Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung membuka peluang untuk memeriksa tiga perusahaan yang dijatuhi vonis lepas (onslag) dalam perkara korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng. Ketiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kendati demikian, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan, saat ini Kejaksaan belum memeriksa pihak dari ketiga perusahaan itu karena masih fokus mendalami perkara berdasarkan keterangan saksi dan tersangka lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kita lihat perkembangannya. Penyidik masih fokus memeriksa saksi-saksi maupun tersangka,” ucap Harli pada Selasa, 15 April 2025.
Sementara itu, ketika ditanya terkait penambahan tersangka lain dalam kasus ini, Harli menyatakan penyidik masih menggali fakta-fakta hukum dari hasil pemeriksaan. Menurutnya, penyidik telah memeriksa 14 saksi dalam kasus ini. Tujuh diantaranya adalah mereka yang berstatus tersangka.
Para tersangka tersebut adalah 3 hakim yang memutus kasus korupsi minyak tersebut, yaitu Djuyamto, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom, plus mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Arif Nuryanta. Selain itu, ada juga dua pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto, serta satu eks panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung membongkar suap hakim agar memberikan keringan vonis korupsi izin ekspor minyak goreng di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar menyebutkan pengacara ketiga korporasi tersebut memberikan Rp 60 miliar agar hakim memvonis lepas atau onslag perkara tersebut.
Sidang putusan kasus korupsi minyak goreng itu lalu digelar pada 19 Maret 2024. Majelis Hakim menyatakan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan primer maupun subsider jaksa penuntut umum (JPU).
Kendati demikian, hakim menyatakan perbuatan itu bukan tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging), sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan. Majelis Hakim juga memerintahkan pemulihan hak, kedudukan, kemampuan, harkat, serta martabat para terdakwa seperti semula.
Belakangan, putusan tersebut terindikasi suap. Pengacara Ariyanto melalui Wahyu Gunawan menawarkan mengatur sidang korupsi itu. Ariyanto lalu menawarkan imbalan sebesar Rp 20 miliar.
Wahyu menyampaikan tawaran itu kepada Arif Nuryanta yang kemudian meminta jumlahnya dikalikan tiga menjadi Rp 60 miliar. Mendapat kabar dari Wahyu, Ariyanto setuju dengan tarif yang diminta Arif.
Ariyanto kemudian memberikan uang dalam pecahan dolar Amerika Serikat senilai Rp 60 miliar kepada Wahyu untuk diteruskan kepada Arif Nuryanta. Wahyu, menurut Qohar, mendapat imbalan senilai 50 ribu dolar Amerika sebagai perantara.
Setelah menerima uang itu, Arif menunjuk majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto sebagai ketua, Agam Syarif Baharuddin sebagai anggota, dan Ali Muhtarom sebagai hakim ad hoc. Setelah terbit surat penetapan sidang, Arif Nuryanta memanggil Djuyatmo dan Agam Syarif untuk memberikan uang pecahan dolar senilai Rp 4,5 miliar. Arif menyebut uang itu dengan kode uang baca berkas.
Djuyatmo lalu membagikan uang tersebut kepada Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Beberapa waktu kemudian, Arif kembali memberikan uang dalam mata uang dolar AS senilai Rp 18 miliar kepada Djuyatmo. Oleh Djuyamto, uang dolar AS tersebut dibagi kepada anggota hakim.
Kejaksaan Agung sudah menetapkan kepala tim hukum Wilmar Group, Muhammad Syafei, sebagai tersangka suap dalam kasus ini. “Malam ini menetapkan satu orang tersangka, MSY. Yang bersangkutan sebagai Head of Social Security Legal Wilmar Group,” Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung Abdul Qohar di gedung Kartika Kejaksaan Agung, Selasa malam, 15 April 2025.
Qohar mengatakan Syafei sebagai pemberi uang Rp 60 miliar kepada Ariyanto untuk diberikan kepada Arif melalui Wahyu. Uang itu adalah imbalan putusan ontslag van alle recht vervolging atau terbukti melakukan perbuatan namun dinyatakan bukan sebagai tindak pidana.
Akibatnya, mereka dilepaskan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum untuk membayar uang pengganti sekitar Rp 17 triliun dengan besaran yang berbeda-beda.
Jihan Ristiyanti dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Pemain Baru Pengusut Korupsi