Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melakukan kajian atau riset soal kasus femisida di Indonesia dalam satu tahun terakhir. Riset ini rutin dilakukan Komnas Perempuan sejak 2017. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah mengatakan sepanjang Oktober 2023 sampai Oktober 2024 telah terjadi 290 kasus femisida.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumlah kasus itu didapatkan berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan dari pemberitaan yang dipublikasi oleh media massa. Ami, sapaan akrab Siti Aminah, mengatakan data kasus femisida berdasarkan pantauan dari pemberitaan media massa itu naik dan turun dari waktu ke waktu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“misalnya sejak 2020 kasus femisida tercatat 90 kasus, di 2021-2022 meningkat tajam 307 kasus. Kemudian turun lagi menjadi 159 kasus di 2022-2023. Terakhir 2023-2024 meningkat kembali menjadi 290,” kata Ami dalam diskusi ‘Laporan Pemantauan Femisida 2024’ secara daring, Selasa, 10 Desember 2024.
Naik dan turunnya data kasus tersebut, kata Ami, disebabkan data yang dimiliki oleh Komnas Perempuan belum ajeg. “Sehingga tidak bisa menggambarkan secara keseluruhan kasus-kasu femisida yang terjadi di Indonesia,” ujarnya.
Dia juga berharap ke depan data mengenai kasus femisida dapat lebih ajeg dan ada pemilihan sejak awal mana yang merupakan kasus pembunuhan biasa dan kasus femisida. “Ada data yang diperlukan lebih detil untuk mengenali femisida. Ini upaya untuk mengangkat pengalamat perempuan atas kematiannya,” kata Ami.
Ami mengharapkan ke depan aparat penegak hukum serta media massa dapat mengenali lebih spesifik kasus femisida. Dia juga menjelaskan ada beberapa indikator yang bisa dikenalil apakah sebuah kasus pembunuhan itu termasuk femisida atau bukan.
Indikator pertama ialah pembunuhan karena ada unsur kebencian atau kontrol atas perempuan. Kedua, ada penghinaan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan. Ketiga, pembunuhan atau penganiayaan yang dilakukan sebagai akibat dari eskalasi kekerasan.
“Itu sebagai bentuk kekerasan paling ekstrem. Baik itu seksual maupun fisik. Jadi tidak ujug-ujung meninggal. Tetapi ada eskalasi kekerasan terlebih dahulu,” kata Ami, sapaan akrab Siti Aminah dalam diskusi ‘Laporan Pemantauan Femisida 2024’ secara daring, Selasa, 10 Desember 2024.
Indikator keempat ialah adanya sejarah pembunuhan terhadap korban. Hal ini, kata Ami, bisa diidentifikasi apakah sebelum kematian seorang perempuan terdapat ancaman-ancaman sebelumnya baik itu secara verbal maupun menggunakan senjata tajam.
Berikutnya, indikator kelima adalah terdapat ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban (baik dari usia, ekonomi, pendidikan maupun status sosial). “Terakhir, perlaku terhadap tubuh korban ditujukan untuk merendahkan martabat korban,” jelas Ami. Misalnya, tubuh korban dimutilasi, dibuang atau dilakukan penelanjangan terhadap tubuh perempuan. “Bisa ditelusuri juga apakah ada unsur kekerasan seksual pada tubuh jenazah korban,” kata dia.
Ami mengatakan indikator yang dirumuskan oleh Komnas Perempuan merupakan tolak ukur yang sampai saat ini digunakan berdasarkan pembacaan kasus-kasus femisida dari 2017 – 2024.