Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hukuman kepada prajurit TNI dan personel Polri yang berorientasi LGBT dianggap melanggar hak asasi manusia.
TNI dan Polri menganggap lesbian, gay, biseksual, dan transgender sebagai gangguan kejiwaan.
Komnas HAM mengatakan orientasi seksual dan perilaku seksual itu berbeda.
KARIER Brigadir Jenderal EP kandas setelah sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian RI (Polri) memvonis pria berkacamata itu melanggar kode etik pada 31 Januari 2020. Ia dihukum dengan penurunan jabatan hingga tiga tahun. Ini berarti lulusan Akademi Kepolisian pada 1988 itu tak akan mencapai pangkat yang lebih tinggi hingga pensiun.
Sidang memutuskan EP melanggar Pasal 11 huruf c Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. Pasal itu menyebutkan personel Polri wajib menjaga norma kesusilaan, keagamaan, kearifan lokal, dan hukum.
Ia dianggap bagian dari kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Meski “LGBT” atau “homoseksual” tak tertulis dalam peraturan Kepala Polri, EP tetap dihukum. “EP telah dinyatakan bersalah dalam sidang kode etik profesi,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono pada Rabu, 21 Oktober lalu
Komisi Kode Etik juga mengharuskan EP meminta maaf kepada rekan dan atasannya. Ia juga wajib mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan, dan pengetahuan profesi. “Pembinaan ini selama satu bulan,” ujar Awi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung Mayor Jenderal (Purnawirawan) Burhan Dahlan, 12 Oktober 2020.Youtube.com/ Mahkamah Agung Republik Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EP pernah menjabat wakil kepala kepolisian daerah di Sumatera dengan pangkat brigadir jenderal selama April-Oktober 2018. Ia kembali mendapatkan promosi dengan menjabat kepala biro di kantor Asisten Sumber Daya Manusia Markas Besar Polri. Jabatan ini berwenang mengatur kenaikan pangkat dan pendidikan semua personel kepolisian.
Jabatan terakhir EP adalah widyaiswara madya Sekolah Pimpinan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. EP tak merespons permintaan wawancara Tempo hingga Jumat, 30 Oktober lalu.
Kasus Brigadir Jenderal EP menyeruak setelah rekaman pidato Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung Mayor Jenderal (purnawirawan) Burhan Dahlan tersiar pada Senin, 12 Oktober lalu. Dalam acara "Pembinaan Teknis dan Administrasi Yudisial di Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia" itu, Burhan menyampaikan fenomena meningkatnya perkara LGBT personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) di pengadilan belakangan ini.
Menurut Burhan, ada 20 perkara LGBT yang sudah dan sedang ditangani pengadilan tahun ini. Ia menuding ada kelompok persatuan LGBT TNI-Polri yang dipimpin prajurit berpangkat sersan. Pangkat anggota kelompok ini beragam, dari prajurit dua hingga letnan kolonel. “Ini unik, tapi memang ini sebuah kenyataan,” ucap Burhan dalam rekaman tersebut
Burhan mengatakan menerima keluhan orientasi seksual para prajurit ini dari seorang petinggi Markas Besar TNI Angkatan Darat. Jumlahnya disebutkan meningkat. Komandan Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal Dodik Wijanarko enggan berkomentar soal ini. “Tepatnya silakan wawancara dengan Danpom (Komandan Polisi Militer) TNI, bukan saya,” ujar Dodik.
Dalam rekaman video itu, Burhan mengatakan, ia menyidangkan pertama kali perkara LGBT prajurit TNI pada 2008. Ia tidak menghukum prajurit tersebut. “Saya meminta komandannya mengobati hingga sembuh,” tuturnya.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara, mengatakan LGBT bukan penyakit kejiwaan atau mental. “Karena bukan penyakit kejiwaan, jadi tidak ada obatnya,” ujar Beka.
Di Indonesia, rujukan ilmiah soal LGBT sudah lama ada. Buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Edisi II (PPDGJ) dari Departemen Kesehatan terbitan 1983 dan PPDGJ III edisi 1993 mencantumkan orientasi seksual seperti homoseksual, heteroseksual, dan biseksual bukan gangguan kejiwaan.
Pada 1975, Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat (APA) menyatakan homoseksualitas tidak menyiratkan gangguan dalam penilaian, keandalan, atau kemampuan sosial. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut homoseksualitas dari klasifikasi penyakit internasional pada 1990. WHO kembali menegaskan LGBT bukan gangguan mental pada Mei tahun lalu.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara./ANTARA/Nur Imansyah
Beka Ulung Hapsara mengatakan norma hak asasi manusia tak membolehkan diskriminasi berdasarkan orientasi seksual. Ia menegaskan institusi negara harus harus jeli membedakan orientasi seksual dan perilaku seksual.
Orientasi seksual seperti LGBT melekat pada diri seseorang. Adapun perilaku seksual antara lain adalah pemaksaan untuk melakukan hubungan badan, kekerasan seksual, hingga pencabulan terhadap anak di bawah umur. “Boleh menghukum seseorang karena perilaku seksual,” kata Beka.
• • •
BERBEDA dengan Brigadir Jenderal EP yang “hanya” menerima hukuman demosi dan pembinaan mental, Brigadir TT dipecat karena dianggap berperilaku menyimpang. Kepolisian Daerah Jawa Tengah memecat TT pada 27 Desember 2018 karena melanggar Kode Etik Polri. “Perbedaan hukuman ini menimbulkan pertanyaan besar terhadap birokrasi internal Polri,” ujar kuasa hukum Brigadir TT, Ma’ruf Bajammal.
TT, 31 tahun, tengah berjuang melawan pemecatan. Bekas personel Direktorat Pengamanan Obyek Vital Kepolisian Daerah Jawa Tengah itu sempat menggugat putusan atasannya tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang pada pertengahan tahun lalu. Laporan itu kandas karena hakim menganggap gugatan masih prematur. “Kami sedang mengajukan gugatan kembali,” kata Ma’ruf.
Kepada Tempo, TT pernah mengatakan masih ingin mengabdi karena kecintaannya terhadap Korps Bhayangkara. Ia tak punya catatan melanggar disiplin selama bertugas. Kariernya juga cemerlang karena meraih pangkat brigadir menjelang usia 30 tahun. “Orientasi seksual tidak mempengaruhi profesionalitas,” ujar Ma’ruf. “Ia polisi teladan.”
Ma’ruf menyampaikan pemecatan TT karena orientasi seksual melanggar hak asasi manusia (HAM). Padahal jaminan atas HAM tanpa membedakan orientasi seksual sudah diatur dalam Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Peraturan TNI pun juga tak menyebutkan hukuman terhadap prajurit LGBT. Dalam pidato di acara Mahkamah Agung pada 12 Oktober lalu, Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung Burhan Dahlan secara tidak langsung mengakui bahwa prajurit LGBT tak bisa dihukum pidana. Ia menyampaikan hakim kerap membebaskan prajurit yang dituduh LGBT karena larangan itu tak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan peraturan lain.
Kepada hakim militer yang menghadiri acara itu, ia menyampaikan kiat agar prajurit berorientasi LGBT bisa dihukum. Ia merujuk pada surat Telegram Panglima TNI Nomor 398 Tahun 2009 dan Telegram Kepala Staf TNI Angkatan Darat Nomor 1648 Tahun 2019 tentang kedisiplinan prajurit dan pegawai negeri di lingkungan TNI.
Jenis hukumannya kemudian mengacu pada Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. “KUHP memang tidak mengatur soal LGBT, tapi bagi TNI ini kesalahan besar,” tutur Burhan.
Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, mengatakan lembaganya telah mengadili 16 anggota TNI yang terlibat LGBT di tingkat kasasi. “Semuanya dipecat dan dihukum penjara,” ujar Andi.
Kepala Bidang Penerangan Umum Pusat Penerangan TNI Kolonel Sus Aidil mengatakan institusinya tetap menerapkan sanksi tegas terhadap prajurit TNI yang terbukti melanggar hukum kesusilaan, termasuk LGBT. “Proses hukum diterapkan secara tegas dengan diberikan pidana tambahan pemecatan melalui proses persidangan di pengadilan militer,” ucapnya.
Beka Ulung Hapsara menyoroti sejumlah peraturan yang digunakan untuk memecat personel TNI-Polri dengan orientasi seksual LGBT. Menurut dia, kedua institusi itu harus merinci ihwal norma kesusilaan, perilaku yang sesuai dengan standar, kearifan lokal, dan lainnya sehingga tidak memunculkan salah tafsir. “Ini juga untuk menghindari perbuatan atau hukuman yang sewenang-wenang,” katanya.
Ia mengatakan hukuman ini juga menimpa pegawai negeri di berbagai lembaga pemerintah. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengakui hal ini. Tapi para abdi negara itu tidak dipecat. Mereka menerima teguran dan pembinaan. “Aturannya masih kami godok dengan lembaga lain,” tutur Tjahjo.
Koordinator Umum Pamflet—organisasi pembela hak asasi manusia dan keberagaman—Astried Permata menyatakan pemecatan personel TNI-Polri yang berorientasi seksual berbeda merupakan bentuk pelanggaran HAM, khususnya hak atas pekerjaan. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak pekerjaan untuk semua kalangan tanpa mempedulikan orientasi seksual. Di dunia, pengakuan negara atas kelompok yang identik dengan bendera pelangi itu pun sudah marak.
Ia khawatir hukuman itu akan makin subur di masa depan. “Sudah lama TNI melalui media sosialnya mempropagandakan LGBT sebagai suatu hal yang harus diperangi,” ucap Astried.
LINDA TRIANITA, ANDITA RAHMA, EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo