Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah mantan penghuni kerangkeng Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangingangin buka suara. Mereka menceritakan kekerasan yang dialami selama menghuni kerangkeng itu. Mereka merasa kehidupan kerangkeng seperti neraka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joko-bukan nama sebenarnya-menjadi penghuni kerangkeng Bupati Langkat karena dibawa oleh pihak keluarganya. Saat itu, pihak keluarga merasa kewalahan menghadapi Joko yang kecanduan narkoba. Pada awal menjadi penghuni kerangkeng, Joko langsung disiksa. Punggungnya dipukul hingga 50 kali oleh dua orang yang disebut sebagai pembina kerangkeng itu. Penyiksaan itu berlangsung hingga beberapa pekan. “Ini seperti perkenalan masuk sekolah,” kata dia kepada Tempo, Ahad, 21 Maret 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan setelah menghuni kerangkeng itu, luka-luka yang diterimanya mulai sembuh. Saat itulah, Joko mulai dipekerjakan sebagai buruh tanpa bayaran sepeserpun. Awalnya dia bekerja di pabrik, lalu dipindah ke ladang. Kerja paksa itu dia lakukan selama sekitar setahun.
Bekerja tanpa bayaran dan tanpa hari libur, Joko mulai frustasi. Dia dan belasan orang kawannya memutuskan untuk kabur. Mereka melobi besker, pemegang kunci kerangkeng yang sama-sama penghuni, untuk membuka pintu di jam yang sudah ditentukan. Berhasil kabur dari kerangkeng, dia pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki. “Kaki kena duri, kaca, karena enggak pakai selop,” kata dia.
Sesampainya di rumah, dia menceritakan kepada orang tuanya tentang penyiksaan yang dialaminya di kerangkeng. “Saya bilang itu bukan tempat rehab, itu tempat penyiksaan,” kata dia. Joko meminta orang tuanya agar memberi tahu pengelola kerangkeng supaya tidak mencarinya lagi. Dari komunikasi itu, orang tuanya mengatakan kondisi sudah aman. Tapi dua pekan kemudian, pengelola kerangkeng menjemput Joko di rumahnya untuk dibawa kembali ke kerangkeng.
Kabur dari kerangkeng menjadi keputusan yang kemudian disesali oleh Joko. Malam itu juga, sejumlah penjaga kerangkeng membawanya ke samping kerangkeng. Dia mengatakan kerabat Terbit berinisial DPA juga hadir. Matanya kemudian ditutup lakban. Badannya dicambuki menggunakan slang dan sapu. Kaki, tangan dan punggungnya ditetesi dengan plastik terbakar. Kuku jempol kakinya dipukul dengan martil, lalu diinjak hingga copot.
Penyiksaan itu berlangsung dari tengah malam sampai subuh. Setelah disiksa, tubuhnya dilempar ke kolam ikan yang ada di depan kerangkeng. Tempo melihat bekas luka penyiksaan itu masih ada di punggungnya. “Sudah seperti neraka betul,” kata dia.
Untuk memastikan keakuratan cerita Joko, Tempo juga mewawancarai tiga korban lainnya. Mereka mengatakan juga mengalami penyiksaan seperti Joko. Luka bekas penyiksaan juga terlihat di sekujur tiga korban tersebut.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan telah menerima lebih dari sepuluh permohonan perlindungan dari korban kerangkeng Bupati Langkat. Dia mengatakan lembaganya akan memproses permohonan tersebut dengan memberikan perlindungan fisik.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan pihak kepolisian harus menuntaskan perkara ini. Dia mengatakan para korban masih merasa terancam karena terduga otak pelaku kekerasan di kerangkeng itu, yakni salah satu pihak keluarga Terbit belum ditahan. “Kalau ditahan, akan ada efek jera dan memberikan rasa aman pada seluruh korban,” kata dia.
ROSSENO AJI | IMAM HAMDI