SETAHUN lebih buron, Tam akhirnya tertangkap polisi Medan,
mingu lalu. Ia diburu polisi karena membongkar brankas PT Duta
Dinasty, Jakarta, tempatnya bekerja, dan menggondol hampir Rp 4
juta, sejumlah uang dollar, serta emas batangan.
Dari Jakarta, Tam antara lain bertualang ke Dumai, Padang, dan
Rantau Prapat. Ia lalu pulang kandang ke Desa Aur, Medan, ketika
koceknya makin menipis. Di Medan itulah ia ditangkap ketika
sedang kongkou bersama temannya.
Belum diketahui, apakah di saat ngobrol seperti itu Tam
menurunkan ilmu dan kebolehannya. Tapi beberapa saat sebelum ia
tertangkap, di Medan dan Lhokseumawe, Aceh, terjadi kejahatan
membongkar brankas. Dan karena uang dicuri langsung dari
"sumber"-nya, hasilnya pun lumayan.
Contohnya, pembongkaran brankas milik CV Inah Indah, salah satu
kontraktor PT Arun di Lhokseumawe. Seperti di Duta Dinasty,
yang membongkar lemari besi Inah pun, tak lain karyawannya
sendiri, Hasbulah dan Hasyim. Bedanya, kalau Tam menggunakan
gergaji, pahat, dan obeng, kedua "Has" memakai alat yang lebih
"modern": pengelas. Di kantor itu, kebetulan, salah satu dari
mereka bekerja sebagai tukang las.
Karena itu pula petugas keamanan tak menaruh curiga saat
Hasbulah dan Hasyim, di tengah malam awal Mei lalu, datang ke
kantor dan bilang mau "kerja lembur". Setelah naik ke tingkat
dua, sesaat kemudian keduanya memang tampak sibuk dengan
peralatan mengelas, tanpa ada yang tahu bahwa mereka merusak
brankas dan menggaruk isinya: uang kertas Rp 7 juta, 3.000 lebih
dollar Amerika, dan 3.000 lainnya dollar Singapura.
Hampir dua jam waktu yang diperlukan untuk membongkar lemari
besi President buatan AS setinggi satu meter itu. Begitu turun,
sambil menggembol uang, keduanya mencoba menghindari petugas
keamanan, lalu lari.
Tetapi pagi itu juga keduanya diringkus -- dan buyarlah impian
mereka untuk menjadi OKB (Orang Kaya Baru). "Seluruh uang yang
dicuri, dapat kami selamatkan," kata Komandan Polisi Aceh Utara,
Letkol Pol. M. Aris.
Yang keterlaluan, adalah peristiwa di kantor Badan Pengelola
Perparkiran (BPP) Medan, tiga hari kemudian. Tak bisa membongkar
brankas di tempatnya, yang terletak di lantai dua, kawanan
penjahat menggotong benda tersebut dan membawanya kabur.
Padahal, brankas buatan Jepang itu beratnya lumayan: 1/2 ton.
Belum terang bagaimana cara kawanan bajingan itu menurunkan
brankas dari lantai dua ke ruang bawah, dan membawanya keluar
dari kantor di Jalan Brigjen Katamso itu. Juga belum diketahui,
ke mana -- dan dengan cara apa -- kotak besi seberat 5 kuintal
itu dibawa pergi. Tapi polisi menduga, melihat lancarnya kerja
penjahat itu, mungkin ada kerja sam? dengan orang dalam. Dan
bisa jadi, kawanan penjahat yang diperkirakan jumlahnya 10
orang, mengumbar sumpah serapah setelah mengetahui bahwa brankas
yang harus digotong dan dirusak dengan susah payah itu, isinya
"hanya" Rp 2,2 juta.
Padahal sebuah brankas kecil, yang beratnya tidak sampai satu
kuintal milik PT Enseval Pharmasi di Medan, berisi Rp 4,6 juta
uang tunai dan giro bilyet bernilai Rp 166 juta.
Barang berharga di kantor di Jalan Glugur itu dicuri lima
penjahat bertopeng pada dini hari 24 April lalu. Yaitu setelah
melumpuhkan Pelik, 59 tahun, yang bertugas jaga malam di situ.
Dengan ancaman senjata tajam, kedua tangan dan kaki Pelik
diikat, mulutnya disumpal dengan bajunya sendiri. Kelima
penjahat lalu buru-buru menurunkan brankas dari sebuah ruangan
di lantai dua. Sambil mengawasi keadaan, salah seorang bandit
itu sempat menggaet sebuah mesin teleks.
Tiba di bawah, sepeda milik Pelik segera dimanfaatkan untuk
mengangkut hasil jarahan tersebut ke sebuah rumah di Lorong VII,
Sei Agul. Cukup jauh juga jaraknya dari tempat kejadian. Di
rumah itulah lemari besi digergaji dan dicungkil dengan linggis.
Jumadi, pemilik rumah, meski tidak ikut operasi mendapat bagian
yang sama. Karena dialah, ternyata, yang memberi informasi
tentang brankas di Enseval tersebut.
Kelima kawannya, Paeran, Johan, Buyung, Ricky, dan Nurdin,
setelah operasi yang 'meledak' itu, mendadak jadi royal. Paeran
dan Ricky langsung membeli sepeda motor, Johan membeli alat
untuk memutar kaset, sedang lainnya mengganti perabot rumah.
Semangat tinggi mengkonsumsi barang yang menyolok itulah yang
akhirnya mencelakakan mereka. Apalagi ketika diketahui bahwa
kelima kawan Jumadi itu ternyata residivis.
Polisi segera bertindak, membuat Johan dan Rikcy yang mencoba
lari, tertembak kakinya. Sedangkan Buyung sempat kabur sebelum
petugas datang. Syukur lainnya tertangkap.
Kelima kawan Jumadi, menurut Komandan Reserse Kepolisian Medan,
Kapten Pol Paimin, "memang pembongkar brankas ulung." Dulu,
katanya lagi, mereka pernah dihukum karena perbuatan yang sama.
Ricky, 24 tahun, misalnya, terus terang mengaku sudah tiga kali
mencuri kotak besi tempat menyimpan uang.
Dibanding dengan mencuri barang berharga, kata Ricky kepada
TEMPO di Rumah Sakit Pirngadi, Medan. "membongkar brankas lebih
efisien." Mencuri barang berharga lainnya, Ricky menyambung,
"terkadang sulit menjualnya."
Hanya saja, setelah sukses membongkar sebuah lemari besi, orang
seperti Ricky terkadang geregetan setengah mati. Giro bilyet
bernilai Rp 166 juta yang ditemukan dalam operasinya yang
terakhir, apa boleh buat, terpaksa dilempar -- bersama
brankasnya -- ke sungai di belakang rumah Jumadi. Bukan karena
tahu bahwa memang tak mungkin diuangkan selain oleh pemiliknya,
ia memang tidak paham apa itu giro bilyet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini