SYAHMARDAN Harahap hari-hari terakhir ini tampak lesu. Di kantornya, Kepala Bagian Pemerintahan Pemda Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara) itu jarang bicara. Pembawaannya yang riang tak tampak lagi. Ia masygul menghadapi nasib yang dialaminya: dituduh koruptor. ''Tuduhan koruptor itu saya tolak. Dan ingat, saya ini bawahan, bukan pengambil keputusan,'' ujar ayah empat anak itu kepada TEMPO. Masalah ia koruptor atau bukan, hanya pengadilan yang akan membuktikannya. Untuk itu, Sabtu pekan lalu, ia duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Lubukpakam. Selain Syahmardan, diadili pula kontraktor Pulokot Siregar, dengan dakwaan sama: korupsi. Dan yang menarik, sebanyak 33 camat se-Kabupaten Deli Serdang disebut-sebut terlibat karena kecipratan rezeki hasil korupsi kedua terdakwa. Mereka akan dihadirkan sebagai saksi. Jaksa M.O. Hutabarat dalam dakwaannya menyebutkan, kedua terdakwa secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Pangkal manipulasinya, pelaksanaan proyek rehabilitasi ringan 33 kantor camat di Kabupaten Deli Serdang. Sesuai dengan pengakuan Syahmardan, proyek senilai Rp 214,5 juta itu dimenangkan Pulokot tanpa tender. Setelah proyek jatuh ke tangan Pulokot, menurut jaksa, kedua terdakwa memanipulasi proyek itu menjadi proyek fiktif. Proyek itu belum dikerjakan, tapi atas kerja sama dua terdakwa, dinyatakan selesai. Mereka membuat Berita Acara Serah Terima Pekerjaan Pelaksanaan Proyek. ''Padahal, gambar bestek, kontrak, dan pengawasannya tidak ada. Karena ini, negara dirugikan Rp 214,5 juta,'' kata Jaksa M.O. Hutabarat. Untuk memuluskan pencairan dana itu, dalam tuduhan jaksa, terdakwa memberikan imbalan Rp 350.000 untuk tiap-tiap camat (jumlah semua camat ada 33 orang). Maka, para camat membubuhkan tanda tangan mereka di berita acara, yang menyatakan pemborong sudah menyelesaikan pekerjaannya, dan hasilnya telah diterima dengan baik. Syahmardan, sebagai pemimpin proyek, menurut jaksa, ikut menikmati ''hasil sulap'' itu. Dalam pemeriksaan, Pulokot mengakui telah memberikan uang kepada Syahmardan sebesar Rp 6 juta, dan dana kepada 33 orang camat masing-masing Rp 350.000. Di samping itu, menurut Pulokot, seorang pejabat penting di Deli Serdang juga ikut kecipratan. Tentang dana yang diberikan kepada 33 camat, menurut Pulokot, itu bukan hadiah atau suap, melainkan bantuan untuk pengecatan kantor masing-masing, menyambut perayaan 17 Agustus. Pulokot sendiri membantah semua tuduhan jaksa. ''Uang yang saya korupsi yang mana?'' katanya. ''Uang sisa proyek sudah saya kembalikan ke kas Pemda. Proyek itu sendiri tidak fiktif, tapi sudah siap 100 persen. Dan ingat, saya ini swasta, jadi apa bisa dikatakan korupsi?'' katanya. Kejadian sesungguhnya, menurut Pulokot, ketika pekerjaan baru berlangsung 20%, tiba-tiba ada permintaan dari Mister X (Pulokot tak mau menyebut namanya), agar duit proyek itu dicairkan 100 persen. Kata Mr. X, ia sedang terdesak kebutuhan. ''Saya akan memerintahkan semua camat meneken berita acara serah terima,'' kata Pulokot menirukan Mr. X itu. Selanjutnya kepengurusannya dilakukan lewat Mr. X, dan tahu-tahu dana pembangunan itu pun cair. Siapa Mister X itu? ''Kalau terdesak, barulah kita buka,'' katanya. Entah siapa yang lapor, belakangan praktek manipulasi itu tercium Badan Pemeriksa Keuangan. Ketika ada gelagat kasus itu bakal ramai, buru-buru proyek itu dilanjutkan. Namun, waktu pemeriksaan dilakukan, masih ada dana tersisa sekitar Rp 150 juta. ''Sisa uang itu sudah dikembalikan ke kas Pemda,'' ujar Pulokot. Syahmardan Harahap juga membantah bahwa proyek rehabilitasi itu proyek fiktif. Syahmardan, yang sejak menjadi pegawai negeri belum pernah terkena hukuman, menegaskan bahwa negara sebenarnya tidak dirugikan. ''Tuduhan korupsi itu karena jaksa melihat kasus itu sepotong-sepotong, tidak menyeluruh,'' katanya. Hingga sidang pekan lalu, empat camat sudah didengar kesaksiannya. Umumnya mereka mengaku menerima Rp 350.000 dari Pulokot. ''Tapi uang itu bukan sedekah, saya dimintai tolong mengecat mana yang paling mendesak. Karena butuh untuk beli cat, saya terima,'' kata seorang camat. Aries Margono (Jakarta), Sarluhut Napitupulu, dan Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini