KENGERIAN yang pernah menghinggapi penduduk Jakarta dengan kasus mayat terpotong-potong, kini seolah merebak ke kota-kota lain. Rabu siang pekan lalu, sesosok tubuh lelaki tanpa tangan dan kaki ditemukan di Desa Cibokor, Cianjur Selatan. Masih awal pekan lalu, penduduk menemukan mayat pria -- tanpa lengan dan kaki -- tampak mengambang di Pantai Cikenong, Anyer, Serang, Jawa Barat. Tak hanya di Jawa Barat. Kasus mayat dipotong-potong juga sudah merebak ke luar Jawa. Pekan lalu, misalnya, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, empat orang tersangka yang dianggap hakim membunuh dan memotong-motong mayat korban dihukum antara 8 dan 11 tahun penjara. Rabu siang pekan lalu itu, Maman -- seorang kuli kontrak pegawai Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) Gunung Manik -- yang sedang menderes karet, mendengar salak anjing sahut-menyahut. Bersama tiga temannya, Maman mendekati kelompok anjing yang tampak mengendus-endus semak ilalang. "Kami penasaran, apalagi bau bangkai tercium menyengat," cerita Maman. Waktu semak ilalang disibak, Maman miris. Terlihat seonggok tubuh yang tak lengkap. Wajah korban ini sudah membusuk -- tak bisa dikenali lagi. Sekitar empat meter di sekitar korban, ditemukan potongan kaki dan tangan. Maman pun segera melapor ke pamong desa setempat. Gemparlah Desa Cibokor. Sudah lama desa yang terletak 25 km di selatan pedalaman Cianjur ini tenteram dan damai. Ramai-ramai penduduk datang ke lokasi. Di antaranya, datang juga Aun, seorang penduduk Kampung Pamoyanan di Cibokor. Sejak beberapa hari sebelumnya Aun kehilangan ayahnya, Jusri, yang usianya sudah mendekati 100 tahun. Begitu sampai di lokasi, Aun bak tersengat setrum. Ia mengenali baju biru yang dikenakan korban sebagai milik ayahnya. Tanda-tanda lain juga menunjukkan korban adalah Jusri. Maka, digotonglah mayat tadi ke balai desa, dan dimakamkan esok harinya. Siapa yang tega membantai 'Abah' Jusri? Kapolres Cianjur Letkol. Pol. Farouk M.S. masih terus mengerahkan anak buahnya melacak kasus ini. "Sampai sekarang belum jelas persoalannya," ujar Farouk. Mayat tanpa lengan dan tanpa kaki juga dijumpai di Pantai Cikenong, Anyer, Minggu pekan lalu. Mayat lelaki -- yang diperkirakan berusia 30-an tahun -- ini ditemukan telanjang bulat, dalam keadaan hampir membusuk. Diduga, mayat ini sudah terapung sekitar 3-4 hari. Identitas mayat terpotong-potong ini masih gelap. Yang bisa disebutkan, korban berbadan tinggi besar dan kepala botak. Kini, mayat ini disimpan di RSCM Jakarta. Jumat pekan lalu, Pengadilan Negeri Palangkaraya memvonis empat pelaku kasus pembunuhan dengan mencopoti anggota tubuh korbannya. Tiga pelaku -- Kedeng Ranan, Enek Randuh, dan Ugus -- dihukum 11 tahun penjara. Sedangkan Okong Guna, yang hanya membantu, diganjar delapan tahun penjara. Tersebutlah seorang bernama Idus Mahat, penduduk Dusun Sandung Tambun, Kecamatan Tewah, Kapuas, Kalimantan Tengah. Ia berangkat meninggalkan rumahnya, Oktober 1988, dengan tujuan mendulang emas di Sungai Hanyu. Ketika pamit pada istrinya, Saride, yang tengah hamil muda, ia hanya berbekal mandau di pinggang, kantung plastik berisi satu stel pakaian, dan sekepal tembakau. Ternyata sejak itu, Mahat lenyap bagai ditelan bumi. Dan kabar hilangnya Mahat sampai pula ke Polresta Palangkaraya. Polisi curiga karena setelah Idus Mahat hilang, di Tewah beredar cerita tentang seorang lelaki terbunuh dengan kepala terpotong dan beberapa anggota badan "buntung". Yang tak sedap, santer dikabarkan bahwa kepala lelaki tadi sengaja "dipesan" seseorang untuk dijadikan ngayau pelengkap upacara adat tewah. Acara 'tewah' itu dimaksudkan untuk mengantar arwah seseorang ke surga. Kapolresta Palangkaraya Letkol. Pol. Wahyu Saronto segera menyebar polisi berpakaian preman. Seorang anggota ditugasi menemui Enek Tanduh, 89 tahun, dukun terkenal di Dusun Sandung Tambun. Beberapa lainnya diperintahkan menyelusup dalam acara-acara adat. Biasanya, dalam acara adat, disuguhkan minuman keras. Dan ketika orang mulai mabuk, anggota polisi tadi segera mengorek keterangan. Ternyata, upaya semacam ini mendatangkan hasil. Dari Okong Guna, yang sedang mabuk, diperoleh keterangan bahwa Idus Mahat dilibas oleh Kepala Desa Pendarangas Kedeng Ranan, 61 tahun. Mayatnya dipotong-potong dan ditimbun di jalan setapak sepanjang sungai di kawasan Desa Karason, Kecamatan Tewah. Rupanya, ucapan Okong benar. Polisi, yang membongkar tempat tersebut, menemukan kerangka tubuh lengkap -- kecuali kepala -- di lokasi itu. Belakangan, kepala korban ditemukan pula di seberang sungai, sekitar 40 meter dari "kuburan" tubuhnya. Sebuah sumber mengatakan, Kedeng Ranan memang sengaja menghabisi Idus Mahat. "Kepala itu rencananya mau dijual, kalau ada yang mau beli. Andai kata tidak laku, akan dipakai sendiri untuk 'tewah'. Soalnya, nenek saya memang belum dibuatkan acara 'tewah', padahal sudah lama meninggal," ujar sumber itu menirukan pengakuan Ranan. Pada suatu malam, November 1988, siasat disusun. Mulanya, Okong, seorang teman Ranan, mengajak Idus berjalan-jalan melintasi jalan setapak di kawasan hutan sekitar Desa Karason. Dari suatu tempat, Ranan dan Ugus menembakkan senapan "dum-duman" (jenis senjata locok buatan sendiri) tepat mengenai pinggang Mahat. Korban tersungkur seketika. Entah masih hidup atau sudah mati, lantas leher korban digorok sampai putus dengan mandau oleh Enek Tanduh. Cerita versi ini dibantah Kedeng Ranan di persidangan. "Kami dipaksa polisi untuk mengaku saat diperiksa," ujar Ranan. Toh hakim lebih percaya polisi ketimbang Ranan. Yang pasti, apa pun motif di balik itu, kasus pemotongan mayat sudah menjadi mode di mana-mana. Toriq Hadad, Riza Sofyat (Bandung), dan Almin Hatta (Palangkaraya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini