Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jerit Murka dari Baltimore

Kerusuhan mengoyak Baltimore. Kematian Freddie Gray menjadi katarsis bagi warga yang frustrasi karena merasa diabaikan.

4 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepekan lalu Kota Baltimore di Negara Bagian Maryland, Amerika Serikat, berubah menjadi lautan api dan anarki. Hanya beberapa jam setelah pemakaman Freddie Gray, pemuda kulit hitam berusia 25 tahun yang tewas dengan cedera tulang punggung di tahanan polisi pada 19 April lalu, ratusan orang menjarah toko, membakar kendaraan milik warga ataupun aparat, dan melukai sedikitnya 15 polisi.

Kerusuhan menyebar dalam waktu singkat ke kota berpenduduk 662.104 jiwa itu. Huru-hara memaksa aktivitas sekolah, jadwal kereta, dan perdagangan di Baltimore barat terhenti. Gubernur Maryland Larry Hogan pun mengumumkan Baltimore dalam keadaan darurat dan mengaktifkan Garda Nasional untuk mengatasi para perusuh. Sedikitnya 200 orang—sebagian besar remaja sekolah menengah—ditangkap karena melakukan penjarahan atau perusakan.

Namun korban telanjur jatuh. Salah satu bangunan yang hangus karena kobaran api pada malam itu adalah sebuah gedung pertemuan dan panti jompo milik Gereja Baptis Selatan. Pendeta Donte L. Hickman Sr, pemimpin gereja itu, hanya bisa memandangi sisa-sisa bangunan senilai US$ 16 juta tersebut, yang tinggal reruntuhan dengan asap yang masih mengepul pada Selasa dinihari pekan lalu.

Selama bertahun-tahun, pria 43 tahun itu mengumpulkan dana bersama jemaat gereja untuk membangun proyek di wilayah yang telah lama menderita kemiskinan, jadi kawasan peredaran narkotik, dan diabaikan pemerintah tersebut. "Siapa pun yang melakukan ini tidak memahami apa yang kami perjuangkan," kata Hickman kepada The New York Times, Selasa pekan lalu.

Kerusuhan yang meluluhlantakkan Baltimore mengejutkan publik. Sejak kematian Michael Brown, remaja kulit hitam tak bersenjata yang tewas ditembak polisi kulit putih pada Agustus tahun lalu di Ferguson, Missouri, sejumlah insiden fatal yang melibatkan polisi dan menyebabkan kematian warga kulit hitam telah terjadi di sejumlah kota di Amerika. Namun hanya Baltimore yang mengalami kondisi anarki seperti Ferguson. Padahal Baltimore memiliki wali kota dan pemimpin kepolisian kulit hitam, tak seperti di Ferguson.

Ada sejumlah alasan di balik tragedi ini. Seperti dijelaskan Tim Swift, bekas editor The Baltimore Sun, kota tersebut terdiri atas dua bagian. Satu bagian merupakan wilayah kota yang kondang dalam program televisi The Wire karena kemiskinan dan tingginya angka kriminalitas. Di sisi lain, terutama di wilayah Inner Harbour, adalah Baltimore yang tengah menggeliat dengan sejumlah proyek menjanjikan.

"Pemerintah kota dan kepolisian menjalankan kebijakan tebang pilih yang menguntungkan sisi Baltimore baru," ujar Swift, yang kini menjadi editor BBC Washington.

Agar pertumbuhan ekonomi terus berjalan, Swift menyebutkan, pemerintah dan kepolisian Baltimore memastikan sisi baru itu aman, tapi mengabaikan wilayah barat dan timur, lokasi awal kerusuhan pekan lalu. Data kepolisian Baltimore menunjukkan angka pembunuhan pada 2014 mencapai 34 : 100.000—salah satu yang terburuk di Amerika, bahkan lebih tinggi dari Afrika Selatan.

Rasa frustrasi warga semakin bertambah karena keberhasilan di wilayah baru Baltimore tak mereka rasakan. "Wilayah kami adalah tanah yang terlupakan," tutur Aisha Snead, yang tumbuh besar di West Baltimore. Gerai-gerai besar macam CVS, yang dijarah massa, menurut Snead, selama ini lebih mendapat curahan perhatian pemerintah daripada warga. "Mereka mengambil setiap sen dari warga kulit hitam miskin dan menanamkannya ke Inner Harbor."

Walhasil, kematian dan pemakaman Grey menjadi katarsis bagi rasa frustrasi warga yang telah sekian lama terpendam. Steve Gomez, mantan agen Badan Penyelidik Federal (FBI) yang kini menjadi kontributor ABC News, menyamakan insiden Baltimore dengan kerusuhan rasial di Los Angeles, California, pada 1992. "Apakah mereka pelaku kriminal, anggota geng, atau warga yang frustrasi… mereka ingin suara mereka terdengar. Dan, untuk itu, mereka tak segan jika ditangkap."

Sita Planasari Aquadini (ABC News, BBC, The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus