Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kredit Kapal Hantu

Bekas kepala BRI, cabang langsa, mastoeroedin diadili, dituduh melakukan manipulasi kredit untuk nelayan sebesar Rp 1,2 milyar. (krim)

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA nelayan di Langsa, Aceh, banyak yang enggan turun ke laut. Rupanya lebih: senang datang ke pengadilan negeri di kota itu, untuk menyimak jalannya sidang yang menyangkut nasib mereka. Bekas Kepala BRI Cabang Langsa Mastoeroedin dan Sakirun, mantri di bank tersebut, duduk di kursi terdakwa, Sabtu pekan lalu. Jaksa R. Sanyata menuduh keduanya melakukan menipulasi sebesar Rp 1,2 milyar lebih. Hal itu dilakukan dengan cara memainkan kredit yang mestinya diberikan terhadap nelayan tradisional. Yaitu dalam hal pengalihan kapal-kapal bekas pukat harimau, yang kemudian dimodifikasi, ke tangan para nelayan. Sebagai kepala BRI Langsa ketika itu Mastoeroedin, menurut jaksa sama sekali tak mengacuhkan ketentuan teknis perbankan. Ia juga tidak membuat patokan harga kapal berdasar petunjuk yang ada. Dengan kewenangan yang ada padanya, ia malahan memerintahkan Sakirun, 42 tahun, untuk segera menyalurkan kredit guna pengalihan bekas kapal-kapal trawl. Sebuah kapal, yang rata-rata sudah tua dan lapuk, berdasar rekomendasi Panitia Daerah Aceh Timur, dihargai hampir Rp 20 juta. Padahal, kata Jaksa Sanyata, harga normalnya paling hanya Rp 1,3 juta. Lucunya lagi, menurut jaksa, ternyata BRI menyerahkan kredit itu justru kepada pemilik kapal. Nelayan, bekas awak kapal trawl yang mestinya menerima kredit tersebut, hanya menerima kuitansi kosong "Saya tidak tahu, berapa besar kredit, dan berapa pasaran harga kapal," kata Said Usman, seorang nelayan yang menjadi saksi dalam sidang dua pekan lalu. Yang diketahuinya ialah bahwa sebuah kapal yang "dipinjamkan" kepadanya, hanya bisa digunakan tujuh kali melaut. Setelah itu, kapal sial itu bocor, dan akhirnya tenggelam. Dan ia, jadinya, belum pernah mencicil pinjamannya ke BRI. "Setiap kali melut, biaya operasinya Rp 90 ribu, sedang hasil yang didapat cuma Rp 30 ribu," katanya seperti dikutip Kompas berdasarkan keterangan resmi Kejaksaan Agung. Dan karena hampir semua nelayan mengalami nasib seperti Said, kredit macet pun tak terhindarkan. Tapi, kredit macet bukan hanya karena kapal rusak dan tenggelam, melainkan tampaknya juga karena ada "kapal hantu". Menurut said di persidangan, sebelum ada kebijaksanaan pemberian kredit, jumlah kapal bekas trawl sekitar 30 buah. Tapi begitu ada kebijaksanaan kredit, jumlahnya tiba-tiba menjadi 69. Untuk menunjang jumlah kapal yang fiktif itu, maka dibuatlah daftar nama bekas Anak Buah Kapal (ABK) palsu. "Siapa yang mau meneken kuitansi kosong, ditawari komisi Rp 3 juta," kata Said lagi. Tidak hanya sampai di situ. Peralatan jaring baru, yang menggantikan pukat harimau, ternyata tak bisa digunakan. Jaring setengah jadi tersebut, ketika dicoba di laut lepas, menggulung tak karuan -- mana bisa bisa buat menjaring ikan. Di Sibolga, pantai barat Sumatera Utara perkara manipulasi kredit juga terjadi. Dikabarkan, kredit yang dikeluarkan untuk kepentingan para nelayan mencapai Rp 1 milyar. Dan pengembaliannya tersendat-sendat, karena kapal-kapal kreditan memang tak memenuhi syarat. Dari hampir 200 kapal kreditan, menurut Zulhafni, salah seorang dari 23 pengusaha galangan kapal, sckitar 100 buah kini tercecer di bibir pantai. Kapal-kapal itu tidak bisa dipakai lagi, sebagian malahan sudah tertimbun pasir atau hanyut diseret ombak -- padahal baru beberapa kali turun ke laut. "Mutu kapal itu jelek sekali, tidak sesuai dengan nilai kredit," kata Zul. Menurut taksirannya, harga sebuah kapal berbobot 5 ton itu, paling banter Rp 1,9 juta sebuah. Namun pihak BRI 'merestui' dengan harga Rp 2,3 juta. Tidak heran, kata Zul, kalau pihak galangan kapal lalu berlomba menaikkan harga kapal yang dibuat asal jadi saja. Sudah tentu, galangan kapal yang mendapat kenaikan harga lumayan itu mesti menyisihkan sebagian keuntungannya bagi mereka yang telah memberinya rezeki. Pengadaan mesin kapal pun, tidak luput dari permainan. Yang dipesan mesin berkekuatan 10 tenaga kuda, yang datang ternyata .... "Bagaimana tidak jebol kalau mesin yang biasa dipakai di darat, dipakai di laut," kata seorang nelayan. Dan mesin tersebut, tidak pula langsung bisa dipakai, melainkan harus dirakit dahulu -- supaya bisa dimainkan maju mundur. Dan karena itulah mesin menjadi lebih cepat ambrol. Tapi harganya, jangan ditanya: nelayan mesti menebus dengan uang kredit seharga Rp 1,8 juta lebih. Padahal harga di luaran paling tinggi konon hanya Rp 1,5 juta. Tahun 1981 dan 1982 yang lalu, kata seorang nelayan, bila ada nelayan yang membongkar dan kemudian menggotong mesin kapalnya ke darat sudah merupakan pemandangan biasa. Dan karena kejadian itu, Komandan Korem Letkol Soepardi yang menerima banyak pengaduan, turun tangan. "Kami sedang mengusut dan mengumpulkan bukti," kata Soepardi kepada TEMPO. Sebelumnya, para nelayan mengadu ke polisi. "Tapi kami tak sabar, karena kurang ditanggapi," keluh seorang nelayan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus