INILAH kisah hilangnya enam orang penduduk Desa Harjokuncaran. Mula mula, dua orang di antara mereka dipanggil ke kantor polisi untuk didengar sebagai saksi dalam kasus pembunuhan. Empat orang lainnya datang atas kemauan sendiri untuk melaporkan adanya teror oleh orang-orang bertopeng di desa mereka. Tapi sejak berkunjung ke kantor polisi itu, empat bulan lalu, mereka tak diketahui nasibnya. Mereka tidak muncul di desa. Sedangkan menurut pihak Polsek Sumbermanjing, Malang, setelah menghadap pada 14 Juli itu, keenam orang tadi langsung pulang menuju desa mereka. Tapi sampai pekan lalu, baik pihak berwajib maupun keluarga orang-orang yang hllang itu menyatakan tak tahu-menahu di mana mereka berada. "Yang dapat kami lakukan sekarang hanya berdoa, mudah-mudahan mereka tidak dibunuh," ujar istri salah seorang dari mereka yang hilang itu. Mereka yang hilang itu adalah Poniman 52, Jumain, 50, Sutikno, 35, Sukiyat, 30 Matdolah, 40, dan Wagimin, 35. Matdolah dan Wagimin, ketika itu, dipanggil untuk dimintai keterangan sehubungan dengan terbunuhnya Sinem, teman mereka, pada 7 Juli. Empat orang lainnya sebenarnya tahu juga tentang pembunuhan itu. Tapi kedatangan mereka bukan untuk menjadi saksi, melainkan untuk melaporkan adanya ancaman. Sejak terjadi pembunuhan kepada polisi mereka mengaku sering diteror oleh orang-orang bertopeng di tengah malam. "Mereka menggedor-gedor pintu dan menyuruh suami saya keluar. Tapi panggilan mereka tidak kami ladeni," kata Nyonya Sutikno kepada TEMPO pekan lalu. Teror itu diduga dimaksudkan agar para saksi, yang mengetahui terjadinya pembunuhan terhadap Sinem, tutup mulut. Pembunuhan diduga keras dilakukan oleh Wahyudi, 27, yang tak lain anak kandung Jumain - yang kini turut hilang. Pada siang hari 7 Juli, Wahyudi yang dikenal dekat denan kepala desa Hariokuncaran. Asman Mulyono, kabarnya datang membawa badik dan mengganggu orang-orang yang sedang panen padi di desa itu. Ia lalu terlibat perkelahian melawan Sinem, yang berakibat kematian pihak terakhir ini. Kasus pembunuhan itu 7 November lalu mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Malang, dengan Wahyudi sebagai terdakwa. Sidang tampaknya bisa tersendat-sendat karena saksi utama, Matdolah dan Wagimin, yang lansung melihat pembunuhan, kini tak diketahui berada di mana. Belum jelas latar belakang tindakan Wahyudi. Diduga karena ia sakit hati terhadap Jumain, yang telah menceraikan ibunya, istri kedua Jumam, yang siang itu memang juga berada dekat tempat kejadian. Dugaan yang lebih kuat, dia sebenarnya hanya orang suruhan untuk mengganggu penduduk. Soalnya, areal yang sedang dipanen masih dianggap tanah sengketa oleh beberapa pihak. Sementara itu, 415 kepala keluarga di desa itu merasa bahwa tanah sekitar 26 hektar sudah menjadi hak mereka, sesuai dengan janji bupati Malang. Sengketa tanah bekas perkebunan Belanda itu sudah berlangsung lama. Pada 1976, penduduk yang sudah secara turun-temurun menggarap tanah menuntut diberi kepastian hak. Jawaban dari kantor agraria belum diperoleh, tapi tahu-tahu pada 1979 muncul PT Telogorejo Baru yang kemudian mendapat hak mengusahakan perkebunan itu. Dalam menuntut hak atas tanah, Poniman dan lima kawannya yang kini hilang itu dikenal amat gigih. Antara lain, mereka pernah mengadu ke Pangkopkamtib. Dan akhirnya, atas bantuan Pengacara Nyonya Weis Elly, pada 1982 bupati Malang setuju memberikan 101,25 hektar bagi 415 kepala keluarga, dan 55,50 untuk tanah bengkok - tanah desa yang boleh dikelola kepala desa dan pamongnya. Karena itu, penduduk Harjokuncaran banyak yang menduga, hilangnya enam orang dan terbunuhnya Sinem ada hubungan dengan perjuangan mereka dalam soal tanah tadi. Tapi untuk tahap pertama, penduduk baru mendapatkan sekitar 26 hektar yang sudah mulai digarap. Tapi Kepala Desa kabarnya jengkel karena menurut dia tanah seluas 26 hektar yang dibagikan kepada penduduk itu sebenarnya bagian dari tanah bengkok. Sedangkan PT Telogorejo Baru, yang mestinya menyerahkan 75 hektar, sampai kini belum melaksanakannya. Asman Mulyono tak banyak berkomentar tentang kasus tanah itu. Ia seperti tak peduli terhadap hilangnya enam warga desanya itu. "Biar saja hilang, toh selama ini kalau ke luar desa mereka tak pernah berembuk dengan kepala desanya. Pokoknya desa tidak rugi, sebab mereka itu tak pernah membantu kegiatan desa," katanya ketika ditemui TEMPO pekan lalu. Pihak Polsek Sumbermanjing Wetan sendiri, ketika ditanya apakah sudah dilakukan pencarian terhadap penduduk yang hilang itu, tak bersedia memberikan jawaban. Dan itulah yang.memasygulkan Nyonya Weis. "Sekarang ini, siapa yang akan memberi makan keluarga mereka?" kata pembela dari Badan Pembelaan dan Konsultasi Hukum (BPKH) MKGR/Golkar Jawa Timur itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini