PERKARA pertama korupsi warisan Orde Baru ini putus di tengah jalan, jauh sebelum lika-liku korupsi itu sendiri terungkap secara lengkap. Perkara yang menghadirkan mantan kepala Bulog, Beddu Amang, ini dibatalkan Senin lalu, padahal sidang pengadilan baru berlangsung dua minggu. Itulah keputusan sela yang diambil Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk perkara ruilslag (tukar-menukar) tanah antara Badan Urusan Logistik (Bulog) dan PT Goro Batara Sakti, yang melibatkan uang sebesar Rp 95 miliar.
Majelis hakim yang diketuai Syamsuddin A.B. memupuskan dakwaan Jaksa Soehardjono hanya dengan alasan sepele, yakni karena jaksa tak mencantumkan status Beddu Amang selaku anggota MPR. Pada dakwaan, jaksa cuma menyebutkan jabatan Beddu sebagai Kepala Bulog dan Staf Ahli Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri.
Padahal, menurut hakim, status Beddu selaku anggota MPR menjadi penting. Berbeda dengan pejabat lainnya, prosedur tindakan hukum terhadap anggota MPR harus dengan persetujuan presiden. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 1970 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap Anggota MPR dan DPR.
Selain itu, majelis juga menilai dakwaan jaksa kurang cermat. Misalnya, jaksa menyatakan bahwa terdakwa Beddu Amang secara tanpa hak memberikan uang Bulog sebesar Rp 32,5 miliar kepada Hokiarto untuk membeli tanah seluas 71,2 hektare di Marunda, Jakarta Utara, sebagai pengganti tanah Bulog seluas 50 hektare di Kelapagading. Tapi, jaksa tak menuliskan peraturan yang dilanggar terdakwa.
Dengan putusan sela itu?keputusan sebelum vonis?berarti persidangan perkara Beddu tak bisa dilanjutkan. Sementara itu, perkara dengan terdakwa mantan direktur utama Goro, Ricardo Gelael, bisa diteruskan lantaran eksepsi (keberatan) dari penasihat hukum Ricardo ditolak hakim. Untuk perkara dengan terdakwa mantan komisaris utama Goro, yang putra mantan presiden Soeharto, Tommy Soeharto, putusan selanya akan diketuk pada Senin ini.
Yang pasti, pembatalan perkara Beddu karena alasan yang bersifat formalistis itu amat mengejutkan. Pantas dipertanyakan, mengapa status Beddu sebagai anggota MPR tak dicantumkan oleh kejaksaan? Apalagi, kasus korupsi Bulog itu sudah diusut kejaksaan sejak Oktober 1998. Bahkan, perkembangan perkaranya acap dilaporkan kepada Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Tak aneh bila di balik masalah sepele itu, orang pun meragukan keseriusan kejaksaan untuk menyidik kasus para kroni dan kesungguhan pemerintah untuk memberantas korupsi.
Anehnya, kejaksaan mengaku baru mengetahui status Beddu sebagai anggota MPR setelah perkaranya disidangkan. Itu pun karena penasihat hukum Beddu mempersoalkan lewat eksepsi mereka pada persidangan pertama Beddu, 5 April lalu. "Anggota MPR itu ada seribu. Kami tidak bisa mengetahuinya satu per satu. Sewaktu penyidikan, Beddu juga tidak mengaku bahwa ia anggota MPR," kata Jaksa Soehardjono.
Memang, pada persidangan tanggal 12 April lalu, jaksa menyampaikan surat dari Menteri Sekretaris Negara tertanggal 9 April lalu tentang izin presiden untuk memeriksa Beddu. Namun, surat dengan tembusan kepada presiden itu ditolak hakim. Alasannya, pada putusan sela tadi, yang diperlukan adalah persetujuan tertulis?bukan izin?dari presiden.
Selain itu, kejaksaan menganggap surat dari Menteri Sekretaris Negara sudah tepat. "Ini hanya soal perbedaan penafsiran tentang surat izin presiden antara hakim dan jaksa," ucap Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Antonius Sujata. Lagi pula, surat semacam itu pernah diberlakukan, contohnya pada kasus Sri Bintang Pamungkas, anggota DPR/MPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan yang dituduh menghina Presiden Soeharto. Meski penasihat hukum Sri Bintang mempersoalkan surat tersebut, pengadilan akhirnya mengesampingkan protes itu.
Itu sebabnya, jaksa langsung naik banding atas putusan sela hakim. Namun, tiga hari kemudian, Kamis pekan lalu, kejaksaan berubah sikap. Mereka menyatakan menerima putusan sela itu. "Masalah formalitas itu tak perlu dipersoalkan lagi," ujar Kepala Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung, Suhandoyo.
Dengan begitu, kejaksaan akan meminta kembali izin presiden untuk mengusut Beddu dan mengulang pemeriksaan perkaranya. Adapun sikap Beddu yang dianggap menyembunyikan statusnya sebagai anggota MPR, "Bisa memberatkannya karena mempersulit pemeriksaan," kata Sujata menambahkan. Lantas, kapan perkara Beddu episode kedua itu sampai ke pengadilan? Setelah pemilihan umum pada 7 Juni nanti?
Happy Sulistyadi, Hardy R. Hermawan, dan Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini