marzuki; dan guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy O.S. Hiariej. "Dalam praktek hukum sekarang, penetapan tersangka sering tebang pilih karena tidak ada kontrol," kata Chairul, yang juga menjadi saksi ahli kubu Budi Gunawan dalam sidang praperadilan melawan KPK.

Persidangan uji materi KUHAP sempat tersendat karena pada pertengahan tahun lalu Mahkamah Konstitusi harus menuntaskan sengketa pemilihan legislatif dan presiden. Mahkamah Konstitusi membuka lagi berkas uji materi ini pada akhir Oktober tahun lalu, setelah pelantikan Presiden Joko Widodo. Waktu itu Mahkamah Konstitusi masih dipimpin Hamdan Zoelva.

Hamdan pernah menggelar rapat permusyawaratan hakim bersama delapan hakim konstitusi lainnya. Mereka adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Muhammad Alim, Wahiduddin Adam, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, dan Aswanto. Adapun Palguna waktu itu belum menjadi hakim konstitusi.

Dalam rapat permusyawaratan di era Hamdan, Pasal 77 KUHAP juga paling alot dibahas. Waktu itu sebagian hakim menolak memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Mereka beralasan, membuat norma baru bukan kewenangan Mahkamah. "Mahkamah hanya memberi tafsir. Membuat norma baru itu tugas pembuat undang-undang," kata hakim Aswanto.

Hamdan Zoelva pensiun dari jabatannya pada Januari 2015, sebelum perkara itu diputus. Posisinya diisi Arief Hidayat. Pada akhir bulan itu, Arief kembali menggelar rapat permusyawaratan hakim. Namun Palguna yang baru masuk meminta waktu untuk mempelajari uji materi tersebut. Selama dua bulan, Palguna bergumul dengan tumpukan berkas gugatan.

Palguna akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa uji materi pasal 77 harus ditolak. Namun ia tidak mendapat dukungan dari mayoritas hakim konstitusi. Pada Selasa pekan lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Maqdir.

Mahkamah Konstitusi memperluas obyek praperadilan. Sebelumnya, menurut KUHAP, yang bisa dipersoalkan lewat praperadilan hanyalah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Lewat putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 itu, Mahkamah memasukkan obyek tambahan, yakni penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Mahkamah Konstitusi juga memberikan definisi baku tentang syarat "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" dalam KUHAP. Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, menurut Mahkamah, penyidik minimal harus mengantongi dua alat bukti yang sah ditambah dengan pemeriksaan calon tersangka.

Dalam putusan itu, Palguna beserta dua rekannya—Aswanto dan Muhammad Alim—memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka tidak sepakat penetapan tersangka dicangkokkan sebagai obyek praperadilan. "Itu mengganggu keseimbangan hukum," kata Palguna.

Putusan Mahkamah tersebut segera menimbulkan riak. Menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Achyar Salmi, beban penegak hukum akan bertambah karena banyak tersangka mengajukan praperadilan.

Komisioner Komisi Yudisial Imam Anshori juga mengaku kecewa terhadap putusan yang dia anggap bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi itu. "Putusan itu melawan semua asas pemahaman tentang hukum," kata Imam.

Arief Hidayat rupanya sudah memperkirakan reaksi seperti itu. Apalagi, kata dia, putusan Mahkamah Konstitusi berdekatan dengan gonjang-ganjing putusan hakim Sarpin Rizaldi. Namun Arief menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak terpengaruh situasi di masyarakat. "Putusan ini murni untuk melindungi hak warga negara yang berstatus tersangka," ucap Arief, Kamis pekan lalu.

Arief meminta masyarakat tidak hanya melihat perubahan Pasal 77 KUHAP. Pasal lain yang diuji, menurut guru besar hukum Universitas Diponegoro ini, juga memberi ruang bagi tersangka untuk memperoleh haknya. "Agar tidak menjadi korban kesewenang-wenangan penegak hukum," ujarnya.

Untuk menghindari perdebatan yang berlarut-larut, kata Arief, Mahkamah Agung perlu segera mengeluarkan aturan main tentang praperadilan. Namun, menurut juru bicara Mahkamah Agung, hakim agung Suhadi, hingga akhir pekan lalu belum ada pembicaraan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Adapun KPK memilih berancang-ancang menghadapi gelombang gugatan praperadilan. "Kami akan menambah personel di Biro Hukum, yang jumlahnya belum ideal," kata pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Johan Budi Sapto Prabowo.

Syailendra Persada, Reza Aditya, Linda Trianita, Putri Adityowati


"Putusan itu melawan semua asas pemahaman tentang hukum."
—Komisioner Komisi Yudisial
Imam Anshori

"Putusan ini murni untuk melindungi hak warga negara yang berstatus tersangka."
—Ketua Mahkamah Konstitusi
Arief Hidayat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus