Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat itu digelar mendadak Senin pagi pekan lalu di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Memimpin rapat sejak awal sampai akhir, Menteri Rudiantara serius menyimak detail penjelasan tim hukum Kementerian soal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang diketuk Kamis pekan sebelumnya. "Semua rencana bubar karena putusan PTUN itu keluar," kata Kepala Subdirektorat Pengembangan Infrastruktur Kementerian Komunikasi dan Informatika Anang Latif, yang menghadiri rapat itu, kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Pengadilan Tata Usaha membatalkan 33 keputusan Menteri Komunikasi soal penetapan Lembaga Multiplexing (MUX) di 11 provinsi. Putusan itu, menurut Anang, membuyarkan rencana Kementerian Komunikasi menggelar grand launching peralihan televisi analog ke televisi digital pertengahan tahun ini. Kementerian juga belum menemukan jalan keluar agar putusan itu tak mengganjal rencana migrasi penuh televisi analog ke televisi digital (analog switch-off), yang direncanakan selesai pada akhir 2018.
Lembaga Multiplexing adalah lembaga yang menguasai frekuensi televisi digital. Tiap MUX memegang 12 kanal penyiaran. Setiap stasiun televisi digital yang hendak bersiaran harus menyewa kanal dari penyelenggara MUX.
Dalam putusannya, ketua majelis hakim PTUN Husban menyatakan 33 keputusan menteri tersebut batal demi hukum. Alasannya, keputusan itu dibuat berlandaskan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2011 yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung pada Juli 2013. "Menyatakan batal segala peraturan menteri dan keputusan-keputusannya," ujar Husban, yang didampingi hakim anggota Febru Wartati dan Elizabeth Tobing.
Majelis hakim juga mengabulkan permohonan pembekuan izin MUX hingga perkara ini memiliki putusan yang tetap dan mengikat. Artinya, "Semua televisi digital yang ada harus berhenti siaran semenjak putusan ini dibuat," kata Andi F. Simangunsong, kuasa hukum Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI), yang menggugat keputusan Menteri Komunikasi tersebut.
Meski sudah menggelar rapat khusus, Kementerian Komunikasi belum mengambil sikap final. Sejauh ini, menurut Anang, ada dua opsi yang dipertimbangkan Kementerian. Opsi pertama, mengajukan permohonan banding atas putusan PTUN itu. Opsi berikutnya, menunggu hingga revisi Undang-Undang Penyiaran selesai dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. "Revisi masuk prioritas Program Legislasi Nasional. Bila selesai, itu akan jadi payung hukum baru pengaturan televisi digital," ujar Anang.
SEJAK 2010, Kementerian Komunikasi dan Informatika getol menyuarakan pentingnya migrasi dari sistem televisi analog ke sistem televisi digital. Alasannya, antara lain, untuk menghemat penggunaan frekuensi gelombang radio. Selama ini siaran televisi analog menggunakan frekuensi 480-860 Mhz. Dengan sistem digital, siaran televisi hanya akan menggunakan frekuensi 480-697 Mhz. Sedangkan frekuensi 698-860 MHz, yang dikenal sebagai "frekuensi emas", menurut rencana Kementerian Komunikasi, akan dimanfaatkan untuk memperluas saluran telekomunikasi, seperti jaringan 4G.
Bukan hanya itu, digitalisasi juga dapat membuat satu frekuensi bisa menayangkan 9-12 siaran televisi. Sedangkan dalam sistem analog, satu frekuensi hanya bisa menayangkan satu siaran televisi. Walhasil, digitalisasi tak hanya meningkatkan kualitas gambar dan suara yang diterima pemirsa. Lebih penting dari itu, menurut Ketua Umum Lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media Amir Effendi Siregar, digitalisasi bertujuan membuat keberagaman isi siaran dan memecah konsentrasi kepemilikan media.
Untuk mengatur rencana migrasi itu, Menteri Komunikasi Tifatul Sembiring mengeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi Nomor 22 Tahun 2011. Ternyata peraturan itu tak hanya mengurus teknologi penyiaran, tapi juga mengubah pola pengelolaan frekuensi dari sebelumnya dikuasai negara menjadi dikuasai swasta.
Dalam peraturan itu, Kementerian Komunikasi membagi lembaga penyiaran menjadi dua: Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multiplexing (LP3M), yang biasa disebut MUX, dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LP3S).
Ide awalnya, Lembaga MUX hanya memegang hak atas frekuensi, sementara LP3S menjadi penyedia konten siaran. Setiap stasiun televisi yang akan bersiaran di suatu wilayah harus menyewa kanal dari MUX yang beroperasi di wilayah tersebut. Masalahnya, dalam Peraturan Menteri Komunikasi Nomor 22 Tahun 2011, penyelenggara MUX tak hanya diberi ruang sebagai pemegang hak atas frekuensi, tapi juga bisa berstatus ganda sebagai penyedia konten siaran. Sedangkan lembaga penyedia konten siaran belum tentu bisa menjadi pemegang hak atas frekuensi.
Model penguasaan frekuensi oleh MUX yang berkelamin ganda itu kemudian digugat ATVJI ke Mahkamah Agung. Ketua Umum ATVJI Bambang Santoso mengatakan model pengelolaan seperti itu tak sesuai dengan asas penyiaran yang demokratis. Semestinya pengelola frekuensi harus diserahkan kepada lembaga yang independen dan bebas kepentingan dalam dunia penyiaran. "Bagaimana bisa independen kalau penyelenggara MUX itu juga ikut bersiaran?" ucap Bambang.
Menurut Bambang, pola pengelolaan frekuensi seperti itu juga melanggar Pasal 32 Undang-Undang Penyiaran dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Soalnya, pemberlakuan pengaturan seperti itu bisa membuat lembaga penyiaran lokal yang sudah mengantongi izin gulung tikar.
Di samping itu, merujuk pada Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ATVJI menilai lembaga seperti MUX tak bisa dibentuk melalui peraturan menteri. Lembaga penguasaan frekuensi digital semestinya diatur dalam undang-undang.
Pada 13 April 2013, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan ATVJI, yang menaungi sekitar 170 stasiun televisi lokal berjaringan. Majelis yang diketuai Imam Soebechi mengiyakan semua dalil penggugat dan membatalkan Peraturan Menteri Komunikasi Nomor 22 Tahun 2011.
Meski Peraturan Menteri Komunikasi sedang digugat, pada 27 September 2012, Tifatul tetap menandatangani 23 keputusan tentang penetapan MUX di tujuh provinsi. Mereka adalah Grup Trans Corp (Trans TV dan Trans 7), Grup Elang Mahkota (SCTV dan Indosiar), Grup MNC (RCTI dan Global TV), Grup Bakrie (TV One dan ANTV), Grup Media (Metro TV), Grup Rajawali (RTV, dulu bernama B Channel), serta Grup Lippo (BSTV, salah satunya BeritaSatu). Dari sejumlah pemenang ini, hanya Banten Sinar Televisi satu-satunya stasiun televisi lokal yang mendapatkan hak pengelolaan frekuensi (lihat tabel).
Tak menggubris putusan Mahkamah Agung, Menteri Tifatul kembali menandatangani sepuluh keputusan tentang penetapan MUX di empat provinsi pada 14 Mei 2013. Yang dipilih Tifatul lagi-lagi kelompok bisnis media lama yang bermodal besar.
Tak hanya itu, Tifatul menerbitkan kembali Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2013 sebagai pengganti peraturan menteri yang dibatalkan Mahkamah Agung. Menurut Amir Effendi, meski nomor dan tahunnya berbeda, isi peraturan menteri yang baru nyaris sama persis dengan peraturan yang telah dibatalkan. "Ibaratnya, aturan itu hanya berganti baju. Itu akal-akalan Kementerian saja," ujar Amir.
Belakangan, kekhawatiran Amir dan kawan-kawan juga terbukti. Perusahaan MUX pelit berbagi kanal kepada stasiun televisi di luar kelompok bisnis mereka. Padahal, menurut peraturan, MUX wajib membagi kanal kepada lembaga penyiaran lain, seperti stasiun televisi lokal.
Faktanya, para taipan media selalu mencari cara agar bisnisnya tak terganggu. Modusnya, di samping tak mau berbagi kanal, MUX mematok harga sewa yang gila-gilaan, termasuk kepada stasiun televisi lokal bermodal pas-pasan. "Televisi nasional tak mau membagi kue iklan ke televisi lokal." Jadi, kata Bambang Santoso, "Pemegang MUX tak mungkin mau membagi kanal kepada kami."
Sebelum menggugat ke pengadilan, ATVJI mengirim somasi (teguran) bersama Asosiasi Televisi Lokal Indonesia kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun somasi itu dianggap sepi. "Kominfo malah menantang silakan gugat lagi ke pengadilan," ujar Bambang. Menjawab tantangan itu, pada Juni 2014, ATVJI melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Kendati gugatan telah masuk ke PTUN, di akhir masa jabatannya, Menteri Tifatul kembali mengumumkan lagi pemenang tambahan penyelenggara MUX untuk Jakarta dan sekitarnya, dari semula hanya lima pemegang izin menjadi tujuh pemegang izin. Dua penyelenggara baru multiplexing itu adalah RTV (milik Grup Rajawali) dan RCTI (Grup MNC).
Tifatul tak dapat dimintai tanggapan soal putusan PTUN yang membatalkan 33 keputusan yang dia teken. Panggilan telepon dan pesan pendek yang Tempo kirimkan Sabtu pagi pekan lalu tak berbalas. Ketika Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Menteri Komunikasi Nomor 22, Tifatul berkukuh bahwa program digitalisasi yang dimulai sejak 2010 tak melanggar hukum. Karena itu, program digitalisasi akan tetap berjalan. "Kami tak akan membatalkan beauty contest untuk televisi digital," ujarnya saat itu.
BERBEDA dengan era Tifatul Sembiring, Menteri Komunikasi dan Informatika baru tak menganggap remeh putusan PTUN. Dalam rapat Senin pekan lalu, Menteri Rudiantara membuka diskusi soal kemungkinan mengubah model pengelolaan frekuensi. Di samping model lama, ada dua opsi baru pengelolaan frekuensi yang dibahas: pengelolaan oleh negara atau oleh konsorsium.
Dalam opsi pertama, negara akan menjadi satu-satunya badan yang memegang frekuensi. Setiap lembaga penyiaran harus mengajukan izin penggunaan kanal kepada negara. Konsekuensinya, menurut Anang Latif, pemerintah harus menyiapkan dana besar untuk membangun infrastruktur pemancar digital di daerah. Pemerintah juga bisa memakai dana itu untuk mengambil alih infrastruktur yang telanjur dibangun Lembaga MUX. Nilai investasi mereka, kata dia, sekitar Rp 1,5 triliun. "Ini menjadi satu model yang kami pertimbangkan."
Opsi berikutnya, pengelolaan frekuensi diserahkan kepada konsorsium di setiap wilayah. Konsorsium itu dibentuk oleh perusahaan televisi yang bersiaran di suatu daerah. Di samping berbagi beban membangun infrastruktur, mereka bisa berbagi kanal secara mandiri.
Menurut Anang, kedua opsi segera dibicarakan dengan para pemangku kepentingan. Dengan begitu, rencana analog switch-off yang sudah dicanangkan diharapkan berjalan sesuai dengan rencana. Jika tidak, rencana penghematan frekuensi untuk memperluas pita jaringan telekomunikasi bisa terhambat. Tanpa perluasan pita jaringan, dengan pertumbuhan lalu lintas data sekitar 60 persen per tahun, Indonesia terancam mengalami kemacetan jalur telekomunikasi pada 2020.
Ketua Umum Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Gilang Iskandar menyambut baik dua opsi baru yang dipertimbangkan Kementerian Komunikasi. Dia mengklaim kedua opsi itu sesuai dengan usul ATSDI kepada Kementerian Komunikasi pada Februari lalu. "Industri televisi harus didorong menjadi lebih sehat, bukan sebaliknya," ujar Gilang.
Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo