Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebiasaan Presiden Soeharto pada 1970-an adalah melakukan inspeksi mendadak ke daerah, terutama memantau langsung wilayah pertanian untuk memastikan kesuksesan swasembada beras. Tak sedikit kepala daerah yang terkaget-kaget menerima kunjungan tersebut lantaran tak ada info sebelumnya.
Tak mau kecolongan seperti pejabat lain, Solihin Gautama Poerwanagara punya trik jitu, yakni mencari info dari rekannya di Bina Graha. Dari mereka itulah ia tahu kapan Presiden akan masuk ke wilayahnya. Informasi yang diterima cukup lengkap, seperti jenis mobil yang dipakai dan jalur yang dilewati.
Ketika info sudah didapat, Solihin meluncur ke perbatasan provinsi dan mencegat rombongan Presiden di sana. "Lho, kok tahu?" kata Presiden terheran. Solihin menimpali, "Ya, Pak. Masak, yang beginian saya tidak tahu? Keterlaluan. Saya itu panglima perang, Pak." Presiden pun tertawa. "Ya, sudah, ikut saya." Itu secuil dialog yang termaktub dalam buku The Trouble Shooter: 80 Tahun Solihin G.P. Pencegatan seperti itu dilakukannya berulang kali.
SAYA tidak kenal beliau sebelumnya. Soeharto tergabung dalam Divisi Diponegoro, sedangkan saya di Divisi Siliwangi. Beliau senior dan kami sama-sama pejuang. Jadi, walaupun tidak kenal, loyalitas saya sangat positif. Apalagi ini dalam kaitan dengan tugas membangun negara.
Soeharto pernah mengatakan agar konsentrasi pemimpin diarahkan pada pembangunan desa. Alasannya, rakyat desalah yang menyelamatkan para pejuang pada zaman revolusi fisik. Soeharto menyatakan pemimpin dan pejuang banyak berutang budi kepada penduduk desa.
Setelah tak lagi menjadi Gubernur Jawa Barat, saya sebenarnya memilih pensiun dan beristirahat sambil mencoba bertani dan beternak di Desa Cihurip di kaki Gunung Cikurai. Kebetulan, saya juga punya lahan di Jampang, Sukabumi.
Pensiun sebenarnya sudah saya niatkan ketika menjadi Gubernur Akabri di Magelang. Tapi, karena Presiden meminta saya jadi Gubernur Jawa Barat kala itu, ya, saya terima.
Dua tahun setelah saya tak lagi menjadi Gubernur Jawa Barat, Soeharto memanggil saya ke Jakarta. Beliau menunjuk saya menjadi Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang). Instruksinya jelas: saya ditugasi memastikan kebijakan Presiden terwujud di lapangan.
Setelah saya dilantik pada Agustus 1977, prioritas kerja yang saya lakukan adalah mempersiapkan Bina Graha untuk memudahkan pelaksanaan kepemimpinan Presiden Soeharto. Berikutnya melaksanakan pembangunan yang menyangkut masyarakat banyak.
DI Bina Graha, Solihin diberi kewenangan menegur dan mengoreksi kebijakan para menteri yang melanggar atau yang kerjanya tidak sesuai dengan aturan. Contohnya ketika Menteri Dalam Negeri mengizinkan pengusaha membangun lapangan golf dan perumahan mewah. "Itu jelas-jelas melanggar Keputusan Presiden tentang Pembangunan Daerah Puncak," katanya. Kerja kesehariannya itu selalu dilaporkan kepada Presiden Soeharto, pada pagi dan sore hari. Selama di Bina Graha, Solihin juga terlibat dalam berbagai operasi khusus.
ADA satu kenangan yang masih saya ingat bersama Soeharto ketika berada di Rangkas Bitung. Saya ajak beliau ke Desa Cisimeut, di daerah pedalaman yang berbatasan dengan Baduy. Saking terpencilnya, saya bilang tempat ini belum pernah diinjak penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Orang Banten bilang, belum ke sana kalau belum mengunjungi Cisimeut.
Ketika beliau menanyakan kondisi jalan, saya bilang ada sungai yang tidak ada jembatannya, tapi bisa dilewati jip. Rombongan kami berangkat naik Land Rover. Sesampai di lokasi, saya meminta kepala desa, namanya Jaro Haris, menyiapkan rumahnya di pinggir sungai sebagai tempat menginap Soeharto.
Warga di sana cukup antusias menyambut kedatangan Presiden. Mereka menggotong tempat tidur dan kasur untuk Soeharto. Saya lalu minta Jaro Haris memanggil orang Baduy untuk dipertemukan dengan Soeharto, agar tahu keinginan mereka: apakah mau dimodernkan atau tetap dilestarikan apa adanya.
Malam itu, Soeharto berdiskusi dengan orang Baduy dan warga setempat sambil duduk lesehan. Pembawaan Soeharto yang tenang, bersahaja, berbicara langsung ke intinya, serta bisa makan dan tidur di mana saja membuat saya terkesan. Saya bangga dan senang punya pemimpin yang merakyat seperti dia. Saya sampai menyebut Soeharto sebagai presiden terbaik di dunia.
Itulah Soeharto. Menurut saya, beliau satu-satunya presiden yang pada awal pemerintahannya bersikap terbuka dan tidak berkeberatan dengan segala sesuatu yang mendadak. Sikapnya, terutama kepemimpinan di lapangan, bagus sekali. Itu mungkin yang membuat swasembada beras bisa tercapai.
PADA saat ekonomi Indonesia masih merangkak untuk maju, terjadi perang di Timur Tengah, yaitu Perang Suez. Perang tersebut mendorong harga minyak dunia melonjak naik. Pada saat itu, produksi minyak Indonesia sedang tinggi-tingginya, sehingga negeri ini surplus minyak.
Dampak langsung yang terasa adalah investasi luar negeri terus membaik. "Negara kita saat itu menjadi negara yang banyak uang," katanya. Lalu, ketika keuangan negara berlimpah, Soeharto mulai berpikir segalanya bisa dicapai dengan uang. "Saya bilang itu tidak benar."
WAKTU itu, 1980-an, ketika saya akan memberi laporan rutin pagi hari, masuk seorang pengusaha ke ruang kerja beliau. Dalam pertemuan itu, Soeharto bilang, "Kita perlu gunung-gunung yang harus ditebas untuk menimbun rawa-rawa dan lembah untuk mempercepat pembangunan."
Saya saat itu tak mengerti apa yang beliau maksud. Lalu saya menimpali, "Pak, gunung mana yang bisa ditebang itu?" Lantas beliau menjawab, "Itu urusan saya." Saya pun tersadar itu hanyalah kiasan. Ternyata Soeharto sedang menyampaikan gagasan dasar tentang konglomerasi.
Soeharto menambahkan, "Supaya lebih mudah pemerataannya." Saya pun membalas, "Menurut Pancasila, kita harus maju dalam kebersamaan." Soeharto menjawab singkat, "Oh, itu lamban." Sejak itulah saya mencoba membuat batas garis terhadap beliau. Apalagi putra-putrinya dijadikan "gunung-gunung" juga. Kata beliau, itu supaya mudah dikendalikan.
Saya menilai Soeharto sudah membentuk kekuasaan dan membangun benteng untuk pertahanan posisinya. Ini sangat bertolak belakang dengan Soeharto yang saya kenal pada awal pemerintahannya.
Pahamlah saya bahwa kami sudah berbeda pola pikir. Saya, yang pernah percaya bahwa beliau adalah presiden terbaik, seketika itu merasa ia adalah the worst president in the world. Apalagi setelah ada dukungan penuh dari partai politik, birokrat, dan Angkatan Darat. Timbul hobinya untuk menumpuk kekayaan.
Saya juga tak sepakat ketika Golkar dan Angkatan Darat dijadikan pengawal rezim dengan konsep dwifungsi. Kita tidak bisa menyalahkan beliau sepenuhnya. Para pembantu yang tidak kritis juga membuat ini terjadi. Semestinya beliau bisa diselamatkan dari sikap sentralistis dan memuja kekuasaan. Akhirnya, saya mundur dari Bina Graha.
Setelah tidak lagi bertugas sebagai Sesdalopbang, saya tidak pernah bertemu atau melakukan kontak dengan beliau. Ketika beliau meninggal, saya tidak datang ke Jakarta ataupun Solo. Menurut saya, yang namanya mendoakan itu bisa dari mana saja. Tak perlulah datang ke sana. Cukup mengirim doa dari sini dan surat ucapan belasungkawa kepada keluarganya.
KARIER Solihin selama 16 tahun di Bina Graha selesai pada 3 Agustus 1993. Sejak itu, tak ada lagi kewajiban mengucapkan selamat pagi bersama para anggota staf Bina Graha yang berbaris menyambut kedatangan Presiden Soeharto. Dia pun bebas dari kewajiban melapor sehari dua kali, pagi dan sore hari.
Setelah menjadi warga sipil, Solihin ikut mendirikan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda bersama para sesepuh Jawa Barat, masyarakat adat, mahasiswa, budayawan, dan aktivis lingkungan pada 10 September 2001 di padepokan Tadjimalela, di kaki Gunung Manglayang, Bandung.
Firman Atmakusuma, Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo