ANCAMAN yang menghantui dunia perbankan tak kunjung berkurang. Setelah bank babak-belur dihajar krisis moneter, kebijakan uang ketat, dan kini negative spread, palu hakim di pengadilan niaga salah-salah juga bisa menghantamnya. Tidak sedikit bankir yang resah lantaran upaya mereka memburu nasabahnya kandas di pengadilan. Buktinya, dalam perkara jual beli valuta asing, Bank Niaga dan Bank Credit Lyonnais Indonesia dikalahkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dua perkara itu sekarang masih menanti putusan banding.
Tak aneh bila kalangan perbankan belakangan ini ramai menggunjingkan masalah hukum dan transaksi derivatif tersebut. "Putusan pengadilan pada kasus-kasus transaksi derivatif merupakan preseden sangat buruk dan bisa mengakibatkan kebangkrutan bank," kata Hidayat Achyar, kuasa hukum Bank Niaga. Karena dicekam kekhawatiran, delapan bankir serta tiga pengacara mereka mengadukan soal itu, Rabu dua pekan lalu, kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sunarto. Mereka akan menyampaikan keluhan senada kepada Ketua Mahkamah Agung Sarwata.
Reaksi keras itu bisa dimaklumi. Sebab, transaksi derivatif, yang lazim dipraktekkan oleh bank di mancanegara, di sini dianggap sebagai bisnis yang diharamkan, mirip judi yang cenderung menjerumuskan nasabah. Untuk menggambarkan daya jangkau bisnis valuta asing, ahli hukum perbankan Pradjoto membandingkan bisnis serupa di luar negeri yang rata-rata menyumbang separuh dari total pendapatan bank.
Yang lebih membuat berang pihak bank adalah kenyataan bahwa para nasabah tidak hanya mengemplang utang, tapi juga menggugat bank. Setidaknya ada sembilan gugatan semacam itu yang pekan-pekan ini disidangkan, juga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Ini gawat. Sing bener tenger-tenger, sing salah bungah (yang benar tercengang, yang salah senang)," ujar Pradjoto, bertamsil dalam bahasa Jawa.
Sudah tentu pihak bank takut kalau-kalau berbagai kasus tadi bakal berujung seperti vonis perkara transaksi derivatif Bank Niaga melawan PT Suryamas Duta Makmur. Dalam gugatannya, PT Suryamas menyatakan bahwa Bank Niaga akan memberikan mata uang dolar AS sebesar US$ 50 juta pada 20 Juli 1998. Sebagai imbalannya, Suryamas memberikan rupiah sekitar Rp 129 miliar kepada Bank Niaga. Hal itu sesuai dengan perjanjian jual beli valuta asing tertanggal 20 Juli 1997 yang diteken oleh kedua perusahaan yang sama-sama sudah masuk bursa (go public) di Bursa Efek Jakarta itu. Dan waktu itu kurs rupiah hanya Rp 2.596 per dolar AS. Namun, setelah perjanjian itu jatuh tempo, Bank Niaga ingkar janji alias tak kunjung menyerahkan dolar sejumlah 50 juta.
Sebaliknya, Bank Niaga mengaku bahwa perjanjian itu justru menyebutkan Suryamaslah yang harus menyediakan dolar, sementara Bank Niaga memberikan rupiah. Hal itu juga terbukti pada neraca keuangan Suryamas tahun 1997. Tapi, begitu kurs dolar terhadap rupiah semakin menggila, bahkan mencapai Rp 14.200 per US$ pada Juli 1998, sikap Suryamas menjadi bengkok. Perusahaan ini tidak membayar dolar kepada Bank Niaga. Padahal Bank Niaga telanjur menyerahkan dolar sebesar US$ 50 juta kepada Chase Manhattan Bank dan menerima rupiah sebanyak Rp 129 miliar dari Chase Manhattan.
Selain itu, Bank Niaga sudah memberikan fee (premi) sebesar Rp 2,2 miliar kepada Suryamas. Di pengadilan, Suryamas?melalui Pengacara Hotman Paris Hutapea?mempertebal dalil hukumnya. Menurut Hotman, perjanjian kliennya dengan Bank Niaga sebenarnya bukan mengenai transaksi derivatif, melainkan perjanjian fasilitas kredit yang akan disediakan Bank Niaga untuk kepentingan jual beli valuta asing yang dilakukan Suryamas. Berdasarkan surat keputusan direksi Bank Indonesia tanggal 29 Desember 1995, juga surat edaran Bank Indonesia tanggal 8 Februari 1998, fasilitas kredit untuk transaksi derivatif terhitung perjanjian kredit yang dilarang. Ini berarti perjanjian itu tidak sah.
Ternyata, pada Desember lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Suryamas. Majelis hakim yang diketuai J.M.T. Simatupang sependapat dengan dalil penggugat bahwa perjanjian tersebut merupakan perjanjian kredit. Bank Niaga lalu diharuskan memenuhi perjanjian dengan memberikan US$ 50 juta kepada Suryamas.
Serta-merta Bank Niaga menyatakan naik banding, bahkan balik menggugat Suryamas. "Suryamas telah memutarbalikkan fakta dan dalil hukum," ucap Dewi Anwar, assistant vice president di Bank Niaga. Argumentasi serupa diutarakan Hidayat Achyar. "Mereka pura-pura tidak mengerti transaksi derivatif. Ini bukan perjanjian kredit. Kalau ini perjanjian kredit, pasti disebut secara tegas nama perjanjiannya, juga ada jaminan, bunga, berikut dendanya," ujar Hidayat.
Ia tak lupa mengutip surat dari Bank Indonesia tertanggal 19 Februari lalu tentang perkara transaksi derivatif senilai Rp 10 miliar antara Bank Niaga dan PT Dharmala Agrifood. Menurut Bank Indonesia, transaksi valuta asing tersebut tidak termasuk fasilitas kredit yang dilarang oleh otoritas moneter. Pendapat itu pula yang digunakan Mahkamah Agung melalui keputusan peninjauan kembali, pada 6 April lalu, yang akhirnya memailitkan Dharmala. Sebelumnya, dari pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi, Dharmala lolos dari vonis pailit (bangkrut).
Sekalipun begitu, Hotman, yang acap menang dalam perkara kepailitan debitur melawan bank, merasa sangat yakin. "Orang banyak bersuara sumbang tentang vonis perkara Suryamas melawan Bank Niaga. Tapi lihat dulu dokumennya. Di situ memang disebutkan tentang pemberian fasilitas pembiayaan untuk permainan valuta asing," katanya.
Hotman memang selalu menawarkan kejutan. Lihat saja, kendati yakin menang, dalam perkara Suryamas ini, ia menyarankan kepada Bank Niaga agar berdamai saja dengan kliennya. Ada apa? "Tak usah ngotot. Perjanjiannya juga belum pernah dilaksanakan. Bila Bank Niaga mengaku hanya wajib membayar rupiah, rupiahnya belum pernah diterima Suryamas. Soal ikatan kontrak antara Bank Niaga dan Chase Manhattan Bank, itu bukan urusan Suryamas," ujar Hotman.
Yang jelas, dalil hukum yang dipakai dalam perkara Suryamas juga diterapkan Hotman untuk membela perkara transaksi derivatif senilai US$ 50 juta antara kliennya, yaitu PT Jakarta International Hotels & Development, dan Bank Niaga. Begitu pula perkara transaksi derivatif senilai US$ 99 juta antara PT Jakarta International Hotels & Development dan Bankers Trust International di London. Dua perkara itu sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Apakah pengadilan negeri masih akan mengulang vonis perkara transaksi derivatif Suryamas lawan Bank Niaga? Atau para hakim mau menyimak putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan Dharmala?
Di Indonesia, aktivitas transaksi derivatif tergolong baru, tapi perdagangan valuta asing sudah umum dikenal orang. Transaksi derivatif selalu menghadang risiko besar. Karena itu, diperlukan undang-undang khusus yang mengatur transaksi derivatif. Soalnya, menurut Pradjoto dan Hotman, berbagai kasus transaksi derivatif muncul lantaran kurangnya perangkat hukum. Hotman membandingkan, betapa rambu-rambu dan pengawasan untuk melindungi masyarakat dari penyimpangan transaksi derivatif di Amerika sangat ketat. Bahkan bank sentral di sana acap menjatuhkan sanksi berupa denda terhadap bank yang melanggar aturan.
Memang, transaksi derivatif termasuk bidang usaha yang diatur dalam rancangan undang-undang lalu lintas devisa yang sedang dibahas DPR. Selasa pekan lalu, rancangan undang-undang itu disetujui DPR untuk dijadikan undang-undang. Dalam rancangan itu disebutkan bahwa transaksi derivatif harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Bank Indonesia akan mengawasi secara aktif kegiatan tersebut dan bisa menjatuhkan denda bila pelanggaran terjadi.
Namun, pengaturan transaksi derivatif dalam rancangan undang-undang masih sangat umum, hanya mencakup garis-garis besarnya. Jenis transaksi yang dapat dilakukan oleh bank akan ditentukan secara lebih rinci dalam peraturan pelaksanaan yang disusun oleh Bank Indonesia.
Kembali ke perkara Suryamas melawan Bank Niaga, Hotman juga menyebutkan masalah dokumen transaksi yang tak lengkap dimiliki oleh pihak masing-masing. Belum lagi soal isi berbagai dokumen yang menggunakan bahasa Inggris, yang bisa menimbulkan penafsiran berbeda. Selain itu, ada hal yang "enggan" disebut oleh pihak-pihak beperkara, yakni soal etika bisnis, yang seharusnya mengutamakan asas iktikad baik dalam perjanjian dagang. Gara-gara prinsip penting ini tak dipedulikan, kini tergugat dan penggugat saling menuding dan merasa pihaknyalah yang paling dirugikan.
Happy S., Dwi Wiyana, dan Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini