Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan terhadap Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry periode 2018-2024, Ira Puspadewi. PT ASDP Indonesia Ferry adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang transportasi air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ira saat ini berstatus tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry tahun 2019-2022. “Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih,” kata Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, melalui pesan singkat pada Kamis, 24 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Ira, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap dua saksi dalam kasus yang sama. Keduanya adalah Lead Inspector PT BKI Ardhian Budi dan Pimpinan Cabang Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) MBPRU Batam Ahsin Silahudin.
Proses penyidikan dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan PT ASDP ini berlangsung sejak 11 Juli 2024. KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi di PT ASDP Indonesia Ferry atas proyek jual-beli kapal dengan PT Jembatan Nusantara pada 2019-2022. Pembelian kapal itu dinilai tidak sesuai dengan spesifikasi pengadaan sehingga diduga merugikan negara hingga Rp 1,27 triliun.
Jual-beli kapal itu merupakan bagian dari akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry. Dengan nilai Rp 1,27 triliun, ASDP menguasai 100 persen saham PT Jembatan Nusantara dengan 53 kapal yang dikelola.
Dalam skandal korupsi ini, KPK telah menetapkan empat orang, termasuk Ira Puspadewi, sebagai tersangka. Tiga di antaranya merupakan internal PT ASDP Indonesia Ferry, sementara satu lagi pihak swasta.
Ira sempat mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangkanya ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Gugatan itu diajukan Ira bertujuan menguji keabsahan status tersangka oleh KPK.
Humas PN Jakarta Selatan Djuyamto mengatakan hakim tunggal yang mengadili perkara tersebut, berpendapat materi gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil (Niet Ontvankelijke Verklaard). "Bukan ditolak, tapi tidak dapat diterima," kata Djuyamto dikonfirmasi Tempo, Rabu, 25 September 2024.
Ade Ridwan Yandwiputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.