Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komnas HAM menilai keputusan Bupati Bantul Suharsono mencabut izin pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel kecamatan Sedayu tak berdasar. Sebabnya, gereja tersebut telah mengurus izin sesuai prosedur. Gereja tersebut telah mendapat IMB pada 15 Januari 2019 dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu bernomor 0116/DPMPT/212/l/2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, ia telah datang ke Gereja Pantekosta Sedayu dan bertemu dengan Pendeta Tigor Yunus Sitorus pada Kamis, 25 Juli 2019. Ia datang meminta keterangan, setelah Komnas HAM mendapatkan pengaduan tentang penolakan gereja. Hasilnya, kata Beka, gereja tersebut telah mengikuti dan memenuhi prosedur pengajuan izin pendirian rumah ibadah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beka menyebutkan keputusan Bupati Bantul itu tidak sejalan dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan ibadah agama dan wajib mendapat perlindungan negara. “Bupati harus menganulir keputusannya karena tak ada dasarnya,” kata Beka ketika dihubungi, Selasa, 30 Juli 2019.
Beka menilai langkah Bupati Bantul sebagai kemunduran terhadap penghormatan kebebasan beragama setiap orang yang dijamin konstitusi. Dia telah mengingatkan Suharsono agar menganulir keputusannya melalui pesan WhatsApp. Tapi, pesan Beka tak berbalas. Beka juga sudah mencoba mengirimkan pesan WhatsApp ke nomor Wakil Bupati Bantul Abdul Halim Muslih. Tapi, pesan itu juga tidak mendapatkan respon.
Bupati Suharsono mencabut izin pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel kecamatan Sedayu , Kabupaten Bantul, Daerah IstimewaYogyakarta dengan alasan melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pemberian IMB rumah ibadah. “Saya cabut karena ada unsur yang tidak terpenuhi secara hukum,” kata Suharsono di kantor Pemkab Bantul, Senin, 29 Juli 2019.
Keputusan bupati itu membuat pendeta dan jemaat gereja pantekosta tersebut terpaksa menumpang agar tetap bisa beribadah di Gereja Kristen Jawa. Padahal kedua gereja tersebut berbeda aliran dan punya tata cara ibadah yang berbeda.
Suharsono meneken surat pencabutan izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadah tersebut pada Jumat, 26 Juli 2019. Dia beralasan Gereja Pantekosta tersebut menjadi satu dengan rumah tinggal Pendeta Tigor Yunus Sitorus sehingga tak bisa difungsikan untuk ibadah. Gereja, kata Suharsono seharusnya tidak boleh sekaligus untuk tempat tinggal.
Selain mempersoalkan gereja sebagai rumah tinggal Pendeta Tigor Yunus Sitorus, Bupati Bantul juga mempermasalahkan ibadah di gereja yang tidak dilakukan secara terus menerus. Dalam sebulan, ibadah di gereja tersebut, kata Suharsono hanya berlangsung dua hingga tiga kali atau tidak rutin.
Pembatalan perizinan gereja itu muncul setelah Pemkab Bantul mendapatkan laporan penolakan warga Gunung Bulu, Desa Argorejo, Sedayu. Sejak 2003, Pendeta Tigor berniat untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat ibadah. Namun terganjal karena penduduk yang mayoritas Muslim menolak. Ada sekelompok orang yang merobohkan bangunan yang Tigor dirikan. Ia kemudian melaporkan kejadian itu kepada ketua RT. Pendeta Tigor lalu terpaksa menandatangani surat pernyataan yang isinya menyatakan rumah miliknya tidak untuk tempat ibadah.