THOMAS J. Peters, pengarang In Search of Excellence yang laris itu, suatu hari berceramah di Hawlett-Packard Co., salah satu dari 43 perusahaan AS yang dinilai "unggul" (excellent) dalam bukunya. Komentar seorang manajer perusahaan itu sehabis ceramah, "Apa yang harus kami lakukan adalah mengundang Anda berceramah setiap tiga bulan. Dengan demikian, kami bisa mengingat-ingat masa sebelumnya, sewaktu kami masih jaya." Perusahaan komputer Nomor 3 terbesar, setelah IBM dan Digital Equipment Corp., sampai sekarang memang masih meraih penghasilan yang besar. Tapi tak lagi bisa dimasukkan kategori "unggul", menurut batasan yang diberikan buku tersebut, setelah pasaran komputer mikro dan komputer supermininya terpukul. Selama enam bulan terakhir, tak kurang dari 12 manajernya yang jempolan telah meninggalkan perusahaan yang sangat inovatif itu. Hawlett-Packard bukan satu-satunya "perusahaan unggul" yang tak lagi kelihatan unggul itu, seperti ditulis majalah International Business Week, dalam laporan utamanya pekan lalu. Suatu survei oleh majalah ini, bersama dua perusahaan konsultan terkenal, menunjukkan bahwa paling sedikit ada 14 dari 43 perusahaan yang tergolong "unggul", seperti dimuat dalam buku Peters dan Robert H. Waterman Jr., telah kehilangan pamornya. Beberapa di antara perusahaan itu yang dikenal di Indonesia: Atari, Avon Products, Carterpiliar Tractor, Eastman Kodak, Fluor, Levi Strauss, dan Revlon. Terbentur kesulitan bisnis dan manajemen, sebagian besar dari 14 perusahaan tadi, sejak beberapa waktu lalu, terpukul penghasilannya. Perusahaan Johnson & Johnson, yang masih termasuk unggul, diberitakan juga mulai menderita kesulitan, setelah gagal memasarkan alat-alat medis mutakhir yang amat modern. Berbagai kritik pun mulai dilontarkan ke alamat buku yang di Amerika habis terjual 2,8 juta buah, dan beberapa ratus ribu lagi di luar AS. Peter F. Drucker, pengarang bukubuku manajemen yang terkenal itu, menuding karya Peters dan Waterman Jr. sebagai "bukunya anak-anak muda". Ia menilai, buku itu tak lebih sebagai reaksi terhadap suasana resesi yang mencekam AS waktu itu, "Ketika sebagian besar kaum manajer di Amerika percaya bahwa keadaan yang semakin musykil itu membuat mereka semakin sulit untuk berbuat sesuatu." Buku itu sendiri sebenarnya merupakan suatu studi kasus, yang menilai bahwa para manajer AS sudah banyak yang kehilangan pegangan, dan selalu menoleh ke Jepang yang serba efisien. Misi utama buku itu adalah untuk membuka mata kaum manajer di AS bahwa mereka sebenarnya bisa berhasil asal saja menaruh perhatian lebih banyak terhadap konsumen dan pegawainya, dan tetap bertahan pada keahlian serta nilai-nilai yang paling mereka ketahui. Dan ketika semua mata tertuju pada Jepang, buku itu menunjukkan ada banyak model manajemen yang tersedia dan berguna untuk perusahaan di negeri sendiri. Peters mengakui, tak ada jaminan pasti bahwa perusahaan yang sudah besar dan maju itu akan selalu semakin maju. Dan, menurut Waterman, kebesaran itu sendiri sebenarnya mengandung benih yang bisa menghancurkan perusahaan. Sejumlah perusahaan yang unggul itu, seperti kata kedua pengarangnya, merupakan perusahaan besar yang "berkurang kecepatannya". Apakah kecepatan peredaran Excellence juga akan berkurang banyak, mari kita tunggu. Waterman sendiri kelihatannya menyesalkan bahwa bukunya telah disimak sebagai formula yang manjur oleh berbagai perusahaan. "Kami menulis tentang seni, bukan ilmu manajemen," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini