PARA nelayan di Langsa, Aceh, banyak yang enggan turun ke laut.
Rupanya lebih: senang datang ke pengadilan negeri di kota itu,
untuk menyimak jalannya sidang yang menyangkut nasib mereka.
Bekas Kepala BRI Cabang Langsa Mastoeroedin dan Sakirun, mantri
di bank tersebut, duduk di kursi terdakwa, Sabtu pekan lalu.
Jaksa R. Sanyata menuduh keduanya melakukan menipulasi sebesar
Rp 1,2 milyar lebih. Hal itu dilakukan dengan cara memainkan
kredit yang mestinya diberikan terhadap nelayan tradisional.
Yaitu dalam hal pengalihan kapal-kapal bekas pukat harimau, yang
kemudian dimodifikasi, ke tangan para nelayan.
Sebagai kepala BRI Langsa ketika itu Mastoeroedin, menurut jaksa
sama sekali tak mengacuhkan ketentuan teknis perbankan. Ia juga
tidak membuat patokan harga kapal berdasar petunjuk yang ada.
Dengan kewenangan yang ada padanya, ia malahan memerintahkan
Sakirun, 42 tahun, untuk segera menyalurkan kredit guna
pengalihan bekas kapal-kapal trawl.
Sebuah kapal, yang rata-rata sudah tua dan lapuk, berdasar
rekomendasi Panitia Daerah Aceh Timur, dihargai hampir Rp 20
juta. Padahal, kata Jaksa Sanyata, harga normalnya paling hanya
Rp 1,3 juta.
Lucunya lagi, menurut jaksa, ternyata BRI menyerahkan kredit
itu justru kepada pemilik kapal. Nelayan, bekas awak kapal
trawl yang mestinya menerima kredit tersebut, hanya menerima
kuitansi kosong "Saya tidak tahu, berapa besar kredit, dan
berapa pasaran harga kapal," kata Said Usman, seorang nelayan
yang menjadi saksi dalam sidang dua pekan lalu.
Yang diketahuinya ialah bahwa sebuah kapal yang "dipinjamkan"
kepadanya, hanya bisa digunakan tujuh kali melaut. Setelah itu,
kapal sial itu bocor, dan akhirnya tenggelam. Dan ia, jadinya,
belum pernah mencicil pinjamannya ke BRI. "Setiap kali melut,
biaya operasinya Rp 90 ribu, sedang hasil yang didapat cuma Rp
30 ribu," katanya seperti dikutip Kompas berdasarkan keterangan
resmi Kejaksaan Agung. Dan karena hampir semua nelayan mengalami
nasib seperti Said, kredit macet pun tak terhindarkan.
Tapi, kredit macet bukan hanya karena kapal rusak dan tenggelam,
melainkan tampaknya juga karena ada "kapal hantu". Menurut said
di persidangan, sebelum ada kebijaksanaan pemberian kredit,
jumlah kapal bekas trawl sekitar 30 buah. Tapi begitu ada
kebijaksanaan kredit, jumlahnya tiba-tiba menjadi 69.
Untuk menunjang jumlah kapal yang fiktif itu, maka dibuatlah
daftar nama bekas Anak Buah Kapal (ABK) palsu. "Siapa yang mau
meneken kuitansi kosong, ditawari komisi Rp 3 juta," kata Said
lagi. Tidak hanya sampai di situ. Peralatan jaring baru, yang
menggantikan pukat harimau, ternyata tak bisa digunakan. Jaring
setengah jadi tersebut, ketika dicoba di laut lepas, menggulung
tak karuan -- mana bisa bisa buat menjaring ikan.
Di Sibolga, pantai barat Sumatera Utara perkara manipulasi
kredit juga terjadi. Dikabarkan, kredit yang dikeluarkan untuk
kepentingan para nelayan mencapai Rp 1 milyar. Dan
pengembaliannya tersendat-sendat, karena kapal-kapal kreditan
memang tak memenuhi syarat. Dari hampir 200 kapal kreditan,
menurut Zulhafni, salah seorang dari 23 pengusaha galangan
kapal, sckitar 100 buah kini tercecer di bibir pantai.
Kapal-kapal itu tidak bisa dipakai lagi, sebagian malahan sudah
tertimbun pasir atau hanyut diseret ombak -- padahal baru
beberapa kali turun ke laut. "Mutu kapal itu jelek sekali, tidak
sesuai dengan nilai kredit," kata Zul. Menurut taksirannya,
harga sebuah kapal berbobot 5 ton itu, paling banter Rp 1,9 juta
sebuah. Namun pihak BRI 'merestui' dengan harga Rp 2,3 juta.
Tidak heran, kata Zul, kalau pihak galangan kapal lalu berlomba
menaikkan harga kapal yang dibuat asal jadi saja.
Sudah tentu, galangan kapal yang mendapat kenaikan harga lumayan
itu mesti menyisihkan sebagian keuntungannya bagi mereka yang
telah memberinya rezeki.
Pengadaan mesin kapal pun, tidak luput dari permainan. Yang
dipesan mesin berkekuatan 10 tenaga kuda, yang datang ternyata
.... "Bagaimana tidak jebol kalau mesin yang biasa dipakai di
darat, dipakai di laut," kata seorang nelayan.
Dan mesin tersebut, tidak pula langsung bisa dipakai, melainkan
harus dirakit dahulu -- supaya bisa dimainkan maju mundur. Dan
karena itulah mesin menjadi lebih cepat ambrol. Tapi harganya,
jangan ditanya: nelayan mesti menebus dengan uang kredit seharga
Rp 1,8 juta lebih. Padahal harga di luaran paling tinggi konon
hanya Rp 1,5 juta.
Tahun 1981 dan 1982 yang lalu, kata seorang nelayan, bila ada
nelayan yang membongkar dan kemudian menggotong mesin kapalnya
ke darat sudah merupakan pemandangan biasa. Dan karena kejadian
itu, Komandan Korem Letkol Soepardi yang menerima banyak
pengaduan, turun tangan. "Kami sedang mengusut dan mengumpulkan
bukti," kata Soepardi kepada TEMPO. Sebelumnya, para nelayan
mengadu ke polisi. "Tapi kami tak sabar, karena kurang
ditanggapi," keluh seorang nelayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini