Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jejak Tentara di Kandang Babi

Tiga tim pencari fakta menemukan sejumlah bukti yang menunjukkan keterlibatan tentara dalam terbunuhnya Yeremia Zanambani. Pendeta di Intan Jaya, Papua, itu diduga disiksa oleh prajurit yang dikenalnya. Ada kompromi untuk tak langsung menyebut dugaan keterlibatan tentara.

31 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Olah TKP yang dipimpin Ketua Tim TGPF Intan Jaya Benny Mamoto, di Hitadipa dan Sugata, Papua, 11 Oktober 2020. polkam.go.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Terjadi perdebatan di TGPF Intan Jaya soal keterlibatan tentara dalam terbunuhnya pendeta Yeremia Zanambani.

  • Diduga ada penembakan pengalihan untuk menyamarkan pelaku penganiayaan Yeremia Zanambani.

  • Tentara sempat menyatakan Yeremia sebagai musuh.

DIGELAR di sebuah hotel di Tanah Abang, Jakarta Pusat, rapat pleno Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya mendadak tegang pada Ahad tengah malam, 18 Oktober lalu. Dua anggota tim yang hadir berdebat ihwal pelaku yang menganiaya pendeta Yeremia Zanambani, yang tewas di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua, pada 19 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua TGPF Benny Mamoto mengakui ada perdebatan dalam rapat itu. Mantan Deputi Pemberantasan Narkotika Badan Narkotika Nasional itu menilai perdebatan dalam membuat evaluasi dan analisis tersebut wajar terjadi. Apalagi 18 anggota tim datang dari berbagai kalangan dan bebas menggali informasi di lapangan. “Yang dirumuskan harus disepakati bersama karena semua anggota tanda tangan,” ujar Benny kepada Tempo pada Kamis, 29 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua orang yang menghadiri forum itu bercerita, seorang petinggi Badan Intelijen Negara berkukuh Yeremia tewas karena diberondong peluru kelompok kriminal bersenjata. Menurut keduanya, anggota TGPF yang berprofesi sebagai ahli hukum menilai dalil itu tak sesuai dengan fakta yang ditemukan tim. Pakar itu menyebutkan vegetasi di sekeliling kandang tak rimbun sehingga memudahkan tentara memergoki musuh yang bersembunyi. Apalagi sedikitnya 16 lubang peluru di dinding kayu kandang babi menukik ke jurang yang persis di samping kandang, bukan mengarah ke bukit yang dicurigai menjadi lokasi persembunyian kelompok bersenjata.

Deputi Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto tak mengetahui soal perdebatan tersebut. Namun dia mengatakan anggota BIN berkontribusi untuk mengungkap data dan fakta berdasarkan temuan di tempat kejadian. “Penyelidikan masih terus berlangsung,” kata Wawan.

Rapat tim pencari fakta berakhir menjelang Senin subuh, 19 Oktober lalu. Mencermati sejumlah bukti dan pengakuan lebih dari 20 saksi, tim menyimpulkan personel Tentara Nasional Indonesia diduga menganiaya pendeta Yeremia. Namun mereka juga menambahkan kemungkinan keterlibatan pihak ketiga apabila ditemukan fakta yang berbeda dengan yang diperoleh tim. Dua anggota TGPF mengatakan klausul “keterlibatan pihak ketiga” merupakan hasil kompromi. Tujuannya adalah menjaga motivasi personel di lapangan. Mayoritas anggota sepakat menambahkan klausul itu asalkan tak mengubah fakta yang telah terkumpul.

Makarim Wibisono, anggota TGPF yang hadir dalam rapat, menyebutkan keterlibatan pihak ketiga dimasukkan untuk menjaga peluang lain terkait dengan penganiayaan Yeremia. Sebab, tak ada satu pun saksi yang melihat langsung peristiwa tersebut. “Kemungkinan ketiga harus dibuka karena pelakunya bisa dari mana saja,” ucap mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa itu.

Dua hari seusai rapat TGPF, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengumumkan bahwa ada dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam terbunuhnya Yeremia. Meski demikian, ada juga kemungkinan pelakunya adalah pihak ketiga. “Pemerintah meminta Polri dan kejaksaan menyelesaikan sesuai dengan hukum tanpa pandang bulu,” kata Mahfud. Adapun Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Achmad Riad enggan berkomentar soal dugaan keterlibatan tentara. “Kami menghormati proses penegakan hukum serta telah mengirim polisi militer untuk masuk ke tim pencari fakta itu,” ujar Achmad.

•••

MENJELANG tengah malam pada 19 September lalu, pendeta Yeremia Zanambani merintih. Tubuhnya terkulai di lantai kayu di dalam kandang babi. Luka menganga di tangan kiri dan tengkuknya. “Miriam, Jerri,” kata Yeremia, lalu mengembuskan napas terakhir. Miriam Zoani adalah istri Yeremia, sementara Jerri adalah nama panggilannya sendiri.

Pada malam sakaratul maut itu, hadir juga dua perempuan, Yohana Bagubau dan Maria Maisini, yang sempat membalurkan balsam ke tubuh Yeremia yang menggigil. Rumah mereka hanya berjarak sekitar 100 meter dari kandang babi. Cerita itu diungkapkan Yohana kepada Bernadus Kobogau, kerabat Yeremia yang menjadi penerjemah bahasa Moni untuk Tim Gabungan Pencari Fakta Intan Jaya ataupun tim investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. “Dua nama itu yang diucapkan terakhir sebelum Bapak Pendeta wafat,” tutur Bernardus.

Sekitar sebelas jam sebelum wafat atau pukul 13.00 waktu setempat, Yeremia dan istrinya sedang memberi makan babi. Mendengar suara rentetan tembakan, mereka bersembunyi di kandang. Setelah kontak senjata mereda, Yeremia meminta istrinya pulang duluan. Dalam perjalanan pulang, Miriam bertemu dengan sedikitnya 17 personel TNI. Grup itu sedang mengamankan jalur evakuasi Prajurit Satu Dwi Akbar yang baru saja tewas tertembak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.

Menko Polhukam Mahfud MD (kedua dari kiri) menerima secara simbolik laporan hasil penyelidikan TGPF Intan Jaya dari Ketua TGPF Benny Mamoto (kiri), 21 Oktober 2020 di Jakarta. TEMPO/Egi Adyatama

Dua orang di TGPF Intan Jaya dan Komnas HAM menyebutkan Miriam mengenali seorang di antaranya, yaitu Alpius. Seorang tentara menanyakan kepada Miriam apakah ada orang di atas. Miriam menyebutkan Yeremia sedang berada di kandang babi. Tim Kemanusiaan untuk Kasus Kekerasan terhadap Tokoh Agama di Kabupaten Intan Jaya, yang juga menyelidiki persoalan itu, menyatakan Alpius kerap menyambangi rumah Yeremia untuk meminta makan, menumpang mandi, atau meminta air untuk kebun yang dikelolanya. “Alpius sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Pendeta dan istrinya,” kata Ketua Tim Kemanusiaan, Haris Azhar, pada Kamis, 29 Oktober lalu.

Johny Simanjuntak, anggota TGPF yang mendapat pengakuan dari Miriam dan Yohana, mengungkapkan tentara lalu mendatangi kandang babi. Melihat kedatangan tentara, Yeremia langsung mengangkat tangan dan berulang-ulang menyatakan sebagai hamba Tuhan. Di sinilah pendeta Yeremia dianiaya. Adapun Tim Kemanusiaan Intan Jaya menyatakan Yeremia ditusuk pada bagian belakang badan dan leher serta lengan kirinya ditembak. Menurut Johny, Miriam dan Yohana bercerita bahwa Yeremia sempat menyatakan yang menyiksanya adalah tentara yang biasa meminta makan dan mengambil air dari sumur di rumahnya.

Tempo menunjukkan foto jenazah Yeremia yang mengenakan celana pendek kepada Ade Firmansyah, dokter ahli forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dalam foto tersebut, tampak tangan kiri Yeremia terkoyak. Ade menilai robekan di lengan seperti yang tampak di potret jenazah tak cocok dengan luka tembak yang lazimnya berbentuk bundar dengan kelim lecet. Dia melihat tepian luka yang cenderung compang-camping. “Saya menduga luka itu disebabkan kekerasan tumpul,” ujar dokter lulusan Universitas Indonesia tersebut.

Dua anggota TGPF menyebutkan timnya juga menemukan sedikitnya 16 lubang peluru di kandang babi milik Yeremia. Namun tak ada satu pun proyektil. Di sinilah kejanggalan itu terlihat. Keduanya menyatakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat sangat jarang mengumbar pelor. Keduanya pun ragu terhadap pengakuan para tentara yang mengaku diserang di sekitar kandang babi, yaitu tidak ada tembakan balasan sama sekali.

Penelusuran tim investigasi Komnas HAM mengungkap fakta yang lebih detail. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam merekonstruksi sudut tembakan di kandang Yeremia. Menarik tali rotan dari sejumlah lubang peluru, Anam menengarai ada tentara yang melepas tembakan pengalihan dari tebing curam di samping kandang. “Jaraknya tak lebih dari sembilan sampai sepuluh meter dari kandang,” katanya. “Peluru akan menabrak bibir tebing bila tembakan dilepas dari dasar jurang.”

Prosesi pemakaman Yeremia juga dinilai tak lazim. Yeremia dimakamkan pada Ahad, 20 September lalu. Menurut pengakuan sejumlah saksi kepada tim Komnas HAM, warga hampir tak pernah mengadakan hajatan seperti pemakaman pada hari Minggu. Selain itu, Yeremia dianggap berhak memperoleh upacara penghormatan yang biasanya digelar beberapa hari mengingat statusnya sebagai pemuka agama di Distrik Hitadipa. Diduga ada tekanan terhadap keluarga supaya jenazah Yeremia segera dimakamkan.

Sebelum peristiwa yang menimpa pendeta Yeremia, sedikitnya terjadi lima baku tembak di Kabupaten Intan Jaya. Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya menemukan gelombang pengerahan aparat keamanan makin masif seusai peristiwa penembakan tiga tukang ojek pada Oktober 2019. Seusai peristiwa kematian Yeremia, diperkirakan lebih dari 100 prajurit bersiaga di Distrik Hitadipa. “Tentara menduduki dan menjadikan sekolah sebagai markas persiapan ketika banyak masyarakat keluar dari kampung itu,” ucap Ketua Tim Kemanusiaan, Haris Azhar.

Tiga tim pencari fakta yang turun secara terpisah sama-sama mendapat pengakuan dari penduduk sekitar tentang aktivitas Yeremia sebelum meninggal. Pada April lalu, dua kerabat Yeremia ditangkap pihak keamanan. Yeremia getol mempertanyakan keberadaan kerabatnya itu kepada tentara. Namun mereka berdalih dua sanak Yeremia sudah dilepas setelah menjalani karantina Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19.

Setelah serangan milisi pendukung Papua merdeka menewaskan Sersan Kepala Sahlan pada 17 September lalu, tentara mengumpulkan warga Distrik Hitadipa dua hari kemudian. Dalam dua kali pertemuan di landasan terbang dan Gereja Kemah Injil Indonesia Hitadipa itu, tentara menegaskan sedang mencari senapan Sersan Kepala Sahlan yang diambil kelompok bersenjata. Pada kesempatan itu, tentara menyebut enam nama. Salah satunya Yeremia, yang dianggap melindungi Organisasi Papua Merdeka.

RAYMUNDUS RIKANG, EGI ADYATAMA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai Redaktur Pelaksana Desk Wawancara dan Investigasi. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus