Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DITA—begitu dia minta dipanggil—cekatan membalas pesan masuk ke telepon pintarnya. Baru selesai ia membalas satu pesan, telepon pintar lain miliknya kembali berbunyi. "Ini klien gue yang besok mau maen di Kalibata City," katanya di rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu sore pekan lalu.
Perempuan 32 tahun itu lalu menunjukkan pesan gambar yang baru masuk: foto struk bukti transfer ke rekening Bank Central Asia. Angka yang tertera Rp 1,7 juta. "Untuk sekali booking," ujar Dita.
Kepada Tempo, Dita tak sungkan mengaku sebagai "mami" dari sejumlah pekerja seks yang biasa beroperasi di apartemen Kalibata City. Dia pun seakan-akan tak khawatir "bisnis"-nya bakal digulung polisi, seperti kejadian yang menimpa jaringan prostitusi lain belum lama ini.
Jumat siang dua pekan lalu itu, tim Kepolisian Daerah Metro Jaya menggerebek dua unit apartemen di tower Herbras dan Jasmine, Kalibata City. Petugas dari Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita itu menahan enam perempuan pekerja seks yang masih di bawah umur.
Polisi juga menangkap Fahmi, yang semula diduga muncikari dari keenam anak itu. Namun, kepada polisi, Fahmi menyangkal dituduh germo. Pria 25 tahun itu hanya mengaku kaki tangan muncikari sungguhan yang ia sebut "Ki Kumis" alias Oji alias Barlog.
Menurut Fahmi, pelanggan biasanya memesan langsung kepada Ki Kumis. Ia hanya bertugas mengantarkan perempuan yang dipesan dari tempat penampungan di tower Jasmine ke tempat "bekerja" di tower Herbras. Selebihnya, Fahmi bertugas menjaga kebersihan di dua unit apartemen tersebut. Untuk semua pekerjaan itu, ia digaji Rp 1,5 juta per bulan.
Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Heru Pranoto menerangkan, keenam anak ini biasanya dijajakan melalui berbagai forum di Internet, seperti www.lendir.org, www.semprot.com, dan www.krucil.com. Tarif mereka dari Rp 600 ribu sampai Rp 800 ribu selama dua jam. Polisi masih menelusuri "bos besar" jaringan tersebut. "Pemilik situs forum itu juga masih kami cari," kata Heru, pekan lalu.
Praktek pelacuran terselubung itu sudah lama meresahkan penghuni Kalibata City, terutama yang bermukim di sana bersama keluarga. Umi Hanik, juru bicara Komunitas Warga Kalibata City, misalnya, mengaku sudah mendengar gosip seputar layanan seks berbayar sejak dia menghuni unit di tower Ebony pada 2011.
Semula Umi tak ambil pusing melihat perempuan muda berpakaian serba minimalis berkeliaran di apartemen itu. Namun, ketika gunjingan itu semakin gencar, ia kerap curiga bila ada perempuan berbusana mencolok mata. Padahal mereka belum tentu pekerja seks, seperti yang kerap digosipkan.
DI mata Dita, penggerebekan jaringan pekerja seks seperti pada Jumat dua pekan lalu itu terjadi karena kesalahan muncikari yang tak rapi beroperasi. Dita sendiri menjalankan bisnisnya dengan penuh kewaspadaan. Kalaupun suatu waktu dia tertangkap, "Itu namanya apes," ujar Dita terkekeh, sembari menyulut sebatang rokok.
Dita bercerita, praktek prostitusi di Kalibata City sudah berjalan lama. Dia sendiri merintis "bisnis" itu sejak apartemen Kalibata City mulai berpenghuni pada 2010. Agar tak terendus polisi, Dita punya kiat khusus. Ia tak pernah menaruh para "angel" binaannya di apartemen itu. Dia hanya menjadikan Kalibata City sebagai tempat melayani pelanggan. "Anak-anak gue enggak pernah keluyuran di sini," katanya. "Jadi orang enggak curiga."
Ibu satu anak itu memilih menjajakan para "bidadari"-nya di dunia maya, melalui berbagai forum dan media sosial. Dita baru akan mengontak sang "angel" jika konsumen sudah menyepakati waktu dan tarif kencan. Untuk kencan dua jam, Dita memasang tarif mulai Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta. "Itu sudah termasuk sewa kamar apartemen."
Dita pun tak mau repot membeli atau menyewa unit apartemen untuk jangka lama. Biasanya, setelah pelanggan membayar uang muka minimal 50 persen, Dita tinggal mengontak sejumlah agen penyewaan apartemen di Kalibata City. Di 18 tower apartemen di kawasan itu, menurut Dita, hampir selalu ada unit yang bisa disewa untuk "tempat eksekusi".
Untuk sekali kencan, Dita cukup membayar Rp 200 ribu buat sewa kamar. Dengan ongkos itu, agen penyewaan telah menyiapkan semua keperluan, termasuk merapikan tempat tidur serta menyediakan handuk dan sabun mandi. "Ya, seperti di hotel. Malah lebih murah lagi," ujarnya.
Jika semuanya sudah siap, Dita baru memberitahukan unit yang bisa dipakai kepada "angel" dan kliennya. Sang "angel" biasanya diminta datang ke apartemen lebih awal. Soalnya, dia harus mengambil kunci akses di warung kopi yang bertebaran di area lobi tower. Tentu saja ada uang khusus untuk pemilik warung yang dititipi kunci. Setelah kunci di tangan, sang "angel" baru duduk manis menunggu kliennya.
Saban hari, menurut Dita, ada saja lelaki yang memakai jasa gadis binaannya. Pada akhir pekan atau awal bulan, Dita malah sering kebanjiran order. "Kadang sampai menolak permintaan." Dalam sebulan, dengan memotong Rp 200-500 ribu per transaksi, Dita meraup keuntungan sampai belasan juta rupiah. "Rata-rata bisa sampe dua digitlah," katanya.
Tak semua pekerja seks bekerja di bawah bayang-bayang muncikari. Ada juga perempuan yang bekerja mandiri. Misalnya Deudeuh Alfisahrin, yang dibunuh pelanggannya di rumah kos di kawasan Tebet, beberapa waktu lalu. Sebelum pindah ke Tebet, menurut Dita, Deudeuh pernah beroperasi di apartemen Kalibata City. "Bisa dibilang dia salah satu legend di sini," ujar Dita.
Dita memastikan, di hampir semua tower di Kalibata City, ada jaringan yang menjalankan bisnis seks. Namun dia mengaku tak tahu jumlah persis muncikari plus pekerja seks di kawasan itu. "Mungkin sampai seratusan orang," katanya.
Tersedianya unit apartemen yang disewakan per jam, menurut Dita, menjadi faktor penyubur praktek prostitusi di Kalibata City. Muncikari dan pekerja seks menganggap sewa jam-jaman lebih aman. Karena tempat kerjanya berpindah-pindah di "Distrik Merah" Kalibata City, mereka merasa mudah menghindari intaian polisi.
Kerja sama dengan makelar penyewaan unit apartemen juga penting. Menurut Dita, tak sembarang orang bisa menyewa kamar per jam. Para agen hanya mau memberikan sewa kilat kepada orang yang mereka kenal. "Kalau gue kan sudah lama main di sana," ucapnya.
Pengawasan pengelola yang tak ketat juga membuat Kalibata City menjadi surga bagi penjaja layanan seks. Di sini, sepanjang membawa kartu akses, "orang asing" pun bisa keluar-masuk apartemen tanpa ditanyai petugas. "Kalau di apartemen bagus kan sampai ditanya KTP segala," ujar Dita.
Longgarnya pengawasan di Kalibata City dibenarkan sejumlah penghuni. Wewen Zi, Ketua Komunitas Warga Kalibata City, menuturkan, penghuni apartemen kerap menerima selebaran brosur layanan pijat plus yang ditaruh begitu saja di bawah pintu unit mereka.
Wewen menduga brosur disebarkan pemegang kartu akses master yang bisa mengakses semua lantai apartemen. Tanpa kartu akses master, penghuni apartemen hanya bisa mengakses lantai tempat unit mereka. "Kami dengar penjualan kartu akses master dari pengelola," ucap Wewen.
General Manager PT Pradani Sukses Abadi, Evan T. Wallad, mengatakan tak tahu-menahu soal praktek prostitusi di apartemen yang dikelola perusahaannya. Dia pun berkilah bahwa pengelola tak mungkin mengawasi sekitar 18 ribu penghuni apartemen.
Evan juga menyangkal kabar penjualan kartu akses master kepada jaringan penjaja layanan seks. Menurut dia, hanya agen properti, pemasok air mineral, atau pemilik warung yang diizinkan memiliki kartu untuk masuk ke semua tower. Meski begitu, "Dalam waktu dekat, kami akan mencabut kartu master itu," kata Evan.
Febriyan, Raymundus Rikang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo