Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jepang mulai turun

Investasi Jepang di Indonesia melorot terus. Perluasan ke sektor lain belum ada prospek yang menarik Kisaburo Ikeura, Chairman Ibj, datang ke Indonesia hanya untuk membuka leasing.(eb)

17 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENANAMAN modal Jepang sedang merosot di sini. Permohonan investasi baru mereka ke BKPM, sampai September, tercatat hanya US$ 17,6 juta. Karena itu, cukup menarik ketika, pekan lalu, Kisaburo Ikeura, chairman Industrial Bank of Japan (IBJ), diam-diam terbang ke Jakarta. Orang pertama di lembaga keuangan No. 6 dalam urutan kekayaan di Jepang itu datang ditemam seperangkat manajer puncaknya. Mau tanam modal besar? Bank dengan kekayaan per Maret US$ 84 milyar itu, ternyata, hanya mau membuka usaha patungan di bidang leasimg, yang memerlukan modal disetor Rp 10 milyar saja. Rekan usahanya di bidang pembiayaan barang-barang modal itu adalah Bank Bumi Daya. Sebagai pemegang saham mayoritas (52%), IBJ sudah menyetor Rp 5 milyar. "Kami memilih leasing karena punya prospek cukup bagus di Indonesia," tutur Ikeura. Pandangan bankir dari IBJ itu, yang tahun ini dinobatkan sebagai banker of the year di Jepang, benar adanya. Sektor industri jasa di bidang keuangan tadi, hanya dalam temDo relatif singkat, sudah dimasuki 41 perusahaan - baik swasta lokal, negara, maupun patungan. Sejumlah 40 perusahaan lagi dikabarkan sedang antre untuk dapat permohonan baru di BKPM. Sedang sektor industri jasa lain, apalagi di sektor industri manufakturing dan perakitan, minat penanaman modalnya ternyata tidak seramai yang dihadapi leasing. Para investor Jepang kini seperti berusaha menahan diri. Nafsu mereka menanamkan modal tidak seperti pada periode 1967-1975, ketika puluhan perusahaan dari Negeri Matahari Terbit itu berbondong ke sini untuk menjemput sebuah harapan. Sektor industri tekstil, produk logam, dan logam dasar paling banyak mereka masuki. Puncaknya terjadi pada 1975, ketika investasi mereka mencapai US$ 937 juta. Cukup besar, tentu, jika dibandingkan seluruh PMA waktu itu yang berjumlah US$ 1.032 juta. Tapi, pada lima tahun berikutnya, investasi Jepang melorot dengan tajam - sepert mobil yang remnya blong. Kata Toshiak Endo, direktur Organisasi Kerja Sama Perdagangan Luar Negeri Jepang (Jetro), dalam kurun waktu itu hampir bisa dibilang tak ada satu pun investor yang berani membuka usaha baru. Kalaupun ada investasi, sifatnya hanya merupakan ekspansi dari kapasitas yang sudah ada. "Mereka kini merasa sudah jenuh," ujar Endo. "Untuk memperluas usaha ke sektor lain, prospek bisnis masih kurang menarik." Bahkan sektor industri tekstil, yang pada 1970-an tumbuh dengan pesat, mendadak saja seperti menemui jalan buntu. Sampai Maret tahun lalu, lebih dari US$ 468 juta investasi Jepang masuk ke sektor ini. Tapi sektor ini mendadak bagai terserang encok, ketika usaha ekspor mereka pada 1982 -1983 anjlok tercekik resesi. Penimbunan barang jadi dan setengah jadi muncul dengan hebatnya ketika itu. Penyuplai benang polyester untuk industri tekstil, seperti PT Teijin Indonesia Fiber Corp. (Tifico), ikut merasakan akibat loyonya sektor ini. Penjualan penghasil benang polyester ini, tahun lalu, hanya berjumlah hampir Rp 60 milyar. Turun jauh dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai hampir Rp 70 milyar. Keadaan itu makin berat sesudah para penghasil bahan baku industri tekstil seperti itu di luar negeri mulai melempar stok barangnya dengan harga bantingan. Secara singkat bisa dikatakan, tahun itu adalah tahun sulit bagi industri tekstil melakukan ekspansi usaha. "Tidak ada lagi ruang gerak yang bisa dimasuki di sektor ini," ujar Tadashi Kurosawa, direktur Tifico. Kenyataan itu rupanya cukup dipahami sebagian besar pengusaha Jepang. Karena itu, dalam dua tahun terakhir ini, mereka tampak berusaha menahan diri. Keraguan mulai muncul, ketlka pemerintah tahun ini akan memberlakukan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, yang belakangan ditunda pelaksanaannya hingga paling lambat 1 Januari 1986. Nafsu menambah kapasitas terpasang pabrik pun, akhirnya, banyak yang urung mereka lakukan, ketika tampak tanda-tanda pada semester pertama tahun anggaran 1984-1985 ini pemermtah kelihatan mengerem ekspansi moneter. Dalam keadaan terpojok seperti itu, 210 perusahaan Jepang, tentu saja, lebih suka mengusahakan agar output dari kapasitas terpasang pabrik mereka bisa berjalan secara maksimak "Jadi, yang penting bukanlah menambah investasi baru," ujar Endo dari Jetro. Ketua BKPM Suhartoyo tampaknya setuju dengan pandangan itu. "Di saat pasar sedang jelek seperti sekarang, bukan saatnya untuk melakukan ekspansi - terlalu riskan," katanya. Di pihak lain, Suhartoyo melihat sektor industri manufakturing, yang banyak dimasuki investor Jepang, kini makin sempit. Apalagi para pengusaha lokal, yang sudah memiliki cukup modal, juga mulai terjun ke sektor itu. Untuk memasuki sektor perkebunan, pertambangan, dan sumber daya alam, para penanam modal Jepang itu, katanya, juga belum siap benar. Sebaliknya di AS. Investasi Jepang ke negeri dolar itu memasuki segala sektor industri dengan derasnya dalam dua tahun terakhir ini. Proteksi yang dijalankan AS malah mendorong mereka melakukan usaha patungan dengan para pengusaha lokal. Sampai kuartal kedua tahun ini seluruh investasi Jepang ke sana sudah mencapai US$ 25 milyar lebih. Jumlah ini, tentu, cukup memadai untuk menambal defisi neraca perdagangan AS dengan Jepang, yang mencapai US$ 29 milyar pada periode yang sama. Menurut Menteri Keuangan Radius Prawiro, cepatnya pemulihan ekonomi AS merupakan daya tarik kuat bagi PMA dari Negeri Sakura itu. Pada akhirnya, memang, masuknya modal asing secara besar-besaran itu akan memperkuat neraca pembayaran AS. Sebaliknya dengan neraca pembayaran Indonesia 1984-1985 - karena pemasukan modal jauh dari perkiraan. "Pada momentum sekarang neraca pembayaran kita memang lemah," ujar Menteri Radius. "Tapi pada semester kedua ini, pemasukan modal akan didorong lagi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus