Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korban-korban para istri

Karena sakit hati Kastaya, 42, membunuh suaminya Slamet, 49, dengan segelas jamu dicampur potas di Wonorejo, Malang. Otak pembantaian suaminya Mu'iyah, 50, diancam hukuman mati di Bondowoso, Jawa Timur.

10 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISTRI-istri zaman sekarang tak hanya lebih "galak", tapi juga bisa kejam terhadap suaminya. Di Wonorejo, Lawang, Malang, Rabu pekan lalu, seorang istri Kastaya tega menyeduh racun untuk suaminya, Slamet, sehingga korban menggelepar, mati. Penyebabnya, hanya gara-gara Kastaya sakit hati setelah dipergoki suaminya bermesraan dengan kekasih gelapnya. Sementara itu, di Sekarputih, Bondowoso, seorang istri, Mu'iyah, 50 tahun, pekan-pekan ini terpaksa diseret ke pengadilan karena mendalangi pembantaian suaminya, Misdali, 55 tahun. Ia nekat berbuat begitu, katanya, lantaran selama berumah tangga tak pernah merasa bahagia. Rumah tangga Slamet, 49 tahun, dan Kastaya, 42 tahun, yang sudah dibangun lebih dari dua puluh tahun belakangan ini memang tak pernah damai. Biangnya perubahan tingkah Kastaya sendiri. Ia tak lagi senang pada suaminya. Ibu yang sudah punya tiga cucu itu diam-diam melirik "daun muda". Setahun yang lalu misalnya, Kastaya menjalin asmara dengan Mat Ali, perjaka yang usianya 17 tahun lebih muda darinya. Hubungan mereka bukan tak diketahui suaminya. Kendati berkali-kali ditegur, Kastaya semakin menggila. Wanita itu malah menghadiahkan sepeda motor untuk sang kekasih, setelah menjual sebidang tanah warisan keluarga. Malah Kastaya sudah berniat "meceraikan" Slamet. Untuk itu, ia meminta menantunya Kusmanadi, mencari bantuan dukun agar perceraiannya bisa mulus. "Tapi saya tak mau," kata Kusmanadi, kepada TEMPO. Tapi, entah kenapa, tiba-tiba Kastaya "meninggalkan" Mat Ali. Bukan kembali ke suaminya, tapi ia malah menggaet lelaki muda lainnya, Slamet, 25 tahun --namanya kebetulan sama dengan nama suaminya -- yang sehari-hari bekerja sebagai kusir dokar di Lawang. Suatu hari Kastaya pamit hendak menjenguk saudaranya di Jember. Tapi sampai lima hari ia tak pulang-pulang. Akhirnya setelah dicari ke mana-mana, perempuan bertubuh kurus itu dipergoki bermalam di rumah kekasihnya, di Sumbersoko, tak jauh dari Wonorejo. Rupanya, Slamet tak tahan lagi. Bersama pamong desa, ia menggerebek rumah persembunyian istrinya. Malam itu juga, Kepala Desa Wonorejo, Arifin, menghukum pasangan itu menyetor 30 truk batu untuk keperluan pembangunan desa. Gara-gara itulah Kastaya sakit hati. Dalam benaknya cuma ada sang kekasih. Apalagi, setelah penggerebekan itu, katanya, ia sering disiksa suaminya. Maka, Rabu petang itu, Kastaya berubah ramah. Ia menyeduhkan segelas jamu yang sudah dicampurnya dengan potas untuk suaminya yang lagi diserang batuk. Hanya sekali teguk, Slamet menggelepar. Matanya mendelik. Dari mulutnya keluar lendir berbusa. Ia tewas. "Pikiran saya sudah gelap. Masa saya dipukul terus," alasan Kastaya kepada TEMPO dari balik jeruji tahanan Polsek Lawang. Kendati tak berbuat serong, Mu'iyah pun yang bertubuh kecil juga sakit hati pada suaminya. Sebab, rumah tangganya yang sudah berusia dua puluh tahun, kata Mu'iyah, hanya diwarnai penderitaan. "Rumah tangga kami seperti neraka saja," katanya. Penyebabnya, cerita Mu'iyah, adalah emosi Misdali yang tak terkendali. Ada saja yang menjadi alasan kemarahan suaminya itu. Jika sudah begitu, Mu'iyah dan anak-anaknya menjadi sasaran. Rambutnya -- juga kedua anaknya, Jhoni Setiawan dan Kustianingsih -- katanya, pernah dibakar hingga gundul. "Kalau sudah marah, barang apa saja jadi alat pemukul. Ya kayu, ban sepeda, ya besi," ujar Mu'iyah pula. Kehidupan Mu'iyah dan anak-anaknya juga tak bebas. Sebagai anggota Dharma Wanita -- karena Misdali adalah pegawai Dinas PU Bondowoso -- Mu'iyah tak pernah bergaul dengan sesama anggota. "Baju seragam Dharma Wanita saya dibakar," ujarnya lagi. Uang belanja dibatasi, cuma Rp 250 sehari. Mu'iyah mengaku sudah tak tahan menghadapi kekejaman suaminya. Kendati sudah berkali-kali minta dicerai, ia malah diancam akan dibunuh. "Lebih baik kamu saya bunuh daripada dicerai," kata Mu'iyah menirukan ancaman suaminya. Sebab itu, bersama kedua anaknya, Jhoni, 17 tahun, dan Kustianingsih, 20 tahun, Mu'iyah sepakat membunuh Misdali. Dua minggu sebelumnya. Selain dua anaknya, Mu'iyah mengajak serta Joko Subali, 20 tahun -- calon suami Kustianingsih, serta tetangganya, Hendriyono, 40 tahun. Joko memang sudah lama mengetahui kebengisan bakal mertuanya itu. Ia pun diam-diam sakit hati. Hendriyono, selain dijanjikan sepetak tanah, sudah lama mengincar kematian Misdali, saingannya dalam dunia perdukunan. Mereka pun memutuskan eksekusi itu pada Senin dini hari, 30 Oktober 1989 lalu. Saat itu, diperhitungkan Misdali akan tidur lelap setelah seharian menempuh perjalanan jauh Pacitan-Bondowoso -- karena suatu tugas. Sesuai dengan rencana, pada Minggu itu Misdali tiba di rumah sekitar pukul 11.30 malam. Setelah mengganti pakaian, ia lalu tertidur lelap. Semula Mu'iyah menemaninya. Tapi, setelah si suami terlelap, wanita itu menyingkir. Saat itulah, Joko mengayunkan linggis ke dada. Misdali terkejut dan mencoba bangkit. Dengan cepat Kustianingsih menutup kepala ayahnya dengan bantal, sementara Jhoni menindih kakinya sembari menghantamkan rantai sepeda ke tubuh korban. Dan, eksekusi itu pun diakhiri oleh Hendriyono yang menggunakan alu besi dan parang. Misdali pun tewas. Semula mayat korban akan dibuang di sungai sekitar 2 km dari tempat pembantaian. Tapi, waktu korban diangkut dengan sepeda motor, mayat itu terjatuh. Skenario cepat diubah. Jhoni segera mengeluarkan sepeda dan kemudian menggeletakkan sepeda itu di dekat mayat. Mereka berharap akan timbul kesan seolah-olah korban mati disiksa seseorang di jalanan itu. Polisi memang sempat dibuat bingung. Baru setelah 10 hari melakukan penyidikan, polisi bisa mengungkapkan semua pelaku. Di persidangan Jaksa Lorens Seworwora mengancam mereka dengan hukuman mati. "Pembunuhan itu dilakukan secara kejam," kata Jazid Bustami, salah seorang hakim yang menyidangkan perkara itu. "Saya dan anak-anak pasrah," jawab Mu'iyah dari selnya. Jalil Hakim dan Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus