Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Histeria Asyani, 63 tahun, membuat ruang sidang Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, mendadak senyap. Di tengah sidang, Kamis pagi pekan lalu, nenek itu tiba-tiba menjerit sembari menunjuk hidung seorang lelaki yang berdiri di pintu ruang sidang. "Sawin, kamu tega memenjarakan saya," kata Asyani dalam bahasa Madura. Kala itu, jaksa penuntut umum Ida Hariani baru saja selesai membacakan tanggapan atas nota pembelaan kuasa hukum Asyani.
Sawin adalah Kepala Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan Jatibanteng, Situbondo. Gara-gara laporan Sawin, Asyani kini diadili. Sang nenek dituduh mencuri 38 lembar papan kayu jati dari hutan Perhutani di Dusun Secangan, Jatibanteng. Ditangkap pada 15 Desember tahun lalu, Asyani sudah hampir tiga bulan meringkuk di Rumah Tahanan Situbondo.
Menurut kuasa hukum Asyani, Supriyono, nenek empat cucu itu betul-betul tertekan oleh kasus hukum yang menimpanya. Pada sidang kedua, Senin pekan lalu, Asyani sampai bersimpuh di depan majelis hakim. Sembari sesenggukan, dia meminta segera dibebaskan.
Jaksa mendakwa Asyani melanggar Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukumannya lima tahun penjara.
Bersama Asyani, tiga orang lain diseret ke kursi pesakitan. Mereka adalah menantu Asyani, Ruslan; pemilik mobil pengangkut kayu, Abdus Salam; dan seorang perajin kayu, Sucipto. Jaksa mendakwa mereka berkomplot mencuri kayu di lahan Perhutani dengan nilai kerugian Rp 4 juta. Seperti halnya Asyani, ketiga terdakwa itu pun menolak dakwaan tersebut.
ANDAI tak terdesak kebutuhan keluarga, Asyani tak akan melepas lahan warisan seluas 700 meter persegi. Belasan tahun lalu, lahan itu ia tanami pohon jati dan palawija.
Pada 2009, Asyani menjual lahan itu kepada Enik, seorang kerabat. Tapi, sebelum melepas tanah itu, Asyani dan suaminya, Sumardi, menebang pohon jati dan menjual kayunya. Asyani hanya menyisakan 15 papan kayu dengan panjang 1,5 meter dan lebar 10-15 sentimeter.
Setahun kemudian, Sumardi meninggal setelah didera stroke. Tinggal Asyani yang terbelit utang bekas biaya pengobatan suaminya. Untuk melunasi utang, ia terpaksa menjual rumah. Seizin pemerintah desa, Asyani pun tinggal di rumah bekas korban banjir di Dusun Kristal.
Rumah "baru" Asyani itu berjarak 1,5 kilometer dari hutan jati milik Perhutani. Di rumah berukuran 16 meter persegi, ia tinggal sendirian. Keempat anaknya telah menikah dan tinggal di kecamatan berbeda. Asyani hanya ditemani belasan lembar papan jati yang ia bawa pindah dari rumah lama. "Empat tahun Ibu menyimpan kayu jati itu," kata Mistianah, 26 tahun, anak bungsu Asyani.
Untuk bertahan hidup, sehari-hari Asyani menjadi tukang pijat dengan upah Rp 10 ribu per orang. Karena pelanggannya bertambah, pada Juni 2014, ia berniat membuat dipan khusus untuk tempat memijat. Asyani pun meminta bantuan suami Mistianah, Ruslan, membawa kayu jati simpanannya kepada Sucipto, si perajin kayu.
Ruslan menyewa mobil pikap milik Abdus Salam untuk membawa kayu itu ke rumah Sucipto, warga Dusun Secangan. Namun Sucipto tak langsung mengerjakan dipan pesanan Asyani. "Saya sedang banyak order dari yang lain," ujarnya Kamis pekan lalu. Potongan papan jati milik Asyani pun dibiarkan teronggok di depan rumah dia.
Sucipto kaget bukan kepalang ketika sejumlah polisi hutan mendatangi rumahnya pada 7 Juli 2014. Mereka menyita potongan kayu jati milik Asyani. Begitu mendengar kabar kayunya disita, Asyani dan Ruslan mendatangi Kepolisian Sektor Jatibanteng.
Tadinya Asyani hendak meminta kayu itu dikembalikan. Namun polisi malah meminta nenek renta itu menunjukkan dokumen kepemilikan kayu. Karena Asyani tak punya dokumen tersebut, polisi menuduh si nenek mencuri kayu milik Perhutani.
Lima bulan kemudian, pada 15 Desember 2014, polisi menahan Asyani, Ruslan, Abdus Salam, dan Sucipto. Terusik oleh kasus ini, sejak awal Januari lalu, Supriyono dan kawan-kawan dari Lembaga Bantuan Hukum Nusantara Situbondo menjadi pembela keempat tersangka.
Alat pembelaan Supriyono antara lain berupa surat keterangan kepala desa yang menyatakan Asyani pernah memiliki ladang yang ditanami kayu jati. Menurut Supriyono, kayu jati milik Asyani yang berlumut dan mulai dimakan rayap sangat berbeda dari kayu jati di lahan Perhutani. Untuk pembuktian di persidangan, ia masih menyimpan lima potongan kayu yang tersisa di rumah Asyani. "Warga sekampung pun siap hadir menjadi saksi," kata Supriyono.
Sebaliknya, juru bicara Kesatuan Pemangkuan Hutan PT Perhutani Bondowoso, Abdul Gani, berkukuh bahwa papan kayu jati yang disita polisi dicuri Asyani dari petak 43M hutan Jatibanteng. Pencurian kayu itu, menurut Gani, dilaporkan Kepala Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan Sawin pada 4 Juli 2014.
Persidangan kasus Asyani kini mendapat sorotan luas media dan pegiat hak asasi manusia. Namun Kepala Pusat Penerangan dan Hu-kum Kejaksaan Agung Tony Spontana mengatakan tak bisa mengintervensi dakwaan jaksa Situbondo. "Bukannya kami tak peka. Nanti, bila ada hal yang meringankan, bisa dipertimbangkan," ujar Tony, Jumat pekan lalu.
Yuliawati, Ika Ningtyas (situbondo), Istman
Ketika Hukum Tajam Ke Bawah
Busrin Al Karyo tak pernah mengira bahwa upaya dia menyelamatkan pohon pisang yang hampir roboh bisa membawanya ke penjara. Lelaki 58 tahun itu kini meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Probolinggo. Pada Oktober 2014, Pengadilan Negeri Probolinggo memvonis petani gurem itu dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.
Busrin memang mengaku menebang tiga pohon mangrove untuk menyangga tanaman pisang di kebunnya. "Tapi dia tak tahu menebang di wilayah konservasi," kata Usman, kuasa hukum Busrin, Kamis pekan lalu.
Toh, majelis hakim yang beranggotakan Putu Agus Wirnata, Maria Anita, dan Hapsari Retno Widowulan tetap menyatakan Busrin merusak lingkungan. Soal denda Rp 2 miliar, majelis hakim beralasan itulah ancaman minimal dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Tak sempat mengajukan permohonan banding dan kasasi, Busrin kini tengah mengupayakan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. "Kami melihat ada kekhilafan dan kekeliruan hakim dalam membuat putusan," ujar Usman.
Bukan hanya Asyani dan Busrin yang diseret ke meja hijau gara-gara perkara remeh-temeh. Kasus serupa, pertanda "pisau hukum" lebih tajam ke bawah, terjadi di banyak tempat.
Pencurian Tiga Butir Kakao, November 2009
Majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto memvonis nenek Minah, 55 tahun, hukuman percobaan 1 bulan 15 hari. Sebelum disidangkan, ia menjalani tahanan rumah selama tiga bulan. Minah dilaporkan mencuri tiga butir kakao oleh perusahaan tempat dia bekerja, PT Rumpun Sari Antan 4.
Pencurian Setandan Pisang, Januari 2010
Majelis hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro memvonis tiga setengah bulan penjara pasangan suami-istri, Supriyono dan Sulastri, karena mencuri setandan pisang di kebun tetangga di Desa Sukorejo.?
Pencurian Sandal Jepit, Januari 2012
Hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, memvonis Aal-bukan nama sebenarnya-bersalah mencuri sandal jepit merek Ando. Anak berumur 15 tahun itu dilaporkan mencuri oleh dua polisi, Brigadir Satu Ahmad Rusdi Harahap dan Brigadir Satu Simson Sipayung, pada Mei 2011.
Pencurian 50 Gram Merica, 9 Februari 2012
Pengadilan Negeri Sinjai, Sulawesi Selatan, menjatuhkan hukuman 2 bulan 25 hari terhadap Rawi, 66 tahun. Kakek miskin itu didakwa mencuri 50 gram merica di kebun milik tetangganya.?
Pencurian Empat Ekor Udang, Januari 2015
Kejaksaan Negeri Pandeglang mendakwa Darmo dan dua nelayan lain merusak lingkungan karena menangkap empat ekor udang di Taman Nasional Ujung Kulon. Majelis hakim membebaskan mereka dengan pertimbangan ketiganya mengambil udang di perairan yang tak jelas batas-batasnya.?
Yuliawati, David Priyasidharta, PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo